Pernik

Kisah Para Nabi: Dari Kalam Ilahi ke Kalam Ulama

Senin, 14 April 2025 | 08:00 WIB

Kisah Para Nabi: Dari Kalam Ilahi ke Kalam Ulama

Kisah Para Nabi yang Inspiratif (Ilustrasi: NU Online Lampung)

Di antara keindahan Al-Qur’an, kisah-kisah para Nabi merupakan taman rohani yang paling sering disinggahi. Ia bukan sekadar narasi sejarah atau mitologi religius, melainkan ruang dialog abadi antara manusia dan Tuhannya—tentang harapan, kegagalan, cinta, perjuangan, dan keraguan. Dari Nabi Nuh yang ditertawakan umatnya, Nabi Ibrahim yang membelah langit dengan hujjah, hingga Nabi Yusuf yang menawan bukan hanya karena wajahnya, tetapi juga karena keteguhan hatinya.

 

Kisah-kisah itu bukan dongeng yang dikarang oleh penghibur istana. Al-Qur’an sendiri menyebutnya sebagai "ahsan al-qashash" (kisah terbaik), bukan karena dramatisasinya, tapi karena fungsinya: membangun kesadaran tauhid, meneguhkan hati para dai, dan mengajari manusia tentang prinsip kehidupan yang adil dan bermakna.

 

Namun, pemahaman terhadap kisah-kisah ini tidak pernah berhenti pada teks literal. Dalam sejarah keilmuan Islam, para ulama menulis syarah, tafsir, dan hikmah dari kisah-kisah tersebut dengan kedalaman dan kelembutan. Kitab-kitab klasik seperti Qashash al-Anbiya’ karya Ibnu Katsir, al-Kashf wa al-Bayan karya al-Tsa’labi, atau Rawd al-Unuf dalam konteks Sirah Nabi Muhammad saw karya al-Suhayli, menunjukkan bahwa kisah itu bukan sekadar cerita, melainkan ruang tafsir sosial dan spiritual yang dinamis.

 

Dari Qashash ke Qudwah

Al-Qur’an menggunakan kisah bukan hanya untuk menghibur, tapi untuk menjadi pelajaran. Nabi Musa bukan hanya tokoh besar dalam sejarah, tapi simbol perjuangan melawan tirani, mulai dari bayi yang hanyut hingga penggerak eksodus besar. Kisahnya menjadi pelajaran tentang keberanian melawan Fir’aun modern, siapapun itu: koruptor, penindas rakyat, atau penjajah tanah air.

 

Sementara itu, Nabi Ibrahim menjadi ikon intelektual dan spiritual. Dalam kitab Al-Isharah ila Tafasir al-Ayat karya Imam al-Qusyairi, dikisahkan bagaimana hujjah-hujjah Nabi Ibrahim terhadap ayahnya dan kaumnya bukan sekadar retorika, tapi metode dakwah yang ilmiah dan empatik. Ulama memetik dari sini metode dialog kultural berbicara dengan bahasa umat, bukan dengan jargon elite.

 

Peran Kitab Klasik dalam Menafsir Kisah

Kitab klasik hadir bukan untuk menggantikan wahyu, tetapi sebagai jembatan pemahaman. Tafsir al-Jalalayn, misalnya, sangat ringkas tetapi menyimpan lapisan makna yang luas. Dalam menafsirkan kisah Nabi Yusuf, tafsir ini menyentuh aspek sosial dari fitnah perempuan Mesir dan kekuatan batin Yusuf dalam menghindari godaan. Sementara dalam Tafsir al-Nasafi, kita menemukan penekanan tentang adab seorang Nabi dalam berbicara dengan penguasa.

 

Lebih jauh, Ihya’ Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali tidak secara khusus membahas kisah para Nabi, tetapi mengajarkan bagaimana kita meniru akhlak mereka. Ia menulis, “Siapa yang ingin belajar sabar, lihatlah Ayub. Siapa ingin belajar syukur, tengoklah Sulaiman.”

 

Kitab-kitab klasik ini, meski ditulis berabad-abad lalu, memiliki daya hidup yang luar biasa. Di pesantren-pesantren, syarah kitab-kitab ini tidak hanya dibaca, tetapi dihidupkan dalam praktik harian. Gus Dur, dalam banyak ceramahnya, sering menyebut bagaimana kisah para Nabi menjadi referensi sosial-politik: “Kalau Musa bisa melawan Fir’aun, masak mahasiswa takut sama rektor galak?”

 

Menyegarkan Tafsir di Zaman Now

Tantangan kita hari ini bukan sekadar membaca kisah para Nabi, tapi mengontekstualisasikannya. Al-Qur’an memang diturunkan di Arab abad ke-7, tetapi ia berbicara lintas zaman dan tempat. Kisah Nabi Luth bukan hanya tentang kota yang dilaknat, tetapi juga tentang krisis moral publik dan perlunya perlindungan keluarga. Kisah Nabi Yunus mengajarkan kita tentang burnout dan pentingnya istirahat rohani.

 

Dalam tafsir-tematik kontemporer seperti karya Muhammad al-Ghazali (Mesir), dan bahkan dalam pendekatan hermeneutik Amina Wadud atau Nasr Hamid Abu Zayd, kisah-kisah Nabi menjadi medan tafsir progresif. Mereka membawa kisah itu dari teks ke konteks, dari kitab ke kehidupan.

 

Sayangnya, di Indonesia, pendekatan ini masih belum populer. Banyak yang membaca kisah Nabi sebagai cerita masa lalu, bukan pelajaran masa kini. Padahal, jika dikontekstualisasi, kisah Nabi bisa menjadi kurikulum kehidupan. Nabi Yusuf bisa jadi bahan ajar pendidikan anti-korupsi: bagaimana mengelola amanah dan menolak gratifikasi. Nabi Nuh bisa dijadikan inspirasi dalam kurikulum mitigasi bencana dan penguatan semangat dakwah di tengah cibiran publik.

 

Menghidupkan Syarah, Menyemai Hikmah

Kita memerlukan generasi baru penafsir yang tidak hanya fasih bahasa Arab, tetapi juga fasih memahami zaman. Kitab klasik tetap penting sebagai fondasi, tetapi harus disambungkan dengan realitas. Jika tidak, kita akan memuja kisah tanpa meneladani makna.

 

Program-program seperti pesantren kitab, madrasah tafsir tematik, dan kelas hikmah para Nabi seharusnya digalakkan. Di sinilah pentingnya peran ormas Islam, kampus keagamaan, bahkan komunitas pengajian urban untuk menghidupkan kembali kisah-kisah itu sebagai energi spiritual dan sosial.

 

Bayangkan jika para pemimpin negeri ini membaca kisah Nabi Sulaiman yang adil, bijak, dan tidak silau harta. Bayangkan jika para pendidik mengajarkan ketekunan ala Nabi Idris. Bayangkan jika kita, rakyat biasa, meneladani kesabaran Nabi Ayyub di tengah musibah ekonomi.

 

Syair Di Taman Para Nabi

 

Tapi cahaya yang turun bersama embun kata
Yusuf masih menawan, bukan karena wajah
Tapi karena ia bisa berkata “Maasyallah” saat yang lain rebah.

 

Ibrahim membakar logika dan membangun ka’bah
Lalu menengadah: "Tuhanku, tunjukkan cara mencintai-Mu…”
Musa patah lidah, tapi kuat langkah
Laut terbelah, bukan karena tongkat, tapi karena percaya.

 

Isa tidak punya pedang, hanya cinta dan napas
Tapi ia sanggup menyembuhkan luka dunia.
Muhammad? Ia rahmat. Ia pelukan semesta
Yang merawat yatim, menyeka darah, dan menebar salam.

 

Wahai kisah yang hidup, jangan jadi museum
Jadilah jalan pulang bagi hati yang lelah dan gersang.

 

Akhirnya, tugas kita bukan hanya mengkaji kisah, tetapi menghidupkan teladan. Dari Al-Qur’an, turun ke syarah kitab-kitab klasik, lalu bermuara ke tindakan. Agar hidup kita tak cuma panjang, tapi juga bermakna. Dan kisah para Nabi, terus hidup bukan di langit, tapi di bumi tempat kita berpijak dan berjuang.
 

 

H. Wahyu Iryana, Sejarawan UIN Raden Intan Lampung