• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Jumat, 3 Mei 2024

Pernik

Cakra Manggilingan dan Wolak Walike Zaman: Kalatidha, Kalabendu, Kalasuba

Cakra Manggilingan dan Wolak Walike Zaman: Kalatidha, Kalabendu, Kalasuba
foto dari: craddha.com Cakra Manggilingan dan Wolak Walike Zaman: Kalatidha, Kalabendu, Kalasuba
foto dari: craddha.com Cakra Manggilingan dan Wolak Walike Zaman: Kalatidha, Kalabendu, Kalasuba

Cakra manggilingan, merupakan sebuah falsafah hidup yang cukup terkenal di kalangan masyarakat Jawa. Jawa memang terkenal memiliki banyak sekali falsafah-falsafah hidup, tidak hanya satu-dua atau sepuluh-dua puluh, akan tetapi sangat banyak, salah satu diantaranya adalah Cakra Manggilingan.

 

Cakra manggilingan merupakan gabungan dari dua kata, yaitu Cakra dan Manggilingan. Cakra sendiri merupakan senjata dari salah satu tokoh wayang dalam cerita Mahabharata yang bernama Krishna, yang berbentuk roda (bulat) dan memiliki gerigi di tepinya, persis seperti roda gigi (gear) sepeda ontel ataupun sepeda motor. Sedangkan Manggilingan berasal dari kata “giling” yang berarti menggelinding atau berputar.

 

Secara umum, Cakra Manggilingan merupakan sebuah lambang atau simbol pengibaratan dari siklus kehidupan manusia. Mungkin kita pernah atau bahkan sering mendengar istilah yang mengatakan bahwa hidup ini seperti roda yang berputar, kadang berada diatas dan juga kadang dibawah. Kurang lebih seperti itulah gambaran dari Cakra Manggilingan.

 

Sebuah siklus hidup perputaran masa, baik dalam skala mikro (jagad kecil) maupun skala makro (jagad besar). Skala mikro merupakan apa yang terjadi pada diri kita sendiri (personal), mulai saat berada di alam ruh, dalam kandungan, lahir menjadi bayi, tumbuh dewasa, lalu menua, dan kemudian kembali ke alam ruh lagi. Juga apa yang kita alami pada diri kita, seperti: adakalanya kita merasa senang, juga adakalanya sedih, adakalanya sukses, adakalanya gagal, adakalanya kaya, juga adakalanya miskin, dan masih banyak lagi contoh lainnya. Sedangkan skala makro adalah dinamika zaman secara umum (universal), yang mana kehidupan ini selalu dinamis (berubah-berputar). Seperti siklus sejarah, dimana apa yang terjadi pada masa lampau, dapat terjadi kembali pada masa sekarang ataupun masa depan yang akan datang.

 

Ada istilah "Cakra Manggilingan owah gingsir gilir gumanti",  kehidupan ini senantiasa berputar, berubah, berkembang, berganti situasi-dinamis. Manifestasi dari Cakra Manggilingan inilah yang kemudian disebut sebagai wolak-walike zaman (bolak-baliknya zaman atau perputaran zaman). Menurut R. Ng. Ranggawarsita, perputaran zaman itu memiliki tiga kondisi, yaitu Kalatidha, Kalabendhu, dan Kalasuba.

 

Zaman Kalatidha merupakan zaman egoisme, dimana setiap orang mengejar keinginan mereka sendiri, adil-tidak adil, benar-salah sudah tidak digunakan, perbedaanya tipis. Selanjutnya adalah zaman Kalabendhu, yang merupakan kelanjutan dari zaman Kalatidha, dimana kondisi terlihat stabil namun tidak didasari dengan kesadaran, tidak sadar bahwa ada sesuatu yang salah, tetapi sudah terlanjur dianggap benar karena sudah terbiasa. Di zaman ini, justru orang yang benar kerap dianggap aneh dan kuno ketinggalan zaman, dan sebaliknya, yang mengikuti trend justru yang dianggap benar. Akan tetapi, ada masanya pada zaman ini orang yang tadinya dianggap aneh dan kuno kemudian didengarkan dan dijadikan panutan, sehingga orang-orang baik pun mulai tumbuh dan semakin banyak, barulah setelah itu memasuki zaman Kasuba.

 

Zaman Kalasuba adalah masa dimana keadaan mulai stabil, adil dan makmur, kestabilannya tidak hanya pada aspek fisik, tetapi juga non-fisik. Di zaman ini juga akan muncul seorang Ratu Adil, seseorang yang asalnya selalu ingat (sadar) dan waspada. Ratu Adil inilah yang kelak akan membimbing kita agar selalu ingat (sadar) dan wasapada, karena jika kesadaran dan kewaspadaan itu hilang, maka akan kembali lagi ke zaman Kalatidha.

 

Berbicara tentang Cakra Manggilingan, tentu tidak akan luput dari esensi Cakra Manggilingan itu sendiri, yaitu waktu. Kita hidup berada pada tiga dimensi waktu, yaitu masa lalu, masa sekarang, dan masa depan, yang akan datang. Inilah yang kemudian disebut dengan istilah Tri Wikarma. Apa yang kita alami pada masa sekarang adalah buah dari apa yang kita lakukan pada masa lalu. Dan apa yang kita lakukan pada masa sekarang merupakan cikal bakal yang akan kita alami di masa depan.

 

Oleh karena itu, agar kita berhasil dalam ketiga dimensi tersebut, kita harus terlebih dahulu menerima apa yang telah terjadi pada masa lalu. Maka, jadikan masa lalu sebagai pembelajaran di masa sekarang, agar dapat berbenah dan menjadi lebih baik, sehingga di masa depan akan menuai hasil yang baik juga.

 

Wahyu Agil Permana, Mahasiswa Universitas Lampung


Pernik Terbaru