• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Opini

Penerapan Piil Pesenggiri dalam Organisasi NU

Penerapan Piil Pesenggiri dalam Organisasi NU
foto ilustrasi
foto ilustrasi

PI'IL Pesenggiri (Pasunggiri, Pusanggiri) merupakan pandangan hidup dari masyarakat suku Lampung. Konsep ini memiliki arti, saling berinteraksi satu individu dengan individu lainnya. Sedangkan Nahdlatul Ulama (NU), merupakan organisasi masyarakat Islam tradisional asli Indonesia, yang banyak dipeluk oleh mayoritas penduduk Lampung, baik secara amaliah ataupun harakah.

 

Dimanapun berada, masyarakat Lampung, selalu menjadikan Pi'il Pesenggiri sebagai landasan berpikir, bertindak dan berperilaku. Sebab, didalamnya terdapat nilai-nilai luhur yang mengatur norma, tata cara hidup masyarakat Lampung. Dan NU sendiri memiliki pandangan hidup yang disandarkan kepada ajaran Rasulullah SAW, yakni Tawassuth, Tasamuh, Tawazun, Ta’adul, dan Amar ma’ruf Nahi Munkar.

 


Kata Pi’il memiliki makna falsafah dan jati diri yang dipertahankan. Sedangkan kata Pesenggiri merupakan pelafalan masyarakat Lampung terhadap peristiwa Pasunggiri dalam perang Majapahit-Bedahulu pada tahun 1343. Yakni Gajah Mada melawan Arya Pusunggiri, dengan sebagian besar pasukan berasal dari Sumatera bagian Selatan. Maka pengertian dari Pi’il Pesenggiri adalah sebuah pendirian atau prinsip yang dipertahankan mengacu pada peristiwa Pasunggiri di masa Majapahit.
 

Tatkala Bali sulit ditaklukkan dengan kekerasan/ perang. Kemudian Gajah Mada merubah strategi penaklukan Bedahulu Bali, melalui jalan diplomasi. Dengan pendekatan kultural, dialog dan bermartabat, pada akhirnya Bedahulu dapat ditaklukan dan kemudian menjadi bagian dari Majapahit.
 

Jalan diplomasi Mahapatih Majapahit Gajah Mada dalam menaklukan Bedahulu Bali tersebut menjadi perhatian khusus bagi para prajurit Sumatera Selatan yang sebagian besar merupakan para pelajar dan pendidik dari mandala pengetahuan Budha warisan masa Sriwijaya.
 

Strategi diplomasi tersebut dibawa kembali ke Sumatera Selatan dalam bentuk pengetahuan, yang kemudian diajarkan secara turun-temurun dalam bentuk sastra tradisional dan kitab adat Lampung pepadun, Kuntara Raja Niti. Kitab yang beraksara Lampung dan Pegon berbahasa Jawa logat Banten. Pada akhirnya strategi diplomasi menjadi ajaran luhur dan prinsip hidup bagi masyarakat Lampung.
 

Tidak lepas dari masyarakat Nahdliyyin Lampung, maka falsafah Piil Pesenggiri ini bisa menjadi wajah baru dalam organisasi NU di Lampung, yang secara garis besar makna dalam bersosial tidak berbeda dengan karakteristik NU.
 

Nahdlatul Ulama sendiri merupakan organisasi yang fleksibel, dapat berselaras dengan falsafah-falsafah tradisional, disetiap penjuru Tanah Air. Hal ini menandakan bahwa NU bisa diterima oleh semua penduduk Bangsa Indonesia, bahkan mancanegara.
 

Beberapa falsafah piil yang penerapanya sangat berselaras dengan NU

1.    Pesenggiri, mengandung ajaran, tidak mudah menyerah, tidak mengenal takut dan pantang mundur dalam menghadapi tantangan yang datang didalam kehidupan. Keberanian adalah merupakan bagian dari harga diri. Dalam lintas sejarah, NU sudah berdiri sangat tua, dan sampai sekarang tetap berdiri kokoh sebagai pilar bangsa, negara dan agama.
Berdiri sejak tahun 1926 hingga 2021. Ini menandakan betapa kuatnya NU mengahadapi masa depan yang selalu berubah dari waktu ke waktu, dari segi pendidikan, sosio kultur dan atropologi.

 

2.    Juluk-Adok, mengandung ajaran selalu menggunakan nama-nama panggilan yang baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Panggilan yang baik bukan saja membuat orang lain terhormat, tetapi juga menunjukan diri yang bermartabat.

Di dalam oreganisasi NU yang diutamakan adalah adab dan sopan santun, terutama kepada para pendiri NU dan penerusnya, sehingga memberikan gelar-gelar kehormatan seperti Kiai, Buya, Ajeungan, Gus, Ning, Haji, Ustadz, dll merupakan bukan hanya suatu penghormatan tetapi juga suatu sopan santun kita kepada mereka.

 

3.    Nemuy-Nyimah, mengandung ajaran senang berkunjung dan dikunjungi dengan sikap yang ramah dan pemurah. Berkunjung dan dikunjungi bagian dari sikap saling menghormati.
Tradisi NU sejak zaman Mbah Hasyim hingga sekarang, warga Nahdliyyin tidak pernah lupa dengan tradisi Sowan, yakni bersilaturahmi di kediaman seorang kiai atau guru dengan harapan mendapatkan nasehat dan doa dari kiai tersebut, juga menyambung sanad keilmuan dan kerohanian dari para santri yang sowan. Bentuk suatu tradisi yang sangat baik dan tetap terjaga meski sosial di dunia sudah mulai individualisme dan acuh tak acuh.

 

4.    Nengah-Nyappur, mengandung ajaran selalu bergaul di tengah masyarakat. Memperluas hubungan persahabatan dan kekeluargaan dengan semua orang. Dakwah NU selalu mengikuti jejak ajaran Wali Songo yang menyelaraskan terhadap tradisi masyarakat setempat, mengkolaborasi dan menanamkan nilai-nilai Islam Rahmatan lil alamin. Kasih sayang bagi seluruh alam.

 

5.    Sakay-Sambayan, mengandung ajaran senang tolong-menolong dan bergotong-royong dalam hubungan persaudaraan dan kekeluargaan sehingga persoalan bersama dapat diselesaikan pula secara bersama-sama.
 

Karakteristik warga nahdliyyin yakni lebih banyak berinteraksi dengan masyarakat luas, tidak hanya sesama muslim, namun juga non-muslim. Selalu mengadakan acara yang sifatnya beramai-ramai, meriah, dan penuh cinta seperti tahlilan, kendurenan, slametan, shalawatan, roan, haul, dll. Semua itu diselenggarakan bukan individu untuk individu, namun dari bersama untuk bersama.
 

Piil Pesenggiri tidak hanya menjadi simbol jati diri, tetapi juga menjadi harakah, khususnya bagi  warga Nahdlatul Ulama Lampung dan umumnya kepada seluruh umat manusia.

 

(Yudi Prayoga, penulis adalah Sekretaris MWCNU Kedaton, Bandar Lampung)

 

 


Editor:

Opini Terbaru