• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Sabtu, 20 April 2024

Syiar

Berikut Ini Perbedaan Antara Syariat dan Fiqih, Serta Bagaimana Kita Menyikapinya

Berikut Ini Perbedaan Antara Syariat dan Fiqih, Serta Bagaimana Kita Menyikapinya
ilustrasi kitab fikih
ilustrasi kitab fikih

Semua umat Islam pasti sudah sangat familiar dengan yang namanya syariat dan fiqih. Secara sederhana, kita dapat memahami bahwa syariat merupakan hukum dasar yang diberikan oleh Allah swt kepada manusia, sedangkan fiqih merupakan produk dari ijtihadnya para ulama saleh yang bersumber dari syariat tersebut. 

 

Tanpa keduanya manusia akan berjalan dalam kegelapan, karena keduanya merupakan lampu yang menerangi sepanjang jalan kehidupan umat manusia selama di alam dunia. Dengan berpedoman pada keduanya, niscaya manusia akan selamat di dunia dan di akhirat. 

 

Dilansir dari Apa Perbedaan Syariat Islam dan Fiqih?. Kita mengawalinya dengan definisi syariat. Imam Abu Muhammad Ali bin Hazm dalam kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Beirut: Darul Afaq, 2001 M, juz III, halaman 137:

 

 وأما الشريعة فهي أن يأتي نص قرآن أو سنة أو نص فعل منه عليه السلام أو إقرار منه عليه السلام أو إجماع 

 

Artinya: Syariat ialah jika terdapat teks yang jelas (tidak multitafsir) dari Al-Quran, teks sunah (hadits), teks yang didapat dari perbuatan Nabi saw, teks yang didapat dari taqrir Nabi saw, dan ijma’ para sahabat (Ibnu Hazm, Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Beirut, Darul Afaq, 2001 M, juz III, halaman 137). 

 

Bisa dipahami dari keterangan di atas bahwa yang disebut sebagai syariat ialah segala tuntunan yang diberikan oleh Allah swt kepada manusia baik dalam bidang akidah, amaliah, (perbuatan fisik), dan akhlak. Sumber dari tuntunan tersebut bisa didapatkan dari teks yang terdapat dalam Al-Quran, hadits Nabi saw, dan ijma’ para sahabat. 

 

Hadits Nabi saw sendiri terbagi atas tiga. Berupa ucapan, perbuatan dan taqrir, yakni kondisi ketika ada sebuah perkataan atau perbuatan yang dilakukan di hadapan Nabi saw, dan ia mendiamkannya. Diam Rasulullah adalah bentuk dari persetujuan karena pada prinsipnya mustahil Nabi saw mendiamkan kemaksiatan berlaku di hadapannya. 

 

Teks-teks ini bukanlah semuanya, tetapi hanya berlaku pada yang bersifat nash, artinya teks yang pemahamannya jelas dan tidak multitafsir atau mengundang kontroversi. 

 

Lain halnya dengan fiqih. Pengertian fiqih sebagaimana dijelaskan oleh Imam Abul Hasan Al-Amidi dalam Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam:

 

 العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية 

 

Artinya: (Fikih ialah) pengetahuan tentang hukum-hukum syariat amaliah yang didapat dari dalil-dalilnya yang terperinci (Saifuddin Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Beirut, Al-Maktabul Islami, 2004 M, juz I, halaman 5). 

 

Dari penjelasan ini kita memahami bahwa fiqih berlaku pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan amaliah atau perbuatan manusia, yang pemahaman hukumnya didapatkan dari sumber hukum melalui serangkaian proses ijtihad. 

 

Karena didapatkan melalui proses ijtihad, maka sama sekali tidaklah mengherankan jika terdapat perbedaan pendapat antara satu pemikiran dan pemikiran lainnya. 

 

Dari penjelasan tentang pengertian syariat dan fiqih di atas, ada beberapa poin yang bisa kita pahami bahwa: 

 

Pertama, obyek kajian syariat sifatnya lebih umum karena mencakup akidah, perbuatan, dan akhlak manusia. Sedangkan fiqih hanya berlaku pada amaliah perbuatan manusia, tidak membahas persoalan akidah dan akhlak. 

 

Kedua, bahwa sifat “keniscayaan” hanya berlaku pada syariat karena memang hakikat syariat ialah taken for granted atau diterima begitu saja sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Allah. Sedangkan fiqih tidak memiliki keniscayaan semacam itu karena merupakan produk dari ijtihad masing-masing mujtahid. 

 

Perbedaan pendapat pasti ada dalam memutuskan sebuah hukum fiqih, dan Rasulullah tidak mempermasalahkan hal tersebut karena ia menganggap keduanya sebagai sesuatu yang bisa membuahkan pahala sebagaimana hadits yang dikutip oleh Imam Al-Bukhari dalam Shahihul Bukhari, Beirut, Darul Fikr, 2000 M, juz IX, halaman 108, nomor hadits 7352:

 

 إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ 

 

Artinya: Apabila seorang hakim menghukumi, kemudian ia berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala. Apabila dia menghukumi, kemudian berijtihad dan salah, maka baginya satu pahala.

 

Dengan demikian jelas bahwa sifat fanatisme terhadap sebuah pendapat fiqih adalah sikap yang keliru. 

 

Ketiga, syariat bersifat menyeluruh. Artinya, syariat berlaku bagi manusia siapapun, di manapun dan kapanpun. Sedangkan fiqih tidak demikian. 

 

Kita mengambil contoh sederhana syariah dan fiqih. Kewajiban shalat itu merupakan syariah. Siapapun, di manapun, dan kapanpun, seseorang wajib melaksanakan shalat, tetapi untuk persoalan apa baju yang dipakai saat shalat, apa saja bacaannya, dan lain-lain, hal itu merupakan bahasan fiqih yang tentu saja ada berbagai macam beda pendapat. 

 

Demikianlah pemaparan yang singkat dari keduanya, akan tetapi yang kita tekankan adalah, tetaplah tunduk terhadap syariat dan tetaplah terbuka terhadap fiqih. Karena sikap fanatisme terhadap pendapat seorang ulama dan menyalahkan pendapat ulama yang lain merupakan sikap yang buruk dan tidak bijaksana. 

 

Boleh-boleh saja kita berpegang teguh terhadap satu pendapat ulama. Akan tetapi jangan sampai keyakinan kita diwarnai oleh penyakit hati saling membenci, merasa benar sendiri dan menyalahkan orang lain yang berbeda dengan kita. Wallahua’lam


Syiar Terbaru