• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Selasa, 19 Maret 2024

Syiar

Keutamaan Puasa 9 Hari Pertama di Bulan Dzulhijjah 

Keutamaan Puasa 9 Hari Pertama di Bulan Dzulhijjah 
kaligrafi
kaligrafi

Pemerintah telah menetapkan bahwa awal bulan Dzulhijjah jatuh pada Jumat, 1 Juli 2022 dalam sidang isbat yang digelar pada Rabu (29/6/2022) malam.  Itu berarti, kita akan merayakan Idul Adha pada Ahad, 10 Juli mendatang, atau tepat pada 10 Dzhulhijjah.

 

Sebagai salah satu bulan yang dimuliakan oleh Allah swt, pada bulan Dzulhijjah terdapat kewajiban melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu menunaikannya. Sementara orang yang tidak atau belum mampu, dianjurkan memperbanyak amalan sunah lainnya seperti sedekah, shalat, dan puasa. 

 

Dengan demikian, kesempatan beribadah tidak hanya diberikan kepada jamaah haji. Siapapun mendapat kesempatan beramal meskipun dalam bentuk yang berbeda-beda.

 

Anjuran memperbanyak amal saleh itu termaktub dalam beberapa hadits. Misalnya hadits riwayat Ibnu ‘Abbas yang ada di dalam Sunan At-Tirmidzi: 

 

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر

 

Artinya, “Rasulullah saw berkata: Tiada ada hari lain yang disukai Allah swt untuk beribadah seperti sepuluh hari ini. ” (HR At-Tirmidzi). 

 

Hadits di atas menunjukkan beramal apapun di sepuluh hari pertama Dzulhijjah sangat dianjurkan. Namun kebanyakan ulama menggunakan hadits tersebut sebagai dalil anjuran puasa sembilan hari pada awal Dzulhijjah. 

 

Hal ini terlihat dalam pembuatan judul bab hadits tersebut. Ibnu Majah memberi judul bab hadis di atas dengan “shiyamul ‘asyr" (puasa sepuluh hari).

 

Dalam kajian hadits, pemberian judul bab sekaligus menunjukkan pemahaman seorang rawi terhadap hadis yang diriwayatkan. Artinya, secara tidak langsung Ibnu Majah selaku perawi menjadikan hadits itu sebagai dalil kesunahan puasa. 

 

Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan:

 

واستدل به على فضل صيام عشر ذي الحجة لاندراج الصوم في العمل 

 

Artinya, “Hadits ini menjadi dalil keutamaan puasa sepuluh hari di bulan Dzulhijjah, karena puasa termasuk amal saleh.”

 

Kendati disebutkan puasa sepuluh hari dalam hadits di atas, ini bukan berarti pada tanggal 10 Dzulhijjah juga dianjurkan puasa. Malah puasa pada tanggal itu dilarang karena bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha.


Terkait maksud “ayyamul ‘asyr” ini, An-Nawawi sebagaimana dikutip Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi menjelaskan: 

 

والمراد بالعشر ها هنا الأيام التسعة من أول ذي الحجة 

 

Artinya, “Yang dimaksud sepuluh hari di sini ialah sembilan hari, terhitung dari tanggal satu Dzulhijjah.” Berdasarkan pendapat An-Nawawi ini, siapapun disunahkan untuk beramal sebanyak-banyaknya di bulan Dzulhijjah khususnya puasa sembilan hari di awal bulan. 

 

Dalam hadits lain, saking penasarannya sahabat tentang keutamaan beramal sepuluh hari di bulan Dzulhijjah, mereka bertanya kepada Rasul saw, “Apakah jihad juga tidak sebanding dengan beramal pada sepuluh hari tersebut?” Rasul menjawab, “Tidak, kecuali ia mengorbankan harta dan jiwanya di jalan Allah (mati syahid).” (HR Ibnu Majah). 

  

Dengan demikian, Rasul menyetarakan pahala beramal di sepuluh hari Dzulhijjah dan mati syahid. Tetapi karena konteks negara kita bukan peperangan, dalam kondisi aman dan damai, maka tentunya memperbanyak amal di bulan Dzulhijjah, terutama puasa, sangat diutamakan.


Syiar Terbaru