• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Minggu, 28 April 2024

Opini

Menghargai Buku dari Tokoh Nasional Indonesia

Menghargai Buku dari Tokoh Nasional Indonesia
Buku adalah jendela dunia (Ilustrasi: NU Online)
Buku adalah jendela dunia (Ilustrasi: NU Online)

Buku merupakan sarana pembelajaran yang berkembang baik di berbagai jenjang pendidikan, baik sekolah formal maupun non formal. Dan buku sudah menjadi barang wajib bagi setiap pendidik ataupun siswa. 

 

Seringkali, guru menyuruh anak didiknya membaca berbagai macam buku, baik pengetahuan umum, agama, dan berbagai genre kehidupan. Tujuannya jelas, agar para siswa memiliki wawasan yang lebih luas. 

 

Pada hari ini, 17 Mei merupakan Hari Buku Nasional. Sesuatu kado yang istimewa bagi para penuntut ilmu. Karena sebuah buku menjadi perhatian lebih dari pemerintah Indonesia. 

 

Menurut sejarahnya, penetapan 17 Mei sebagai Hari Buku Nasional mengacu kepada tanggal berdirinya Perpustakaan Nasional (Perpusnas), yakni pada 17 Mei 1980, berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 0164/0/1980 yang ditandatangi Dr Daoed Joesoef. 

 

Penetapan Hari Buku Nasional tersebut, tidak lepas dari peran seorang Mentri Pendidikan Nasional dalam Kabinet Gotong Royong pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri, yakni Abdul Malik Fadjar. 

 

Abdul Malik Fadjar mencetuskan Hari Buku Nasional dengan tujuan untuk menumbuhkan minat baca dan literasi masyarakat Indonesia, yang pada saat itu masih sangat rendah. Keprihatinan Pak Menteri tersebut akhirnya mendorongnya untuk mencetuskan Hari Buku Nasional agar bisa menarik minat masyarakat untuk membaca. 

 

Buku sendiri merupakan jendela dunia, sehingga ketika kita membaca buku, kita akan mengetahui paradigma dunia dari berbagai sudut pandang. 

 

Meski sekarang banyak ilmu dan pengetahuan umum yang tersebar di media sosial, akan tetapi peran buku tetaplah unggul di hati masyarakat Indonesia. Karena buku masih memiliki nilai unik tersendiri. 

 

Buku juga sudah banyak mencetak para tokoh nasional,  pahlawan dan presiden Indonesia dengan berbagai pemikirannya. Sebagaimana Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka dan Gus Dur. 

 

Presiden Indonesia pertama, Bung Karno, mengungkapkan bahwa "Membaca, belajar, itu tidak ada batas usia. Meskipun kita telah jambul wanen, sudah tua, belajar dan membaca selalu bermanfaat".

 

Pernyataan Bung Karno, sebagaimana pepatah mengatakan bahwa belajarlah dari buaian hingga liang lahat. Intinya sejak lahir sampai meninggal belajar (membaca) jangan sampai ditinggalkan. 

 

Sedangkan Wakil Presiden Indonesia pertama, Bung Hatta, mengatakan bahwa "Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas". 

 

Mengingat bapak proklamasi kita ini, selama berjuang memperebutkan atau mempertahankan Indonesia, sering keluar masuk penjara. Tetapi beliau selalu meminta harus ada buku di dalam penjeranya. Karena dengan membaca buku, pikiran dan hati beliau akan bebas. 

 

Dan salah satu hal yang unik dalam hidup Bapak  Koperasi Indonesia ini, adalah ketika dirinya mempersunting Rahmi Rachim sebagai istrinya, dengan memberikan sebuah buku sebagai mas kawinnya. 

 

Diantara banyaknya pendiri bangsa, ada satu tokoh besar yang sangat masyhur dengan buku Madilognya, yakni Tan Malaka.  

 

Tokoh berdarah Minangkabau tersebut memiliki perhatian khusus terhadap buku. Ia mengatakan: Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi. 

 

Bagi Tan Malaka, buku merupakan pondasi utama, kebutuhan primer, selain makanan dan pakaian. Karena dengan makanan tubuh menjadi hidup. Dengan pakaian tubuh lebih terjaga. Dan dengan buku, pikiran, jiwa dan raga menjadi merdeka. 

 

Selain keunikan dari bapak pendiri bangsa terkait buku. Presiden Indonesia ke-4, KH. Abdurrahman Wahid juga memiliki pernyataan yang unik dan menarik. 

 

Gus Dur mengatakan "Saya ini nggak punya pacar. Teman main saya cuma buku dan bola". 

 

Memang, selama hidupnya Gus Dur dikenal dengan orang yang kutu buku. Dari kecil, hidupnya hanya dihabiskan di perpustakaan pribadi milik ayahnya, KH Wahid Hasyim. 

 

Ketika menuntul ilmu di Al-Azhar Mesir pum, beliau lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan kampus, untuk membaca sebanyak-banyaknya buku. 

 

Memang jika kita menyelami dari kehidupan pendiri bangsa, hidup mereka tidak lepas dari buku. Dan buku menjadi nutrisi yang wajib bagi tubuh mereka. 

 

Dengan bacaan buku, maka seseorang akan lebih mudah mengubah dirinya, masyarakat dan bangsanya. 

 

Kita sebagai penerus pendiri bangsa, seyogyanya meneladani kisah mereka dengan banyak membaca buku juga. Dengan buku pikiran kita akan hidup di mana-mana. 

(Yudi Prayoga)


Opini Terbaru