• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Kamis, 28 Maret 2024

Opini

Sisi Lain dari Media Sosial Mari Bijaklah dalam Bermedsos

Sisi Lain dari Media Sosial Mari Bijaklah dalam Bermedsos
ilustrasi medos di fikiran kita
ilustrasi medos di fikiran kita

Zaman sekarang hampir mayoritas manusia di muka bumi memiliki telepon seluler (ponsel), komputer dan laptop. Semua akses menggunakan internet. Mereka bebas menggunakan media sosial (medsos) tersebut sebagai komunikasi, menambah ilmu, mencari berita atau hiburan semata.

 

Tetapi kehadiran medsos juga menjadikan paradoks bagi kita, bisa menjadikan sumber fitnah dan maksiat. Awal mula hadirnya facebook untuk hiburan dan mencari pertemanan. Hadirnya tweetter untuk cuitan pikiran kita lewat tulisan, yang berisi hanya cuitan-cuitan biasa. Hadirnya instagram (IG) hanya mengupload foto-foto beserta captionnya. Hadirnya tiktok untuk hiburan video pendek. 

 

Tetapi akhir-akhir ini yang dirasakan banyak orang, banyak media sosial hanya berisi postingan negatif yang mengadu domba antara rakyat dan pemerintah, antara ormas satu dengan yang lainnya, antara perguruan silat A dan B. Bahkan yang awalnya kita tidak tahu dan membenci ormas atau lembaga tertentu, kita malah ikut membenci gara-gara melihat video tiktok

 

Semua kegaduhan berasal dari media-media yang akunya dimiliki oleh anak-anak atau lebih masyhur disebut dengan media “bocil”. Secara berpikir mereka belum faham masalah agama dan negara, seperti anak-anak SMP atau SMA yang kerjanya hanya bermain game, malas membaca buku tetapi ikut mengomentari yang kadang komentarnya hanya berisi hujatan dan provokasi masa. Hal inilah yang menjadikan degradasi akhlak, atau kemerosotan moral akibat tidak terdidik. 

 

Sekarang ketika melihat tiktok, IG, FB, youtube hampir semua isinya provokasi, yang membuat kaum muda gampang emosian, gampang mengetik, mengkritik dan mengeshare tanpa telaah lebih mendalam, serta tidak membedakan mana fakta mana opini. Berbeda dengan dahulu yang belum banyak aplikasi media, meski hidupnya tidak update, tetapi minimal pikirannya tidak diracuni oleh kemaksiatan media.

 

Salah satu kiai dari Jawa, Gus Bahauddin Nursalim tidak mau memiliki whatsapp (WA) pribadi apalagi media sosial yang yang menurut beliau, jika memiliki hal semacam itu, maka pikirannya akan didikte oleh media tersebut, dan setiap hari hidupnya hanya habis digunakan untuk membalas WA. 

 

Untuk menyiasati maraknya media sosial yang negatif, maka sepertinya harus ada pendidikan atau seminar bijak menggunakan medsos. Sepertinya pendidikan semacam itu sudah termasuk wajib dan penting, karena mengingat pentingnya juga menggunakan media sosial era sekarang.

 

Ketika membuka media sosial, IG atau tiktok, maka banyak orang yang menjadi wartawan dengan mengunggah dan memposting kegiatan dan kejadian kapanpun dan dimanapun tanpa ada editing sama sekali. Bahkan ada video atau berita lama yang sudah tenggelam diangkat kembali agar masyarakat media maya menjadi gaduh dan saling menghujat. 

 

Kita bisa menyaksikan, puncak dari kegaduhan dunia maya dimulai dari demo 212, pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), serta pilpres 2019. Momen-momen tersebut menjadikan banyak wacana dan paradoks, semua kubu saling membela junjungannya dan menghujat yang dianggapnya musuh atau lawannya. Bahkan media elektronik layar lebar.pun sampai saling berseberangan memberitakan momen-momen tersebut. Stasiun TV A memberitakan kebaikannya dan stasiun TV B memberitakan keburukannya. 

 

Kegaduhan di media sosial Indonesia sudah mendarah daging dan menjamur, sehingga sekarang jika ada unggahan atau berita yang disampaikan ormas tertentu atau lembaga tertentu, sudah pasti menimbulkan pro dan kontra, dan masyarakat akan dengan cepat menggerakkan jempolnya untuk menghujat dan memprovokasi massa.

 

Saking seringnya sampai-sampai logo halal, wayang, toa, ceramah, bendera, lambang negara, IKN calon ibu kota baru menjadi bahan empuk untuk dikritik dihujat, caci maki, dan provokasi. Bahkan yang sedang viral di dunia persilatan di Banyuwangi, semua berasal dari medsos tiktok yang tidak bijak. Tiktok sudah banyak memperburuk pikiran anak bangsa. 

 

Sekarang maksiat caci maki di medsos, menggibah, fitnah, adu domba sudah tidak dianggap berdosa. Hampir semuanya terbiasa dengan dosa seperti ini. Kalau kata Kiai Mustofa Bisri, minimal semua harus saling menahan. Karena kebenaran dan titik temu tidak bisa didapat lewat medsos melainkan diskusi, audiensi atau tabayun.

 

Sekarang anak-anak Indonesia kurang literasi. Akibatnya banyak penghujat tapi bodoh. Semua cari aman lempar batu sembunyi tangan. Marilah mulai dewasa dalam bermedsos, minimal tidak menimbulkan dosa dan gaduh.

 

Sudah saatnya semua ormas, lembaga, atau organisasi lainnya mulailah menarik diri atau membatasi untuk tidak memposting kegiatan-kegiatan yang dilakukan, apalagi yang sekiranya menimbulkan kontroversi, karena bukannya syiar atau mendapat dukungan malah kadang dihujat dan memperburuk ormas tersebut. Saling menahan itu lebih baik dan aman. Meski kadang juga perlu memposting quotes-quotes tentang hikmah yang menyejukkan semua umat yang membaca dan melihat.

 

Kita tahu, budaya modern sering dilandasi berpikir kritis. Tetapi kalau semuanya kritis campur fitnah dan adu domba, justru tidak ada yang selesai. Minimal kalau mau mengkritik pakai puisi, syair, lukisan, musik, patung, tarian, buku, artikel,  dan lain-lain, itu lebih lebih keren dan bermakna. Daripada verbal yang kosong belaka. Karena ciri-ciri orang yang bodoh itu gampang terbawa emosi, panas, dan pengen cepat komen tanpa telaah mendalam (radix). 

 

Saking minimnya mengetahui tentang segala sesuatu, akhir-akhir ini banyak rakyat Indonesia yang memberi pernyataan bahwa desain Garuda IKN calon ibu kota baru merupakan kebangkitan Hindu di Indonesia. Logo halal bentuk segitiga gunungan katanya Jawanisasi.

 

Masjid bercorak bangun datar segitiga katanya melambangkan Dajjal. Kaligrafi kontemporer penulisan lafadz halal dikatakan tidak halal, karena bukan huruf Arab. Padahal tulisan Arab sama dengan Latin yang memiliki perubahan setiap saat, seperti font-font di microsoft word. Atau mungkin mereka malah tidak pernah belajar  kaligrafi. 

 

Tulisan Arab Yumna dan Yusro di sandal swallow yang viral waktu itu dikatakan menista agama, karena tulisan Arab ditulis di sendal dan diinjak-injak. Padahal di Arab, Timur Tengah, celana dalam dan botol bir bertulisan Arab. 

 

Yudi Prayoga, Sekretaris MWCNU Kedaton, Bandar Lampung.


Opini Terbaru