• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Selasa, 30 April 2024

Opini

Hindari Fitnah di Tahun Politik

Hindari Fitnah di Tahun Politik
Media sosial makin banyak penggunanya di tahun-tahun politik jelang pemilihan umum
Media sosial makin banyak penggunanya di tahun-tahun politik jelang pemilihan umum

Mendekati pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), atau yang biasa disebut tahun politik, membuat dunia media sosial (medsos) sangat ramai seperti pasar rakyat. Mulai dari Facebook, WhatsApp, Instagram, Twitter, Tiktok, dan berbagai platform lainnya.


Semua orang mudah membagikan tautan yang kadang entah sumbernya jelas atau tidak, benar atau salah, baik atau buruk. Maka ketika seseorang yang tidak teliti atau kurang cerdas dengan dunia politik gampang termakan omongan bohong (hoaks) yang tersebar di berbagai media sosial. 


Kita sebagai rakyat Indonesia harus cerdas dalam menyikapi isu politik, misal calon kontestan, sistem, dan aturan pelaksanaan pemilu. Jangan sampai meyakini sesuatu tanpa dasar sedikit pun.


Empat tahun yang lalu, mayoritas rakyat Indonesia pernah terbelah dengan sebutan polarisasi "Kampret" dan "Cebong". Keduanya lahir dari pendukung masing-masing calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Sebutan tersebut seolah-olah menjadikan identitas yang melekat pada rakyat yang mendukung atau mencoblos para calon. 


Meski pelaksanaan pemilu 2019 telah selesai, dan masing-masing calon telah menduduki kursi jabatan dengan damai, akan tetapi rakyat tetap tidak mau move on dari polarisasi sebutan "Cebong" dan "Kampret". Sebutan tersebut tetap mengalir sampai sekarang, dan masih digunakan di berbagai medsos. Hal ini menjadi serius bagi psikologi rakyat, atau boleh dikatakan rakyat sedang mengalami sakit jiwa. 


Menjadi rakyat yang cerdas jangan sampai termakan fitnah adu domba. Harus dilihat betul seluk beluknya, kronologi, dan nomena dibalik fenomenanya. Karena tanpa mencari pengetahuan sampai mendasar kita hanya mengkonsumsi berita, opini, artikel sampah dan abal-abal dari pasar media sosial yang dijual dengan gratis dan penuh emosi. 


Mendekati tahun politik, biasanya biografi masing-masing calon akan berseliweran di layar handphone (HP), dengan narasi yang merendahkan dan menggiring kebencian, seperti calon A keturunan asing, antek asing, tidak agamis, dan dari leluhur yang bermasalah dengan negara. Begitu juga dengan calon B. Biografinya juga dipaparkan dengan narasi yang serupa. 


Padahal masing-masing calon tidak mengetahui dan paham dengan hal semacam itu, tetapi para pendukung yang fanatik tersebutlah kadang membuat narasi yang penuh fitnah dan adu domba. 


Belum lagi fitnah yang berbau agama, pasti akan laris dibincangkan dan dighibahi. Karena mungkin ada politik identitas yang disematkan. 


Bagi rakyat yang cerdas percaturan politik itu biasa, kawan bisa menjadi lawan, dan lawan bisa menjadi kawan. Parpol A yang dulunya menjadi lawan, sekarang menjadi koalisi. Tetapi bagi rakyat yang awam, hal tersebut bisa menjadi gaduh, bahkan menggerakkan massa untuk demo. Rakyat yang awam percaya dengan pimpinan demo meski tidak paham politik sekalipun.


Urusan genetika (nasab), organisasi masyarakat (ormas), kinerja presiden sebelumnya, berkaitan dengan asing, imigran, ketidakadilan, kasus Hak Asasi Manusia (HAM) akan muncul jika mendekati pemilu, dan memang menjadi sasaran yang empuk bagi kepentingan kelompok tertentu. 


Boleh saja tetap bermain medsos. Jadikan diri kita sebagai penyaring berita-berita yang akan tersebar di keluarga, kelompok dan masyarakat. Jangan sampai mereka memakan berita sampah yang menjadikan mental dan emosinya memburuk. Jadikan jempol-jempol kita penyelamat dari fitnah dunia politik yang seharusnya rakyat tidak perlu berdosa karena nafsu sekelompok manusia. 

(Yudi Prayoga)


Opini Terbaru