• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Jumat, 19 April 2024

Syiar

Ini Arti Tiga Istilah yang Akan Dibahas pada Bahtsul Masail Waqi'iyah di Munas NU

Ini Arti Tiga Istilah yang Akan Dibahas pada Bahtsul Masail Waqi'iyah di Munas NU
Mubes-Konbes NU tahun 2021
Mubes-Konbes NU tahun 2021

Bandar Lampung, NU Online Lampung
Musyawarah Nasional (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes) NU di Hotel Grand Sahid,  Jakarta, 25-26 September 2021, akan membahas mengenai masalah aktual atau biasa disebut juga Bahtsul Masail Waqi'iyah.


Dalam bahtsul masail waqi'iyah ini akan membahas dasar hukum tiga permasalahan kontemporer, yaitu Daging Berbasis Sel, Hukum Gelatin, dan Cryptocurrency. Maka dalam hal ini penulis akan menjelaskan apa arti dari ketiga permasalahan tsrsebut.


Dikutip dari NU Online, pembahasan yang pertama yaitu Daging Berbasis Sel. Pengertian daging berbasis sel adalah dengan menggunakan ilmu pengetahuan, maka terkadang hasil pengembangan teknologi ini menjadikan sesuatu yang sebelumnya seolah mustahil, ternyata bisa diwujudkan.


Misalnya, jika dulu orang menanam itu harus dari biji, maka dengan berbekal teknologi dan ilmu pengetahuan mengenai sel, usaha menanam itu tidak perlu lagi menggunakan biji. Cukup, dengan mengambil sampel jaringan tanaman, lalu pergi ke laboratorium, menyediakan media untuk pengembangbiakan jaringan, dan terakhir dengan menanamkan jaringan itu pada media yang sudah disiapkan, tumbuhlah tanaman dengan cepat. Teknologi ini dikenal dengan istilah teknologi kultur jaringan (bioculture).

 

Dari sini, muncul sisi etis yang kemudian diperdebatkan, yaitu ketika teknologi kultur jaringan tersebut menyasar ke objek berupa hewan atau manusia. Makan timbullah daging ayam in vitro yang dikembangbiakkan di Singapura.  

 

Kultur jaringan daging ayam secara in vitro, dilakukan dengan mengambil sampel yang terdiri dari sel atau jaringan daging ayam. Sel itu kemudian dikultur dalam sebuah media, dan dari situ lalu tumbuh mengembang menjadi seonggok daging tanpa kepala, tulang, atau anggota tubuh yang lain. Yang jadi pokok kajian adalah status daging yang tumbuh dari sel ini, apakah berstatus sebagai bangkai ataukah berstatus sebagai hewan yang hidup? Jika berlaku sebagai hewan yang hidup maka harus disembelih agar menjadi halal. Tapi bagaimana cara menyembelihnya? Ini adalah pokok landasannya.   

 

Sudah barang tentu, dalam hal ini, maka diperlukan telaah terhadap status hidup sel tersebut. Berdasarkan teori, setiap sel makhluk hidup itu adalah memiliki status hidup. Lalu mau dihukumi sebagai hidup yang bagaimana bagi sel tersebut? Apakah termasuk hayatan mustaqirrah (hidup yang bersifat tetap), ataukah hayatan madzbuhah (hidup seperti disembelih)?

 

Kemudian pembahsan yang kedua yaitu Hukum Gelatin. Gelatin adalah zat yang banyak digunakan dalam makanan, obat-obatan, produk kesehatan dan kecantikan. Selama bertahun-tahun komunitas muslim tidak pada pemahaman yang sama tentang kehalalan produk-produk ini.
Menurut Produsen Gelatin Eropa (GME), saat ini 59% gelatin digunakan dalam produk makanan, 31% pada industri farmasi, 2% dalam proses fotografi serta kegiatan teknik dan 8% di sektor lain.

 

Selain produk makanan, gelatin terdapat dalam krim, lotion dan masker, sabun mandi, sampo dan hair spray, nutricosmetics. Selain itu dalam banyak kapsul serta tablet keras atau lunak untuk obat, dalam produk nutrisi olahraga, pakan ternak dan juga pada peptida kolagen. Dengan begitu, merupakan berbagai produk yang sering dipakai oleh mayoritas umat muslim. Lalu bagaimana status hukum gelatin dalam Islam? Maka hal ini pula akan dibahas pada Munas NU.

 

Yang ketiga, yaitu pembahasan mengenai Cryptocurrency. Cryptocurrency atau crypto adalah mata uang virtual yang dijamin oleh cryptography. Sementara itu, definisi lain dari mata uang kripto adalah mata uang yang digunakan untuk bertransaksi satu orang dengan orang lain secara online.

 

Mata uang ini mulai populer tidak hanya di Indonesia, juga di luar negeri. Pada Februari 2020, terdapat 10 negara yang masyarakatnya memiliki uang kripto dalam jumlah banyak. Nigeria merajai posisi dengan persentase 34 persen diikuti dengan Vietnam dan Filipina dengan persentase sebesar 21 persen dan 20 persen.

 

Cryptocurrency sebagai investasi yang lebih dekat pada gharar atau spekulasi yang merugikan orang lain. Hal tersebut disebabkan tidak adanya aset pendukung atau underlying asset. Harga kripto tidak bisa dikontrol dan keberadaaannya tidak bisa dijamin secara resmi sehingga kemungkinan besar banyak spekulasi adalah haram. Dengan demikian hal ini masih menjadi perdebatan di kalangan umat muslim terkait status kehalalan kegiatan tersebut. (Dian Ramadhan)

 


Editor:

Syiar Terbaru