Pernik

Omar Khayyam: Filsuf Langit, Penyair Bumi

Senin, 2 Juni 2025 | 09:36 WIB

Omar Khayyam: Filsuf Langit, Penyair Bumi

Omar Khayyam (Ilustrasi: Al-Munawwir)

Catatan sejarah telah memberi bukti bahwa di antara cahaya peradaban Islam abad ke-11 dan ke-12, nama Omar Khayyam (1048-1131) bersinar seperti bintang cemerlang di langit Persia. Ia adalah sosok polymath sejati seorang matematikawan, astronom, filsuf, sekaligus penyair. Lahir di Nishapur, kota tua yang kini berada di Iran, Khayyam menjelma menjadi mercusuar pengetahuan dan perenungan eksistensial. Namanya melintasi batas zaman dan geografis, dari manuskrip kuno Persia hingga buku puisi yang terpajang di rak toko buku Eropa modern.

 

Yang paling menggugah dari Khayyam bukan hanya rumus matematikanya, melainkan bait-bait puisinya yang menyusup ke relung batin manusia. Karya terkenalnya, Rubaiyat, adalah kumpulan puisi empat baris (rubai) yang ditulis dalam bahasa Persia. Di sana, ia mengajak kita merenungkan kefanaan, ketidakpastian hidup, cinta, dan kritik terhadap kemunafikan religius dengan gaya yang begitu sederhana, tetapi sarat makna.

 

Dalam salah satu bait yang terekam dalam manuskrip Persia koleksi British Library (MS Persian 1032), Khayyam menulis:

 

ای شاخ تر بر باد ده که گلی نخواهد ماند

 

Artinya: Hai ranting muda, lepaskan dirimu pada angin, karena bunga tak akan selamanya ada.

 

Bait ini, yang tampak sederhana, sejatinya adalah tamparan lembut pada segala bentuk kesombongan manusia. Ia mengingatkan bahwa segalanya fana, bahwa dunia tak lebih dari bunga yang sebentar mekar lalu gugur. Bahwa bahkan kegemilangan akan habis waktu.

 

Dari Nishapur ke London: Perjalanan Rubaiyat Menembus Abad

Rubaiyat memang awalnya hanya dikenal dalam lingkup dunia Islam. Namun, karya ini menemukan kehidupan baru ketika Edward Fitz Gerald, seorang bangsawan Inggris yang juga penyair dan penerjemah, menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1859. Fitz Gerald tidak sekadar menerjemahkan secara literal, tetapi mengadaptasi makna Khayyam agar bisa dimengerti oleh pembaca Eropa era Victoria.

 

Hasilnya? Sebuah karya yang mengguncang dunia sastra Inggris. Kalimat seperti ini menjadi sangat populer: “A Book of Verses underneath the Bough, A Jug of Wine, a Loaf of Bread and Thou.”

 

Di balik kata-kata puitis itu tersembunyi kritik mendalam terhadap kepalsuan religius, dan dorongan untuk menikmati hidup dengan kesadaran penuh. Dalam dunia yang sering dibungkam oleh dogma, suara Khayyam adalah oase rasional dan spiritual. Ia tidak mengajak mabuk dalam arti harfiah, tetapi mengajak mabuk dalam perenungan dan kemerdekaan berpikir.

 

Matematika dan Langit Persia: Warisan Seorang Jenius

Namun, tidak adil jika hanya mengenal Khayyam dari sisi sastranya. Di dunia ilmu pengetahuan, ia dihormati sebagai matematikawan yang melampaui zamannya. Dalam karya besarnya Risāla fī al Barāhīn ‘alā Masā’il al Jabr wa al-Muqābalah, Khayyam menyusun pendekatan geometris untuk menyelesaikan persamaan kubik metode yang belum dikenal di dunia Eropa waktu itu.

 

Dalam salah satu manuskrip yang tersimpan di Bibliotheque Nationale de France (Ms. Persan 1342), Khayyam menulis dengan tenang namun pasti:


"Aku berusaha menjelaskan bagaimana persamaan kubik dapat diselesaikan dengan bantuan geometri, sebagaimana yang belum pernah dilakukan sebelumnya."

 

Hari ini, kita tahu bahwa penyelesaian umum untuk persamaan kubik secara aljabar baru muncul di Eropa abad ke-16. Khayyam sudah melakukannya lima abad sebelumnya dengan elegansi geometri klasik dan intuisi visual yang menakjubkan. Ia bukan sekadar menghitung, tapi memahami bentuk dan makna angka secara filosofis.

 

Kalender Jalali: Akurasi Waktu yang Mengalahkan Barat

Tak hanya berhitung dan menulis puisi, Khayyam juga menciptakan kalender. Ya, kalender dan bukan sembarang kalender.

 

Pada tahun 1079, ia diundang Sultan Malik Shah I untuk memimpin tim ilmuwan menyusun sistem penanggalan baru. Hasilnya adalah Kalender Jalali, dinamai dari nama Sultan (Jalal al-Din). Kalender ini yang disusun berdasarkan observasi astronomi langsung, bukan hanya teori memiliki akurasi yang luar biasa. Bahkan, dalam hal koreksi tahun kabisat, ia lebih tepat dari kalender Gregorian yang kini kita pakai.
Dalam dokumen Zij i Malikshahi, tertulis:

 

"Kami telah menghitung dengan saksama perputaran matahari agar umat manusia dapat menentukan waktu dengan tepat dan memanfaatkannya untuk kebaikan bersama."

 

Lihat betapa mulianya niat Khayyam. Ia tidak menghitung bintang untuk gengsi pribadi, tetapi demi kesejahteraan masyarakat. Dalam diamnya observatorium itu, Khayyam tengah bekerja untuk mengatur waktu seluruh umat manusia.
 

Di Antara Iman dan Nalar: Filsafat yang Tak Takut Gelap

Yang paling unik dari Khayyam adalah sikap filosofisnya yang berani tetapi tidak sembarangan. Ia mempertanyakan takdir, keabadian, surga, dan dosa dengan keberanian yang dingin. Tetapi ia tak jatuh menjadi nihilistik. Ia hanya jujur. Jujur dalam melihat bahwa manusia tidak tahu segalanya. Bahwa terkadang, bahkan dalam kitab dan ajaran, ada ruang untuk bertanya.

 

Dalam salah satu baitnya Omar Khayyam menulis:

 

"Dunia adalah bayang-bayang, jiwa adalah cahaya, tapi banyak yang terjebak dalam kegelapan."

 

Banyak orang zaman sekarang yang menafsirkan Khayyam sebagai ateis, bahkan nihilistik. Tapi itu penafsiran yang tergesa-gesa. Dalam banyak risalahnya, Khayyam menulis bahwa akal dan wahyu bukan dua kutub yang bertentangan, tapi dua pelita yang saling menerangi.

 

Dalam risalah filsafatnya ia menulis:


"Kebenaran dapat ditemukan melalui cahaya nalar maupun terang wahyu, keduanya berfungsi untuk membimbing manusia pada jalan yang benar."
 

Omar Khayyam bukan menolak iman, ia hanya menolak kepicikan. Ia tidak mengingkari Tuhan, tapi mengkritik mereka yang memonopoli suara-Nya. Ia bukan menertawakan agama, tapi menertawakan kemunafikan yang mengatasnamakan agama.

 

Kesunyian Bintang, Kecemerlangan Pikiran

Dalam sejarah ilmu pengetahuan Islam, Khayyam adalah batu pondasi. Khayyam menjadi inspirasi bagi ilmuwan besar lain seperti Al-Biruni dan Nasir al Din al Tusi. Ia membuka jalan untuk geometri non Euclidean, bahkan jauh sebelum konsep itu terformulasi.

 

Namun, tidak semua orang pada zamannya menyambutnya dengan hangat. Khayyam dicurigai, kadang dianggap terlalu bebas. Tapi dokumen dari perpustakaan Nishapur menunjukkan bahwa meski kontroversial, Khayyam tetap dihormati. Ia adalah penasihat Sultan, guru para ilmuwan, dan sahabat bagi para pencari makna.
Khayyam adalah suara yang tidak lantang, tetapi terus bergema sepanjang zaman.

 

Ketika Ilmu dan Cinta Menulis Takdir Bersama

Omar Khayyam mengajarkan kita bahwa menjadi manusia itu tidak harus hitam-putih. Bahwa dalam hidup ada ruang untuk ragu, berpikir, dan merasa sekaligus. Ia menunjukkan bahwa cinta dan ilmu bisa berdampingan. Bahwa seseorang bisa mendalami aljabar dan menulis puisi tentang anggur dan bintang dalam satu tarikan napas.
 

Khayyam mengajak kita untuk berpikir tanpa takut, mencinta tanpa malu, dan menjalani hidup dengan sadar bahwa suatu hari, semuanya akan berlalu. Tapi justru karena akan berlalu, maka ia indah.

 

Sebaris Cahaya di Tengah Gelap

Di akhir hidupnya, Khayyam tidak mendirikan madrasah atau kerajaan. Ia hanya meninggalkan puisi, rumus, dan kalimat-kalimat yang ditulis di langit malam. Namun, warisan itu lebih kekal dari monumen batu.

 

Mari kita tutup tulisan ini dengan salah satu rubai paling indah dari Khayyam, dari naskah asli koleksi British Library:

 

Jangan takut menghadapi kegelapan malam, karena bintang-bintang akan menunjukkan jalan.

 

Begitulah Omar Khayyam. Seorang filsuf langit yang tetap membumi. Seorang penyair bumi yang menatap bintang. Ia mengingatkan kita, bahwa dalam menghadapi dunia yang kompleks ini, tidak cukup hanya dengan iman, tidak cukup hanya dengan akal, tidak cukup hanya dengan cinta. Tetapi semuanya dalam satu tarikan nafas kehidupan.

 

H. Wahyu Iryana, Wakil Ketua Lakpesdam PWNU Lampung.