• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Kamis, 9 Mei 2024

Syiar

Wali Songo: Trah Alawiyin dan Raja-raja Nusantara

Wali Songo: Trah Alawiyin dan Raja-raja Nusantara
foto ilustrasi
foto ilustrasi

Wali Songo: Trah Alawiyin dan Raja-raja Nusantara
 

Oleh: Yudi Prayoga
 

ORANG-orang nusantara banyak memiliki silsilah biologis dari bangsa-bangsa asing. Tak mengherankan. Sebab, kala itu nusantara menjadi bagian jalur perdagangan yang menghubungkan antar benua dan samudra.
 

Banyak saudagar dan penjelajah yang singgah sejenak untuk sekedar berdagang atau hanya transisi. Namun banyak juga yang lama hingga menetap menjadi bagain masyarakat nusantara.
Mereka biasanya menikah dengan penduduk setempat dengan berbagai tujuan. Salah satunya untuk lebih mudah menyebarkan agama yang dianutnya. Itulah kenapa di nusantara banyak ditemukan ragam agama dan kepercayaan-kepercayaan, baik menjadi mayoritas, maupun minoritas.  
 

Orang nusantara sendiri, memiliki karakteristik yang sosial religius, menyambut dan menerima setiap pendatang yang berakhlak baik dan sopan santun, juga  menghargai segala kebaikan dari setiap agama yang hadir, dibawa oleh pendatang, meski agama tersebut bentuknya impor yang lahirnya jauh di pegunungan Himalaya dan Gurun Pasir.
 

Salah satu dari mereka adalah orang-orang Arab Qurais keturunan Nabi Muhammad SAW, atau sering juga disebut dengan Sayyid, Syarif, dan Habib (Alawiyyin) yang datang ke Indonesia, menetap, menikah dengan penduduk lokal, yang kemudian menurunkan biologis para Wali Songo.
 

Wali Songo memiliki dua trah biologis sekaligus. Dari jalur bapak tersambung hingga Imam Hasan dan Imam Husein, cucu Rasulullah SAW, berdarah Arab Qurais. Sedangkan dari jalur ibu tersambung ke raja-raja nusantara, berdarah Jawa, Sunda, Melayu, champa dan lain-lain. Bahkan ada juga yang bercampur bangsa di luar nusantara, seperti Persia, India dan China.

 

Di kemudian hari, para keturunan Alawiyyin yang menetap di nusantara diberi gelar Gusti, Kanjeng, Susuhunan/Sunan, dan Raden. Juga mengubah beberapa nama mereka menjadi nama-nama penduduk lokal. Hal itu bertujuan agar mereka dapat berselaras dengan sosial budaya setempat, dan diterima dalam dakwahnya. Seperti Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel,  Sunan Giri, Sunan Kalijaga, dll.
 

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, merupakan cucu raja Pajajaran, dari ibunya yang bernama Nyai Mas Rarasantang bin Prabu Siliwangi, atau Pangeran Pemanah Rasa, raja Sunda Pajajaran.
 

Setelah menikah di Arab dengan Sayyid Hud, seorang Alawiyyin,  Nyai Mas Rarasantang berganti nama menjadi Syarifah Mudaim, dan melahirkan Sunan Gunung Jati.  Ibu Nyai Mas Rarasantang sendiri berdarah Arab yakni Nyai Subang Larang putri Syekh Quro Karawang, yang dinikahi Prabu Siliwangi setelah memenangkan sayembara.
 

Karena Sunan Gunung Jati masih cucu raja Sunda, ia diperbolehkan menjadi Akuwu penguasa Cirebon, yang kemudian hari mendirikan Istana Pakungwati dan mendeklarasikan diri menjadi raja Islam Cirebon.
 

Sunan Ampel atau Raden Ali Rahmatullah, merupakan putra seorang Alawiyyin, Sayyid Ibrahim Samarqand, yang datang ke Champa untuk berdakwah ke istana, hingga mempersunting putri raja. Bisa dikatakan, Sunan Ampel merupakan cucu raja Champa, dari sang ibu, yang jika ditelusuri terus keatasnya akan sampai ke keluarga Raja Singasari, Prabu Kertanegara. Hal ini yang menjadikan Sunan Ampel sangat mudah memasuki istana kerajaan Majapahit, karena sama-sama memiliki darah Singasari. Didukung pula bibi Sunan Ampel dari ibu yang menjadi istri Prabu Brawijaya V Majapahit, menjadikanya lebih gampang memasuki wilayah istana, hingga diberikan tanah perdikan di Ampel Denta Surabaya. Kelak tanah tersebut dikelola, dan dibangun pondok pesantren.


Sunan Giri atau Raden Ainul Yaqin merupakan keturunan Alawiyyin,  putra Sayyid Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu putri Prabu Sembayu (Raja Blambangan) bin Bhre Wirabumi Majapahit. Ibu dari Syekh Maulana Ishaq atau nenek dari Sunan Giri sendiri yakni Dewi Chandra Wulan putri Wira Bhadrawarman dari dinasti Warmadewa. Karena memiliki dua trah, Alawiyyin dan Majapahit, kelak Sunan Giri berani mendirikan pemerintahan yang mandiri yang disebut Giri Kedaton.


Sunan Kali Jaga atau Raden Sahid juga seorang Sayyid atau Alawiyyin. Kakeknya  bernama Sayyid Abdurrahman. Karena berhasil mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara. Abdurrahman berhasil menikahi putri Aria Dikara dan dikaruniai anak bernama Sayyid Aria Wilatikta. Dari Aria Wilatikta inilah lahir Sunan Kalijaga.

Tatkala Aria Dikara wafat, Sayyid Abdurrahman menggantikanya sebagai bupati Tuban, kemudian mengganti namanya menjadi Aria Teja.  
 

Karena ikatan kekerabatan itulah dakwah para Wali Songo sangat diterima di kalangan raja-raja setempat, bahkan direstui dan diberikan tanah perdikan untuk menyebarkan dakwah kepada masyarakatnya. Tanpa ikatan biologis sangat sulit menerima orang asing, terutama bagi seorang penguasa.
 

Keturunan Wali Songo kemudian terus menerus berasimilasi secara biologis dengan kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak, Pajang, Cirebon, Banten, Lampung, Mataram, dll. Hingga kelak menurunkan kiai-kiai Nahdlatul Ulama (NU).

 

Jika dihitung secara akumulatif, hampir 50 persen, kiai-kiai NU, dari jalur bapak memiliki nasab biologis sampai Imam Hasan dan Husein, lewat Wali Songo. Sedang dari jalur ibu bersambung kepada raja-raja nusantara. Itulah mengapa akidah, fikroh, harokah, amaliyah, kiai-kiai NU sama dengan Wali Songo. Bukan hanya dikuatkan secara nasab keilmuan, melainkan juga nasab biologis.  Sama-sama dakwah yang mengedepankan hamemayu hayuning buwono atau rahmatan lil alamin.

 

(Yudi Prayoga/ penulis merupakan sekretaris MWCNU Kedaton, Bandar Lampung)

 


Editor:

Syiar Terbaru