• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Rabu, 24 April 2024

Seni Budaya

Cerpen: Tuhan Mana yang Kau Bela?

Cerpen: Tuhan Mana yang Kau Bela?
Ilustrasi alam semesta
Ilustrasi alam semesta

Cerpen Wahyu Iryana

 

“Keyakinan kita adalah yang paling benar. Tidak ada ajaran yang paling benar, selain ajaran yang kita anut. Maha Besar Tuhan! Maha Besar Tuhan!” Dengan lantang Ustadz Dewo menyampaikan khutbahnya pada masjid yang sering kami jadikan untuk shalat Jumat tiap minggunya. 

 

Ini sudah bulan yang ke sepuluh sejak saya bergabung dengan kelompok berjubah. Mereka menamakan dirinya sebagai kelompok Hati Putih. Simbol putih untuk menunjukkan bahwa mereka lah satu-satunya kelompok yang mengajarkan kesucian ajaran Tuhan. 

 

Menurut mereka, ajaran yang ada di luar kelompok mereka adalah bid’ah dan khurafat. Atas nama bid’ah dan khurafat pula lah, aku ikut melakukan penyerangan berbagai tempat yang dianggap membahayakan keyakinan, seperti kuburan, pohon-pohon besar yang tidak berdosa pun menjadi amukan kami, dan tempat-tempat yang penuh dengan kesesatan.

 

Tidak hanya itu, kami melakukan kegiatan-kegiatan pembersihan tempat kemaksiatan yang dianggap sebagai sumber bencana, diantaranya klub malam, kafe-kafe, tempat main bilyard, dan yang lainnya. Begitulah kami sebagai kelompok Para Hati Putih akan tetap menghancurkan tempat-tempat yang dianggap bertentangan dengan ajaran yang kami anut. 

 

Aku pun masuk kelompok ini karena tidak lebih dari ajakan pamanku yang sudah lama masuk kelompok ini. Pada mulanya, aku tidak mau,  namun setelah pamanku terus membujuk diriku tanpa lelah, akupun ikut saja. Saat aku masuk kelompok ini, ada seorang pemuda yang kira-kira umurnya sepadan dengan ku, namanya adalah Dasim. Kami dibaiat langsung oleh Ustadz Dewo yang menjadi ketua kelompok Para Hati Suci.

 

“Kenapa kau masuk kelompok ini?" tanyaku kepada Dasim.

 

“Aku diajak oleh temanku yang sudah masuk kelompok ini. Katanya kelompok ini adalah kelompok yang benar dalam mengajarkan ajaran Tuhan.” Dasim menjawab pertanyaanku dengan mantap. 

 

“Kau sendiri kenapa?” Dasim balik bertanya.

 

“Aku diajak pamanku yang sudah menjadi pengurus kelompok ini. Pada mulanya aku tidak mau, tapi pamanku terus membujukku. Aku kasihan padanya, maka aku putuskan saja masuk kelompok ini, meskipun aku belum tahu persis seperti apa ajaran kelompok ini.”

 

Itulah jawabankau saat itu, saat aku dianggap sah dan menjadi kelompok ini. Berbagai kegiatan sudah aku laksanakan selama sepuluh bulan ini dengan baik. Bahkan Ustadz Dewo sendiri melihat sosokku sebagai pemuda yang militan, tidak pantang menyerah, dan siap tampil di depan. Namun, ada yang aku herankan, sampai saat ini aku masih belum bisa memahami berbagai kegiatan yang sebagian besar tidak aku pahami.

 

“Kenapa kita melakukan penyerangan ke tempat ibadah paman?” tanyaku suatu hari kepada pamanku yang lagi mengenakan kain sorban di kepalanya.

 

“Karena mereka berbeda keyakinan dengan kita.” 

 

"Apakah tidak dosa melakukan penyerangan-penyerangan itu? Bukankah itu merupakan pelanggaran HAM?”

 

“HAM katamu? Pemerintah kita saja terkadang tidak memperhatikan HAM. Lihat ikhwan-ikhwan kita yang ada di Palestina! Mereka berperang terus-menerus melawan Zionis Israel. Sementara disini banyak orang yang berfoya-foya dalam kemaksiatan," jawab Paman dengan ketus sambil mendekatkan kepalanya ke kepalaku. 

 

“Pakai tu sorban! Sebentar lagi kita berkumpul di rumahnya Ustadz Dewo  . Ada hal yang harus dibicarakan,” kata paman sambil berlalu.

 

Akupun mengenakan sorban putih di atas kepala, tidak lupa aku juga memakai baju gamis sepanjang lutut.

 

***

 

Malam ini kami berkumpul di rumah Ustadz Dewo. Di sana tampak sudah ramai dan banyak orang yang seperti ku. Mereka memakai kain sorban di atas kepala, dan mereka pun memakai baju gamis yang hampir sama dengan diriku. Aku dan pamanku langsung disambut oleh Ustadz Dewo. 

 

Aku melihat Syam sudah duduk di dalam rumah bersama-sama dengan yang lain.

 

“Ini komandan kita!” Sambut Ustadz Dewo kepada pamanku. Aku mengikuti langkah pamanku di belakangnya. Lalu kami mengambil tempat duduk yang masih kosong. Pembicaraan malam ini begitu tegang dan alot.

 

“Menurut info yang aku terima dari beberapa ikhwan kita disana. Besok akan ada penjagaan polisi, namun tidak terlalu ketat. Orang-orang yang ada di sana mungkin sudah diungsikan malam ini. Meskipun begitu, kita tetap akan melaksanakan kegiatan besok tepat setelah shalat Jum’at, ” kata Ustadz Dewo berkata kepada paman.

 

“Apakah para ikhwan kita sudah mempersiapkan semuanya?” tanya Paman.

 

“Tenang saja! Segala hal sudah dipersiapkan. Besok kita berangkat bersama seluruh anggota jemaah, laki ataupun wanita, muda ataupun tua, besar ataupun kecil, untuk melaksanakan kegiatan ini. Kita bersihkan bumi ini dari para pengkhianat Tuhan. Maha Besar Tuhan! Maha Besar Tuhan!” ujar Ustadz Dewo.

 

Aku sendiri tidak begitu mengerti tempat mana yang akan  diserang besok. Yang jelas Paman bersemangat mendukung rencana Ustadz Dewo.  Aku sendiri sebenarnya sudah lesu mengikuti kegiatan-kegiatan dalam kelompok ini.

 

“Kenapa kita tidak saja pergi ke Palestina, Paman? Di sana jelas siapa musuh kita!” tanyaku setelah usai pertemuan di rumah Ustadz Dewo.

 

“Di sana terlalu jauh dan membutuhkan banyak biaya. Di sini sama saja, kita juga bisa melakukan jihad!”

 

“Jihad? Apakah kegiatan kita menghancurkan tempat ibadah itu disebut dengan jihad?” bantahku kepada Paman.

 

“Huuss! Ngawur kamu. Jelas-jelas mereka itu berbeda keyakinan dengan kita.”

 

“Dasar apakah yang kita pakai untuk melakukan kegiatan ini Paman?”

 

“Ingat! Nabi menyuruh kita untuk menghentikan kemungkaran dengan tangan kita, bila tidak bisa dengan lisan, dan bila tetap tidak bisa maka dengan hati, dan itulah selemahnya iman.”

 

“Itukah alasan yang kita pakai dalam melakukan setiap kegiatan kita? Sejauh pengetahuanku Rasul sendiri tidak pernah melakukan penghancuran tempat ibadah, meskipun itu di waktu perang. Rasul sendiri tidak melakukan penghancuran tempat-tempat yang dianggap umum.”

 

“Diam kamu! Kamu masih belum tahu benar apa ajaran kita. Sudah ikuti saja,” bentak Paman. Ia pun pergi begitu saja dari hadapanku.

 

***

 

Shalat Jumat sudah usai. Kami kelompok Hati Putih   berkumpul di depan masjid. Masjid yang kami tempati memiliki halaman yang luas, di atas masjid terdapat kubah berwarna hijau dengan tanda bulan dan bintang sabit bertengger di atasnya dengan penuh kewibawaan.

 

Di samping masjid terdapat menara yang tinggi tempat menaruh toa sebagai sarana untuk mengumandangkan panggilan Tuhan. Sehari lima kali aku selalu mendengar panggilan Tuhan untuk ibadah di masjid. 

 

Tidak lama kemudian, Ustadz Dewo beserta beberapa orang yang mengikutinya keluar dari masjid. Paman juga ada di sana. Ustadz Dewo tampak gagah dengan sorban putih diatas kepalanya, baju gamisnya terurari sepanjang lutut. Di tangan kanannya tampak tongkat dari bahan kayu jati.

 

Dalam pandanganku ia nampak seperti Nabi Musa yang hendak memimpin orang-orang Israel pergi dari Mesir menuju tanah yang dijanjikan Tuhan di negeri Kanaan.

 

“Ikhwan-ikhwan yang dimuliakan Tuhan! Hari ini kita akan menyerang tempat ibadah para pengkhiat Tuhan. Jangan sampai bumi ini ditempati oleh para pengkhianat Tuhan. Maha Besar Tuhan! Maha Besar Tuhan!” Itulah ceramah yang disampaikan oleh Ustadz Dewo sebelum kami berangkat.

 

“Maha Besar Tuhan! Maha Besar Tuhan!” Kami pun menyambut pekikan dari Ustadz Dewo. Lalu kami semua menutupi wajah kami dengan kain sorban selain yang ada di kepala kami supaya tidak terkena kamera para wartawan. Ustadz Dewo menyarankan untuk menutupi wajah dari sorotan kamera para wartawan.

 

“Kamera itu adalah alat iblis untuk menjebak kita, supaya kita tidak menegakkan ajaran Tuhan yang paling benar. Tutupilah muka kalian supaya tidak terkena tipu daya Iblis-iblis terlaknat itu!” seru Ustadz Dewo kepada kami sebelum berangkat.

 

Setelah memberikan motivasi yang berapi-api, akhirnya kami pun berangkat menuju tempat yang sudah ditentukan oleh Ustadz Dewo. 

 

Di jalan-jalan, kami tetap meneriakkan kata-kata “Maha Besar Tuhan! Maha Besar Tuhan!” yang tujuannya untuk menggetarkan musuh-musuh kami. 

 

Bumi seperti bergoyang dengan langkah kami yang berderap. Sinar matahari seolah-olah memberikan sinar terangnya atas izin Tuhan kepada setiap langkah kami. Di barisan paling depan, Ustadz Dewo meneriakkan, “Enyahlah kalian semua para musuh Tuhan. Hancurlah semua para pengkhianat Tuhan.”

 

Paman sendiri begitu bersemangat meneriakkan kata-kata itu di samping Ustadz Dewo. Kami semua membawa segala peralatan yang bisa dibawa, mulai dari pedang samurai hingga linggis, mulai dari kayu-kayu yang besar hingga batu-batu di pinggir jalan, semuanya menjadi alat bagi kami untuk menghancurkan pengkhianat Tuhan.

 

Akhirnya kami sampai di tempat yang dituju. Sebuah bangunan yang tidak begitu besar, cat bangunan berwarna putih, di atas bangungan terlihat kubah warna putih yang sudah agak kusam, dan di atasnya terlihat simbol Tuhan, yaitu bintang dan bulan sabit. 

 

Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, ternyata perjalanan sangat jauh dari masjid, tempat kami melakukan shalat Jumat tadi. Sinar matahari tampak memberikan warna keemasan pada kubah di atas bangunan yang akan kami serang sekarang ini. Emas itu seperti asli, tidak dicat atau disepuh dengan warna emas.

 

“Tempat ini tidak layak untuk rumah Tuhan. Di dalamnya ada pengkhianat Tuhan!” teriak Ustadz Dewo  .

 

“Maha Besar Tuhan! Maha Besar Tuhan!” Teriakan kami setelah Ustadz Dewo berkata. 

 

Posisiku tepat di sisi depan bangunan itu. Aku melihat seseorang sedang berdoa di dalam bangunan itu. Pakaiannya tak jauh beda dengan ku, ia memakai peci warna hitam, sarung kotak-kotak, dan berbaju takwa. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah itu yang disebut pengkhiatan Tuhan. 

 

Aku kaget, saat beberapa orang dari kelompokku memaksa masuk ke tempat itu. Mereka mendobrak pintu bangunan itu sampai rubuh, dan yang lain pun ikut merusak kaca jendela. Tiang-tiang bangunan itu pun tak luput dari hajaran kelompokku. 

 

Aku melihat sekeliling, di sana ada sepuluh orang polisi, mereka hanya diam saja, kemungkinan kalah jumlah dengan kelompok kami yang hampir mencapai dua ratus orang. Beberapa wartawan juga tampak dengan membawa kamera-kamera mereka.

 

Lampu blitz dari kamera-kamera wartawan terus mengabadikan kegiatan kami, kegiatan untuk menghancurkan tempat pengkhianat Tuhan. Aku sendiri tidak mau ambil pusing akan hal itu. Beberapa orang yang tadi memaksa masuk sudah keluar dengan menyeret orang yang berdoa dalam bangunan tadi. 

 

“Ini adalah pengkhianat Tuhan. Maha Besar Tuhan! Maha Besar Tuhan!” Tiba-tiba orang yang menyeret orang tadi mendaratkan pukulan ke tubuh orang itu. Beberapa orang pun ikut memukuli. Aku sendiri dan Dasim ditugaskan untuk berjaga-jaga bila ada penyerangan dari kelompok lain ke kelompok kami. Maka dalam penyerangan kali ini, aku dan Dasimhanya melihat saja. Aku melihat Ustadz Dewo yang masih berorasi tentang para pengkhianat Tuhan.

 

“Naiklah kalian semua ke kubah itu. Hancurkan kubah itu. Kubah itu tidak layak ada di tempat ini!” Seru Ustadz Dewo.   

 

Beberapa orang pun naik ke atas bangunan itu. Mereka dengan beringas menghancurkan kubah. Tak lama kemudian, banyak orang yang naik ke atas bangunan ikut menghancurkan kubah itu.

 

Pandanganku beralih ke orang yang dipukuli ramai-ramai tadi. Aku melihat darah segar keluar dari kepalanya. Ia tak melawan, dan aku melihat dengan jelas dari mulutnya yang komat-kamit menyebut beberapa kalimat. Aku mencoba lebih dekat ke orang yang hampir sekarat itu. Sayup-sayup aku mendengar dari mulut orang itu “Maha Suci Tuhan! Tidak ada Tuhan selain Dia yang Maha Hidup dan Maha Berdiri, dan saya bertobat kepadanya!”

 

Dalam hati aku bertanya, apa bedanya dia dengan kami. Mataku kualihkan ke kubah yang sudah mulai hancur, simbol bulan sabit dan bintang sudah tidak ada lagi di sana. Orang-orang yang ada di atas bangunan itu pun turun, mereka beramai-ramai menghancurkan bangunan itu. 

 

Akhirnya seluruh kelompok kami ikut menghancurkan bangunan itu. Orang yang tadi berdoa dalam masjid itu akhirnya terinjak-injak oleh kaki-kaki kelompok kami yang bersemangat menghancurkan bangunan itu. Aku melihat orang itu sudah tidak berkomat-kamit lagi. Dia diam, dari mulutnya mengalir darah kental, aku mencoba mengamatinya lebih dekat, dia diam…diam untuk selamanya.

 

Bersamaan dengan itu, dengan jelas aku melihat bangunan itu hancur, bangunan di mana tadi ada orang berdoa kepada Tuhan di dalamnya. Dan jelas pula dimataku Simbol Bulan Sabit dan Bintang diinjak oleh orang-orang kelompokku. 

 

“Apa yang mereka lakukan sebenarnya?” tanyaku kepada Dasim.

 

“Mereka menghancurkan tempat pengkhianat Tuhan.”

 

“Pengkhianat Tuhan? Maksudmu?” Bukankah mereka sama dengan kita?”

 

“Tidak! Mereka tidak sama dengan kita. Mereka memiliki ajaran tersendiri, bahkan mereka meyakini ada nabi setelah nabi yang kita yakini itu. Bukankah itu pengkhianat Tuhan!”

 

“Lalu apa salahnya dengan bangunan ini?”

 

“Bangunan ini tidak salah. Hanya saja jika bangunan ini tidak dihancurkan, mereka akan terus mengkhianati Tuhan."

 

“Lalu bagaimana dengan orang yang mati itu?” Aku menunjuk ke orang yang dihajar oleh kelompokku.

 

“Biarkan dia mati. Dia mendapat apa yang seharusnya ia dapat.”

 

Aku masih bingung dengan semua ini, dalam lirih aku berkata kepada Dasim yang berdiri tepat di sampingku, “Kalau hari ini kita berhasil menghancurkan rumah Tuhan dan membunuh hamba-Nya, tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti kitapun akan membunuh Tuhan itu sendiri!”

 

Bandung, 21 Januari 2021

 

Wahyu Iryana, Ketua Program Studi Sejarah Peradaban Islam, UIN Raden Intan, Lampung


Seni Budaya Terbaru