Pernik

Politisasi Nasab: Menyulam Silaturrahim dalam Sejarah yang Retak

Senin, 5 Mei 2025 | 13:37 WIB

Politisasi Nasab: Menyulam Silaturrahim dalam Sejarah yang Retak

Polemik nasab dan sejarah (ilustrasi: daulat.co)

Di antara riak zaman dan gelombang kekuasaan, nasab tak pernah benar-benar menjadi soal darah belaka. Ia adalah jejak sejarah, harapan kolektif, bahkan kadang peluru simbolik dalam pertarungan otoritas keagamaan dan sosial. Di tanah air, perdebatan tentang keabsahan nasab tertentu kembali menyeruak, terutama menyangkut silsilah para habib, atau keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Fathimah dan Ali. Teranyar, polemik antara KH Imaduddin dan sebagian tokoh Ba‘Alawi menjadi sorotan tajam, menyeret banyak emosi, klaim, dan debat panjang di berbagai forum daring maupun luring.

 

Tulisan ini tidak untuk mengaduk bara atau memperkeruh suasana. Justru sebaliknya: tulisan ini adalah upaya menyejukkan, menyulam kembali silaturahmi melalui pendekatan sejarah, sumber primer, dan nalar kritis yang adil.

 

Genealogi dan Warisan Ba‘Alawi

Nasab para sayyid telah menjadi perhatian sejak abad pertama Hijriyah. Di Hadramaut, Yaman Selatan, berkembang komunitas Al-Ba‘Alawi yang mengklaim keturunan dari Ahmad bin Isa al-Muhajir, tokoh sufi yang hijrah dari Basra ke Hadramaut pada abad ke-10 M. Komunitas ini dikenal karena keberhasilannya menjaga silsilah melalui catatan tertulis dan tradisi lisan yang ketat. Silsilah mereka kemudian tersebar luas ketika para habib bermigrasi ke Asia Tenggara pada abad ke-17 dan 18, menjadi penyebar Islam yang berpengaruh dari Aceh hingga Ambon.

 

Literatur primer seperti al-Nafhah al-‘Athirah karya Sayyid Muhammad bin Ahmad al-Syathiri (1952) dan al-Mu‘jam al-Latif karya Sayyid Idrus bin Umar al-Habsyi memberikan gambaran detil silsilah Ba‘Alawi. Di Batavia, manuskrip silsilah juga ditemukan dalam bentuk Silsilah al-Saadah yang disalin oleh Haji Abdul Hamid (awal abad ke-20), menunjukkan upaya serius komunitas Arab dalam menjaga garis nasab sebagai bagian dari identitas dan legitimasi spiritual.

 

KH Imaduddin: Kritik atas Feodalisme Simbolik

Namun sejarah tidak berjalan tunggal. KH Imaduddin (1931–2008), seorang cendekiawan dan aktivis dari kalangan Nahdliyin, menjadi salah satu suara kritis terhadap politisasi nasab. Dalam tulisan dan ceramahnya yang terekam dalam jurnal Basis dan makalah-makalah di era 1980-an, Imaduddin mempertanyakan apa yang ia sebut sebagai “kultus darah”. Ia menolak keistimewaan berbasis garis keturunan, terutama jika itu digunakan untuk mengklaim otoritas keagamaan atau status sosial.

 

Dalam salah satu kutipannya yang paling kontroversial, ia mengatakan: “Kalau benar anak cucu Nabi pasti mulia, kenapa sebagian penguasa zalim pun mengaku keturunan Nabi?” Bagi Imaduddin, Islam menghargai manusia karena takwa dan ilmu, bukan silsilah. Pernyataan ini memicu gelombang reaksi keras dari sebagian kalangan Ba‘Alawi, yang menganggapnya sebagai bentuk pelecehan terhadap kehormatan leluhur.

 

Namun sejarawan, dengan mandat keilmuan dan empati sosial, melihat polemik ini bukan sebagai konfrontasi pribadi, melainkan benturan tafsir dalam konteks sosial-politik umat Islam Indonesia.

 

Nasab dalam Lintasan Sejarah Kolonial

Penting dicatat bahwa dalam sistem kolonial Belanda, nasab memiliki implikasi hukum dan sosial. Keturunan Arab, terutama yang diakui sebagai sayyid, ditempatkan dalam kategori Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), berbeda dari inlander (pribumi). Posisi ini memberi mereka perlakuan hukum yang unik, terkadang lebih tinggi dari pribumi, namun tetap di bawah orang Eropa. Setelah kemerdekaan, status ini menjadi ambigu. Dalam dinamika politik identitas dan ormas keagamaan modern, simbol nasab kadang digunakan sebagai alat kampanye atau sebagai penanda "kewibawaan ilahiah".

 

Sikap Sejarawan: Menjernihkan, Bukan Mengaburkan

Sejarawan sejati tidak berpihak dalam fanatisme. Mereka berpihak pada data, dokumen, manuskrip, dan kesaksian. Mereka bekerja bukan hanya dengan metode ilmiah, tetapi juga dengan adab pengetahuan. Sebagaimana dicatat Prof. Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (1994), jaringan ulama di Nusantara terbentuk dari berbagai latar: Arab, pribumi, Persia, bahkan India. Banyak tokoh besar Islam di Nusantara yang tidak berasal dari sayyid, namun memiliki otoritas ilmu luar biasa sebut saja Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Abdush Shamad al-Palimbani, atau Syekh Yusuf Makassar.

 

Sikap kritis terhadap nasab bukan berarti menolak silsilah. Ia adalah mekanisme koreksi agar nasab tidak menjadi "kartu sakti" yang mematikan ruang meritokrasi dalam agama. Kritik Imaduddin patut dibaca sebagai dorongan etis, bukan serangan pribadi. Sementara sikap sebagian Ba‘Alawi juga dapat dipahami sebagai bagian dari perasaan menjaga warisan identitas dan spiritualitas.

 

Sosok Habib yang Menyatu dengan Umat

Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (Kwitang), Habib Husein bin Abu Bakar al-Aydrus (Luar Batang), dan Habib Ja’far bin Sholeh Tanggul adalah contoh bagaimana para habaib menjadi pengayom umat. Mereka tidak mengandalkan nasab sebagai benteng eksklusif, tetapi justru menjadikannya sebagai amanah untuk mengabdi. Mereka terbuka terhadap umat, egaliter, dan bersahaja.

 

KH Imaduddin sendiri, dalam banyak kesempatan, menyatakan penghormatannya terhadap habib-habib yang berjuang membela kaum lemah dan membangun dakwah yang inklusif. Kritiknya semata-mata ditujukan pada konstruksi simbolik yang, menurutnya, telah bergeser menjadi feodalisme religius.

 

Rekonsiliasi dan Jalan Tengah

Kita memerlukan ruang dialog yang tenang dan rasional. Jika ada perbedaan tafsir soal silsilah, maka biarlah disiplin ilmu nasab (ansab) menyelesaikannya. Jika ada yang mempersoalkan validitas suatu garis keturunan, maka jawab dengan data, bukan amarah. Islam mengajarkan bahwa kebenaran akan berdiri sendiri jika disampaikan dengan hujah.

 

Dokumentasi silsilah harus diuji dengan disiplin ilmu nasab, dibantu ilmu sejarah dan antropologi. Manuskrip perlu diperbandingkan, lisan perlu diverifikasi, dan semua pihak harus membuka diri terhadap kritik ilmiah. Namun jika nasab mulai digunakan sebagai dasar eksklusivitas atau justifikasi kekuasaan, maka masyarakat sipil dan ilmuwan wajib bicara.

 

Kita tidak boleh membiarkan sejarah menjadi medan konflik tak berkesudahan. Kita harus menenun ulang ingatan kolektif menjadi jembatan, bukan jurang. Nasab adalah bagian dari memori sosial, tapi tidak boleh dijadikan alat pengucilan. Kita semua anak Adam, dan Adam dari tanah.

 

Menjadi Rahmat, Bukan Alat Hegemoni

Sebagaimana hujan tak memilih daun mana yang basah, rahmat Allah pun tak mengenal silsilah. Ia turun pada siapa saja yang ikhlas, jujur, dan berilmu. Keturunan Nabi tentu punya keistimewaan spiritual, tapi itu tidak otomatis menghapus prinsip keadilan sosial dan akhlak keilmuan.

 

Jika ada yang mengaku habib, maka ia harus meneladani Nabi dalam kejujuran, kesabaran, dan kerendahan hati. Jika ada yang mengaku pembela kebenaran, maka jangan sampai menyulut fitnah atas nama purifikasi. Dalam Islam, kemuliaan diukur bukan dari darah, tapi dari manfaat.

 

Sejarah yang Merangkul, Bukan Menyingkirkan

Polemik nasab seharusnya tidak mengarah pada polarisasi umat. Kita butuh lebih banyak forum ilmiah, bukan debat emosional. Kita butuh mufakat, bukan makian. Kita butuh sejarah yang menjernihkan, bukan sejarah yang diperalat.

 

Marilah kita rawat sejarah sebagai taman yang ramah, bukan hutan yang gelap. Jika semua pihak mau menundukkan ego, membuka buku-buku lama, dan berdialog dalam adab, maka percayalah: luka silsilah bisa sembuh. Yang penting bukan darah siapa yang mengalir, tapi nilai apa yang kita wariskan.

 

Nasab hanyalah tali, amal adalah layarnya. Tanpa angin adab dan arah ilmu, kapal kita takkan ke mana-mana.

 

H Wahyu IryanaDirektur Eksekutif Pusat Studi Sejarah Islam Lampung.