Bahasa Arab dalam Tradisi Keagamaan Masyarakat Lampung: Sakralitas dan Kearifan Lokal
Senin, 5 Mei 2025 | 07:09 WIB
Saya masih ingat betul, sejak kecil suara ini sudah sangat akrab di telinga. Setiap malam Jumat, saya ikut bapak menghadiri tahlilan di rumah tetangga. Kami duduk bersila di atas tikar pandan, mendengarkan imam membaca surat Yasin dan tahlil dengan suara pelan namun pasti. Di sela-sela bacaan, terdengar gumaman ringan, candaan halus, dan kadang aroma kopi dari dapur belakang. Tidak banyak yang benar-benar memahami semua doa yang dibaca, termasuk saya waktu itu. Tapi anehnya, suasananya terasa damai. Seperti ada sesuatu yang menyatukan hati-hati yang hadir malam itu.
Bahasa Arab dalam konteks tradisi keagamaan masyarakat Lampung bukanlah sekadar bahasa asing. Ia tidak digunakan untuk percakapan harian, tapi selalu hadir dalam momen-momen penting: slametan, tahlilan, haul, maulidan, hingga dzikir bersama. Lafal-lafal Arab yang dibacakan dalam majelis tak hanya berfungsi sebagai doa, tapi juga sebagai simbol spiritualitas yang telah merasuk dalam kehidupan masyarakat.
Di banyak desa, anak-anak sudah hafal bacaan Yā Sīn, lā ilāha illallāh, dan ṣalawāt, meski belum memahami artinya. Namun tak ada yang mempertanyakan. Semua menerima, bahkan mencintai bacaan-bacaan itu sebagai bagian dari warisan para leluhur. Bahasa Arab telah menjadi bagian dari denyut kehidupan, menjadi jembatan antara manusia dan Tuhannya, antara masa kini dan masa lampau yang dihormati.
Tradisi slametan yang dibuka dengan bacaan doa, haul yang diselenggarakan penuh khidmat, dan pembacaan manaqib dengan iringan rebana — semua menjadi pemandangan yang masih hidup hingga hari ini. Bahkan di beberapa kampung, warga non-Muslim pun tak jarang datang hanya untuk menghormati. Ada semangat kebersamaan yang tumbuh, melampaui batas bahasa dan agama. Dan bahasa Arab, dalam hal ini, hadir bukan untuk mendominasi, melainkan untuk memberi warna spiritual.
Saya pernah ditanya oleh seorang mahasiswa, “Pak, kenapa orang tua kita senang sekali baca tahlil meskipun tidak mengerti artinya?” Saya jawab, karena dalam doa ada rasa, bukan hanya makna. Mereka tidak butuh terjemah harfiah untuk merasakan kedekatan dengan Allah. Mereka merasa tenang ketika mendengarnya. Dan bukankah itulah tujuan doa?
Namun, tak jarang pula muncul kritik dari sebagian kelompok yang melihat praktik semacam ini sebagai sesuatu yang menyimpang. Mereka menuntut kejelasan dalil, mencari kesesuaian dengan praktik agama di Timur Tengah. Padahal mereka lupa, Islam hadir di Indonesia tidak dengan membawa pedang atau paksaan, tetapi dengan budaya, akhlak, dan pendekatan yang menyentuh hati. Tradisi keagamaan yang berkembang di Lampung — dan di banyak daerah lain — adalah hasil dari proses panjang penyerapan nilai-nilai Islam ke dalam kebudayaan lokal.
Islam tidak menghapus budaya, tapi memuliakannya. Bahasa Arab yang digunakan dalam doa dan dzikir bukanlah bentuk dari Arabisasi, tapi cara masyarakat menunjukkan penghormatannya kepada ajaran yang suci. Mereka membaca doa dalam bahasa Arab, lalu bercakap dalam bahasa Lampung atau Jawa dengan penuh kehangatan. Tidak ada pertentangan di situ — justru yang ada adalah harmoni.
Sebagai seorang pendidik yang juga terlibat dalam program penguatan nilai-nilai kebangsaan dan keagamaan, saya melihat praktik-praktik ini sebagai kekuatan besar bangsa. Ia membentuk karakter masyarakat yang religius, namun tetap terbuka dan ramah. Tahlilan bukan hanya urusan spiritual, tapi juga sosial. Slametan bukan hanya soal doa, tapi juga rasa syukur dan solidaritas. Di sinilah wajah Islam yang damai, santun, dan membumi itu tumbuh.
Tentu saja, tidak berarti kita menolak upaya memahami makna doa-doa yang kita lafalkan. Justru kita harus terus mendorong anak-anak muda untuk belajar bahasa Arab, agar bisa memahami isi Al-Qur’an dan warisan keilmuan Islam secara lebih dalam. Tapi di saat yang sama, kita juga harus mengakui bahwa kekuatan spiritual tak hanya terletak pada pemahaman kata, tapi juga pada pengalaman dan ketulusan.
Tradisi seperti ini bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk dijaga dan dikembangkan. Bahasa Arab, dalam ruang-ruang keagamaan masyarakat Lampung, telah menjelma menjadi simbol kebersamaan, cinta, dan penghormatan kepada agama. Ia menjadi bagian dari cara masyarakat mengekspresikan imannya — bukan dengan suara keras, tapi dengan keteduhan.
Islam tidak harus Arab, dan Arab tidak selalu Islami. Tapi bahasa Arab, dalam tradisi keagamaan kita, adalah warisan yang hidup — bukan hanya dalam kitab, tapi juga dalam hati.
Riski Gunawan, M.Pd.I, Dosen Bahasa Arab dan Kepala Pusat Moderasi Beragama UIN Raden Intan Lampung.
Terpopuler
1
KH Saifuddin Zuhri dan KH Muhtar Ghozali Terpilih Jadi Rais dan Mudir JATMAN Lampung pada Muswil 2025
2
GP Ansor Way Kanan Gelar PKD, Tingkatkan Kapasitas dan Kualitas Kader
3
Ketua PWNU Lampung: Santri Harus Siap Menanggung Pahitnya Belajar Demi Terangnya Masa Depan
4
Sosialisasi PIP dan Wawasan Kebangsaan, Fauzi Heri Ajak Masyarakat Amalkan Nilai Pancasila
5
Ketua PWNU Lampung: Thariqah Jadi Penyejuk dan Penuntun Umat dalam Menjawab Keresahan Zaman
6
Memaknai Doa Nabi Musa Minta Jodoh, KH Sujadi: Ciptakan Suasana Surgawi dalam Rumah Tangga
Terkini
Lihat Semua