• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Jumat, 19 April 2024

Pernik

Asal Mula Bank Berbasis Islam di Muktamar Menes

Asal Mula Bank Berbasis Islam di Muktamar Menes
Muktamar, forum permusyawaratan tertinggi di NU
Muktamar, forum permusyawaratan tertinggi di NU

SEJAK awal berdirinya, cabang-cabang NU di Lampung sudah terbilang eksis dalam forum-forum muktamar. Para utusan baik dari syuriyah maupun tanfidziyah yang hadir itu sangat aktif dan banyak memberikan masukan serta saran. 

 

Saat Muktamar Ke-13 NU di Menes, Banten,  yang digelar 11-16 Juni 1938, misalnya, utusan NU Cabang Krui (sekarang Krui masuk dalam Kabupaten Pesisir Barat), KH Muhammad Thohir, meminta agar  NU mengadakan bank Islam. Usulan itu disampaikan di hadapan para peserta dan pimpinan muktamar. Pada masa itu muktamar disebut sebagai kongres. 

 

Muktamar itu dihadiri oleh Consul  Hoofdbestuur Nahdlatoel-Oelama (HBNO), yang kini sekarang penyebutannya adalah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dari HBNO yang berpusat di Surabaya itu, hadir KH Abdul Wahab Chasbullah dari unsur syuriah, H Machfoedz Siddiq dari unsur tanfidziah, M Iskandar Soelaiman sebagai sekretaris Hofd Comitte Congres, dan M Noerradjri  dari bagian harta (kasier). 

 

KH Muhammad Thohir mengatakan, selama ini menurut pendapat NU, mendirikan bank Islam adalah suatu jalan untuk memajukan perekonomian rakyat. Acuannya adalah surat-surat kabar dan majalah-majalah pada masa itu yang banyak mempublikasikan pandangan pengurus dan warga NU.

 

Usulan itu lalu ditanggapi KH Abdul Wahab Chasbullah yang menyatakan, kalimat bank adalah suatu paham Islam yang telah dimengerti oleh semua golongan. Bank adalah suatu tempat untuk mengumpulkan modal yang perlu diniagakan, dan akhirnya dikembalikan kepada yang berhak (pemilik modal) dengan rente (bunga).

 

Tentang hal ini, kata Kiai Wahab, di dalam Islam berkembang tiga pendapat, yaitu halal, syubhat, dan haram.  Dalam konteks ini NU mengambil pemahaman yang halal.

 

Kiai Wahab mencontohkan, NU Cabang Jombang sebelumnya pernah mengadakan koperasi simpan pinjam, yang diberi nama Al Mufidi. Di Mekah pun telah ada suatu bank yang didirikan oleh bangsa-bangsa Eropa atau oleh bangsa-bangsa lainnya, yang di dalam pokoknya tak berbeda dengan bank-bank Eropa itu. 

 

Adapun bank nasional yang ada di Surabaya yang didirikan oleh Dr Soetomo dan kawan-kawan, sama sekali tidak cocok dengan hukum Islam, atau bisa dikatakan tidak selaras dengan kehendaknya agama Islam. 

 

Maka apabila NU ingin mengadakan bank sendiri, pihak syuriah harus bisa mengusahakan jalannya, lalu tanfidziah tinggal mengihtiarkan urusan keuangannya. Urusan pendirikan bank tersebut sebenarnya telah termasuk di dalam salah satu pasal status organisasi NU.

 

Selaku pimpinan sidang, Zainoel Arifin menerangkan bahwa pada saat itu Volksraad (dewan perwakilan rakyat Hindia Belanda) sedang merundingkan perubahan-perubahan dalam pendirian badan hukum Naamloze Vennootschap/ NV (sekarang disebut PT atau Perseroan Terbatas), agar mereka dapat mengadakan perhubungan dengan kaum-kaum pedagang (saudagar) dengan mudah.

 

Itulah sebabnya, beliau mengusulkan supaya pemberitaan yang dianggap sebagai acuan tadi dianggap saja sebagai seruan bagi NU seumumnya dan terutama kepada HBNO.

 

Pendapat dari peserta kongres lainnya, sehubungan dengan usulan bank Islam ini, perlu dibahas lebih mendalam lagi oleh pengurus HBNO, tentang dasar dan aturan hukumnya. Pembahasan bisa dilakukan dalam kongres, dan bisa juga diteruskan di luar kongres. 

 

Atas usulan dari NU cabang Krui itu  kongres kemudian memutuskan untuk membentuk komisi yang khusus membahas tentang pendirian bank Islam tersebut.

 

Menurut Johan Iskandar, cucu KH Muhammad Thohir, sebenarnya ada tiga usulan kakeknya dalam kongres NU di Menes, Banten itu. Usulan itu adalah pembentukan lembaga pendidikan NU, muslimat NU, dan bank Islam. Usulan terakhir itu diduga merupakan cikal bakal bank berbasis syariah yang banyak dikenal belakangan ini.

 

Pihak keluarga mendapat informasi kehadiran dan adanya tiga usulan itu berdasarkan informasi dari salah seorang rekan Kiai Thohir, yaitu KH Syukron Makmur, pemimpin Pondok Pesantren Darul Kalam, Jakarta. 

 

Pada muktamar tersebut, di Lampung sudah ada empat cabang NU, yang semuanya mengirim utusan. NU Cabang Tanjungraja mengirimkan  K Aqib dan KH A Chamid  dari unsur syuriah, Abu Katsir dan M Saman dari tanfidziyah. 

 

NU Cabang Krui mengirim  KH Moh Zain dan KH M Thohir dari syuriah, KH Abdulhalim dari tanfidziah, serta KH Ansor sebagai pembantu. Namun, ketika itu Krui belum masuk dalam Keresidenan Lampung, melainkan Keresidenan Bengkulu.

 

Sementara utusan dari NU Cabang Menggala adalah KH Abdurrachman-Ansor dari syuriah dan H Moh Solech dari tanfidziah. NU Cabang Telukbetung mengirim tiga orang dari syuriah, yaitu `K.H Moeslich, K.H. Djalil, dan K.H Hoesni. Satu orang dari tanfidziah yaitu, Moh Idris, dan Kg Zainoeddin sebagai pembantu. 

 

Total cabang NU seluruh Indonesia saat kongres di Menes ada 61 cabang. Diperkirakan, pada tahun 1938 itu, baru 61 cabang itulah yang sudah terbentuk.


Ila Fadilasari, Penulis Buku Sejarah dan Pertumbuhan NU di Lampung


Pernik Terbaru