Wahyu Iryana
Penulis
Lebaran bagi sebagian masyarakat Nusantara bukan sekadar perayaan, tetapi sebuah peristiwa budaya yang kaya makna. Salah satu simbol paling khas dari Idul Fitri adalah ketupat, makanan yang umumnya berbentuk segi empat yang terbuat dari beras dan dibungkus anyaman janur.
Dalam setiap rumah, ketupat hadir bersama opor ayam, sambal goreng ati, dan kerupuk yang renyah. Namun, lebih dari sekadar sajian, ketupat menyimpan filosofi mendalam yang diwariskan Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga, tokoh Wali Songo yang dikenal dengan pendekatan dakwahnya yang halus dan membumi, memperkenalkan ketupat sebagai media penyampaian nilai-nilai Islam. Ia tidak hanya mengajarkan tentang syariat, tetapi juga membingkainya dalam bentuk budaya yang mudah diterima masyarakat Jawa. Ketupat bukan sekadar makanan, melainkan simbol kesadaran diri, pengampunan, dan perjalanan spiritual menuju kesucian.
Ngaku Lepat dan Kesadaran Diri
Dalam bahasa Jawa, kupat merupakan akronim dari ngaku lepat, yang berarti mengakui kesalahan. Filosofi ini sejalan dengan tradisi sungkeman saat lebaran, di mana seseorang merendahkan diri di hadapan orang tua, saudara, dan kerabat untuk meminta maaf atas segala kekhilafan.
Sunan Kalijaga memahami bahwa Idul Fitri bukan hanya tentang berakhirnya puasa, tetapi juga tentang pembersihan diri. Ramadhan mengajarkan pengendalian hawa nafsu, kesabaran, dan kepedulian terhadap sesama. Ketika bulan suci berlalu, manusia kembali kepada fitrahnya, seperti bayi yang baru lahir. Namun, kesucian tidak akan tercapai tanpa pengakuan atas kesalahan dan keikhlasan untuk saling memaafkan.
Dalam tradisi Islam, meminta dan memberi maaf memiliki kedudukan yang tinggi. Nabi Muhammad pernah bersabda, "Barang siapa yang tidak mengasihi, maka ia tidak akan dikasihi." Dalam konteks ini, ketupat menjadi pengingat bahwa lebaran bukan hanya tentang kemenangan, tetapi juga tentang hati yang bersih dari dendam dan kesalahan.
Laku Papat: Empat Makna Hidup dalam Ketupat
Lebih jauh, Sunan Kalijaga menghubungkan ketupat dengan konsep laku papat, atau empat laku utama dalam kehidupan spiritual Jawa.
Pertama, lebo, kesadaran bahwa manusia pasti memiliki dosa dan kesalahan. Sebagai makhluk yang tak sempurna, manusia selalu berbuat khilaf, baik sengaja maupun tidak. Oleh karena itu, Ramadhan dan Idul Fitri menjadi momen refleksi dan perbaikan diri.
Kedua, luber, ajaran tentang kemurahan hati. Setelah menjalani Ramadhan, seseorang diharapkan menjadi pribadi yang lebih pemurah, baik dalam berbagi rezeki maupun dalam memaafkan kesalahan orang lain. Dalam tradisi Jawa, rezeki yang diterima seseorang bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga harus dinikmati bersama orang lain.
Ketiga, lebar, pengingat bahwa Ramadhan telah berakhir, tetapi esensinya harus tetap hidup dalam keseharian. Nilai pengendalian diri, kesabaran, dan kepedulian sosial harus tetap melekat meskipun bulan puasa telah berlalu.
Keempat, labur, yaitu keadaan di mana setelah meminta dan memberi maaf, hati kembali bersih seperti kain putih. Manusia diharapkan menjaga kebersihan hati dan niat baiknya dalam menjalani kehidupan setelah Ramadhan.
Janur dan Cahaya Spiritual
Bungkus ketupat yang terbuat dari janur juga menyimpan makna mendalam. Kata janur berasal dari bahasa Jawa yang mendapat serapan dari Arab, seperti ja’a nur, yang berarti “telah datang cahaya”, atau dari kata "sejatining nur", dan sebagainya. Ini menggambarkan bahwa setelah melewati Ramadhan dengan kesungguhan, seseorang akan memperoleh cahaya spiritual yang menerangi kehidupannya.
Janur juga melambangkan keikhlasan. Daun kelapa muda memiliki serat yang kuat tetapi tetap lentur, menggambarkan sifat seorang Muslim yang harus tegar dalam menghadapi cobaan hidup, tetapi tetap memiliki hati yang lembut dan mudah memaafkan. Seperti janur yang dianyam menjadi ketupat, manusia harus mampu merangkai kehidupannya dengan sabar dan kebijaksanaan.
Anyaman Ketupat dan Makna Sosial
Anyaman ketupat yang rumit juga memiliki filosofi tersendiri. Sunan Kalijaga mengajarkan bahwa hidup manusia penuh dengan lika-liku, kesalahan, dan cobaan. Namun, jika dijalani dengan sabar dan keikhlasan, semua itu akan membentuk pola kehidupan yang indah, seperti anyaman ketupat yang tertata rapi.
Lebih dari itu, anyaman ketupat menggambarkan hubungan sosial yang saling terjalin dalam masyarakat. Tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri; semua saling terhubung dan membutuhkan satu sama lain. Oleh karena itu, lebaran menjadi momen untuk mempererat tali silaturahmi, memperbaiki hubungan yang sempat renggang, dan membangun kembali persaudaraan yang mungkin sempat pudar.
Grebeg Syawal dan Lebaran Ketupat
Di Keraton Yogyakarta dan Surakarta, ketupat juga menjadi bagian dari tradisi Grebeg Syawal, sebuah upacara syukuran di mana raja membagikan ketupat kepada rakyatnya. Tradisi ini berakar dari ajaran Sunan Kalijaga tentang pentingnya berbagi berkah setelah Ramadhan.
Di beberapa daerah pesisir, ketupat juga dikaitkan dengan Lebaran Ketupat, yang dirayakan sepekan setelah Idul Fitri. Masyarakat menggelar kenduri, berdoa bersama, dan berbagi ketupat dengan tetangga. Ini adalah wujud nyata dari filosofi luber berbagi kebahagiaan kepada sesama.
Kembali ke Titik Nol
Dalam filosofi Jawa, Lebaran bukan hanya perayaan, tetapi juga sebuah perjalanan spiritual untuk kembali ke titik nol. Setelah sebulan penuh berpuasa, seseorang diharapkan menjadi pribadi yang lebih baik, lebih sabar, lebih pemaaf, dan lebih rendah hati.
Seperti ketupat yang harus dibuka lapisan demi lapisan sebelum disantap, manusia juga harus membuka hatinya untuk menerima kebaikan dan melanjutkan hidup dengan hati yang bersih.
Syair Ketupat Sunan Kalijaga
Dalam anyaman ini kita bertaut,
rengkuh janur yang lembut dan sabar,
seperti hati yang belajar memaafkan.
Lebaran datang mengetuk pintu,
bukan sekadar opor dan sambal ati,
tetapi tangis di pangkuan ibu,
dan genggam erat tangan saudara.
Di ujung doa, di meja makan,
ketupat tersenyum dalam diam.
H Wahyu Iryana, Penulis merupakan Penyair dan Sejarawan UIN Raden Intan Lampung
Terpopuler
1
Berangkat 8 Mei 2025, Ini Pesan-pesan untuk 352 Calon Jamaah Haji Pringsewu
2
Khutbah Jumat: Bulan Syawal, saatnya Mengenang Sejarah Perjuangan Umat Islam
3
Hukum Memelihara Anjing dalam Agama Islam
4
Optimalisasi Zakat Digital, LAZISNU PWNU Lampung Gelar Bimtek Pengelolaan ZIS Berbasis Web
5
Ketua PWNU Lampung Dorong ISNU Perkuat Peran Strategis Tangani Masalah Generasi Muda
6
Talkshow Indonesia Gelap, Fatikhatul Khoiriyah: Ruang Berekspresi Mahasiswa, Indikator Utama Sehatnya Demokrasi
Terkini
Lihat Semua