Penghapusan Dwifungsi ABRI: Warisan Demokrasi Gusdur yang Terlupa
Jumat, 21 Maret 2025 | 13:54 WIB
Wahyu Iryana
Penulis
Saya kira ini lelucon, tapi ternyata bukan. Revisi Undang-Undang (RUU) TNI baru saja disahkan. Intinya, perwira aktif bisa menduduki lebih banyak jabatan sipil tanpa harus pensiun dulu. Katanya sih buat menghadapi tantangan zaman. Tapi kok rasanya déjà vu ya? Seperti nonton film lama dengan plot yang sudah tertebak. Di saat kebijakan efisiensi, para anggota dewan justru malah membahas dwifungsi militer di posisi struktural sipil di hotel, tidak di gedung parlemen yang di renovasi berulang ulang dengan biaya miliaran memakai uang rakyat.
Dulu, zaman Orde Baru (Orba), kita punya konsep Dwifungsi ABRI—tentara bukan cuma jaga pertahanan, tapi juga sibuk di pemerintahan. Hasilnya? Militer di mana-mana. Dari kursi menteri, gubernur, bupati, sampai direksi BUMN. Sampai akhirnya, Reformasi 1998 bilang, "Udah cukup, bro!" Dan militer diminta kembali fokus ke pertahanan.
Sekarang? Dengan revisi ini, sepertinya kita mulai masuk babak baru (atau lebih tepatnya, babak lama yang diputar ulang). Perwira aktif TNI bisa masuk ke kementerian, badan nasional, bahkan sektor-sektor sipil lainnya. Alasannya? Supaya lebih efektif dan efisien. Tapi kalau militer masuk ke ranah sipil, terus sipil mau ngapain? Main catur?
Gus Dur dan Warisan Reformasi yang Dilupakan
Kalau kita bicara soal pemisahan militer dari politik, sulit untuk tidak menyebut nama Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Presiden keempat ini dengan tegas menghapus Dwifungsi ABRI pada tahun 2000. Bukan sekadar kebijakan administratif, tapi sebuah langkah revolusioner yang memastikan supremasi sipil atas militer.
Gus Dur tahu betul bahwa demokrasi tidak bisa berjalan jika tentara masih sibuk berpolitik. Ia memisahkan TNI dan Polri, menutup Fraksi ABRI di DPR, serta menegaskan bahwa tentara harus profesional di bidang pertahanan.
Keputusan ini tidak tanpa risiko. Banyak elite militer yang tidak senang, parlemen menentang, dan tekanan politik makin besar. Akhirnya, Gus Dur dijatuhkan pada 2001. Tapi warisan reformasi yang ia tinggalkan tetap monumental.
Pertanyaannya sekarang: apakah kita masih menghormati warisan itu?
Jika perwira aktif boleh kembali masuk ke ranah sipil tanpa pensiun, berarti kita sedang melangkah mundur. Gus Dur mengajarkan bahwa kekuasaan sipil harus lebih kuat daripada militer. Sekarang, justru negara yang memberi ruang bagi militer untuk kembali masuk ke politik secara perlahan.
Dalih Modernisasi, atau Jalan Mundur?
Yang bikin bingung, pemerintah bilang ini untuk menyesuaikan peran militer dengan kebutuhan zaman. Katanya, ancaman negara sekarang bukan cuma perang konvensional, tapi juga bencana alam, terorisme, dan kejahatan lintas negara.
Oke, setuju. Tapi kan kita sudah punya lembaga-lembaga khusus buat itu? BNPB untuk bencana, BNPT untuk terorisme, Polri untuk kejahatan. Kenapa harus kasih jalur ekspres buat militer masuk ke ranah sipil? Kalau alasannya karena militer lebih disiplin dan cekatan, berarti yang sipil dianggap nggak kompeten dong?
Jangan salah, profesionalisme TNI kita sudah diakui dunia. Tapi, kalau semua sektor sipil nanti diisi perwira aktif, kita ini reformasi atau regresi?
Bahaya: Kembali ke Pola Lama
Mungkin ada yang bilang, "Santai aja, ini cuma beberapa jabatan kok." Nah, itu yang dibilang juga dulu waktu Dwifungsi ABRI mulai diterapkan. Pelan-pelan, dari "cuma beberapa" jadi "di mana-mana." Dan ujung-ujungnya, siapa yang berani kritik?
Kita udah lihat di negara-negara lain bagaimana militer yang terlalu masuk ke ranah sipil bisa berujung petaka. Thailand, misalnya. Kudeta di sana sudah kayak agenda tahunan. Myanmar? Demokrasi dihancurkan karena militer nggak mau lepas kontrol.
Kita nggak bilang Indonesia akan seperti itu. Tapi kita juga nggak bisa menutup mata. Hari ini, perwira aktif bisa masuk ke jabatan sipil. Besok? Siapa tahu. Mungkin tiba-tiba kita punya menteri-menteri dari kalangan jenderal semua.
Gus Dur dulu berani menghadapi tekanan besar untuk memastikan demokrasi berjalan. Sekarang, apakah kita siap melakukan hal yang sama untuk mempertahankan warisan itu?
Reformasi Itu Warisan, Bukan Kenangan
Reformasi 1998 bukan cuma tentang turunnya Soeharto, tapi juga pemisahan peran sipil dan militer. Itu bukan sekadar catatan sejarah, tapi fondasi demokrasi kita. Kalau sekarang jalannya mulai mundur, jangan heran kalau nanti kita kembali ke titik nol.
Mungkin revisi ini memang sudah diketok palu. Tapi bukan berarti kita harus diam. Demokrasi itu hidup kalau ada yang berani bicara. Kalau nggak, ya siap-siap aja nonton film lama diputar ulang. Bedanya, kali ini kita yang jadi pemeran figuran.
Syair: Bayang-Bayang Lama
Langkah-langkah berat di koridor kuasa,
Seragam kembali berbisik di ruang-ruang senyap.
Di lembaran hukum, sejarah disulap,
Yang dulu ditolak, kini dirangkul lagi.
Kita lupa atau pura-pura tak peduli?
Bahwa kuasa tanpa batas adalah jebakan.
Bahwa sejarah bisa berulang dengan cepat.
Bahwa demokrasi bisa pudar dalam senyap.
Atau kita biarkan saja, sampai terlambat?
Wahyu Iryana, Penulis adalah sejarawan dan kader muda NU.
Terpopuler
1
Berangkat 8 Mei 2025, Ini Pesan-pesan untuk 352 Calon Jamaah Haji Pringsewu
2
Khutbah Jumat: Bulan Syawal, saatnya Mengenang Sejarah Perjuangan Umat Islam
3
Hukum Memelihara Anjing dalam Agama Islam
4
Optimalisasi Zakat Digital, LAZISNU PWNU Lampung Gelar Bimtek Pengelolaan ZIS Berbasis Web
5
Ketua PWNU Lampung Dorong ISNU Perkuat Peran Strategis Tangani Masalah Generasi Muda
6
Talkshow Indonesia Gelap, Fatikhatul Khoiriyah: Ruang Berekspresi Mahasiswa, Indikator Utama Sehatnya Demokrasi
Terkini
Lihat Semua