• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Rabu, 1 Mei 2024

Syiar

Alasan Mengapa Terjadi Perbedaan dalam Penetapan Idul Fitri

Alasan Mengapa Terjadi Perbedaan dalam Penetapan Idul Fitri
Alasan Mengapa Terjadi Perbedaan dalam Penetapan Awal Idul Fitri (Ilustrasi gambar: NU Online)
Alasan Mengapa Terjadi Perbedaan dalam Penetapan Awal Idul Fitri (Ilustrasi gambar: NU Online)

Menjelang Hari Raya Idul Fitri 2023, kita senantiasa disuguhi fenomena perbedaan pendapat terkait kapan jatuhnya 1 Syawal. Perbedaan dalam penetapan awal Idul Fitri ini terjadi antara satu negara dengan negara lainnya, bahkan di dalam satu negara pun bisa terjadi perbedaan. 


Hal ini menimbulkan pertanyaan di kalangan umat Islam tentang alasan mengapa terjadi perbedaan tersebut. Kementerian Agama sebagai lembaga yang mempunyai otoritas dalam penetapan Idul Fitri maupun awal Ramadhan, telah berusaha menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut dengan menggelar sidang isbat yang dihadiri oleh para ulama, ilmuwan, pakar hisab-rukyat, dan perwakilan dari berbagai organisasi massa yang ada di Indonesia. 


Hanya saja, terkadang ada kelompok yang tidak mengikuti hasil sidang isbat dimaksud dengan alasan telah memiliki metode penetapan sendiri. Karenanya menjadi sangat penting bagi masyarakat untuk mengetahui metode-metode yang digunakan oleh para ulama dalam menetapkan awal Syawal maupun Ramadhan.


Dilansir dari NU Online, dalam menetapkan awal Syawal atau Idul Fitri, ulama berbeda pendapat. Pertama, mayoritas ulama dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa awal Idul Fitri maupun Ramadhan hanya bisa ditetapkan dengan menggunakan metode rukyat (observasi/mengamati hilal) atau istikmal, yaitu menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Mereka berpegangan pada firman Allah swt dan hadits Nabi Muhammad saw.

 

Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 185:


فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ     


Artinya: Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan maka hendaklah ia berpuasa (pada) nya.


Rasululullah saw bersabda:


صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ 


Artinya: Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari (HR Bukhari Nomor 1776). 


Pada ayat dan hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya mengkaitkan kewajiban berpuasa dengan melihat hilal. Artinya, kewajiban berpuasa hanya bisa ditetapkan dengan melihat hilal atau menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari (Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Damaskus: Maktabah al-Ghazali, Juz 1980, hal. 210). 


Kedua, sebagian ulama, meliputi Ibnu Suraij, Taqiyyuddin al-Subki, Mutharrif bin Abdullah dan Muhammad bin Muqatil, menyatakan bahwa awal puasa maupun Idul Fitri dapat ditetapkan dengan metode hisab (perhitungan untuk menentukan posisi hilal). Mereka berpedoman pada firman Allah swt dan hadits Nabi saw.

 

Allah berfirman dalam surat Yunus ayat 5: 


هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ 


Artinya: Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). 


Rasululullah saw bersabda:


إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ 


Artinya: Jika kalian melihat hilal (hilal Ramadhan) maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal Syawwal) maka berbukalah. Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka perkirakanlah ia.


Penjelasan di atas menerangkan tujuan penciptaan sinar matahari dan cahaya bulan serta penetapan tempat orbit keduanya adalah agar manusia mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Artinya, Allah swt mensyariatkan kepada manusia agar menggunakan hisab dalam menentukan awal dan akhir bulan Hijriyah. Sedangkan poin utama dari hadits di atas adalah kata “Faqdurû lah”. Menurut mereka, arti kata tersebut adalah perkirakanlah dengan menggunakan hitungan (hisab). 


Dari kedua pendapat di atas, tampaknya pendapat kelompok pertama yang menyatakan awal Ramadhan dan Idul Fitri hanya bisa ditetapkan dengan rukyat dan istikmal merupakan pendapat yang sangat kuat, karena dalil-dalil yang mereka kemukakan sangat jelas dan tegas menyatakan hal tersebut (Mahmud Ahmad Abu Samrah dkk., Al-Ahillah Baina al-Falaq wa al-Fiqh, Jurnal al-Jami’ah al-Islamiyyah, Volume 12, Nomor 2, Halaman 241). 


Akan tetapi, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dalam bidang ilmu astronomi, peran hisab sangatlah urgen dalam mendukung hasil rukyat. Apalagi, hisab yang didukung dengan alat modern memiliki akurasi yang sangat tinggi.  


Dalam konteks negara Indonesia, terdapat beberapa kriteria penetapan awal Ramadhan, di antaranya: 


Pertama, imkanur rukyat (visibilitas hilal). Imkanur Rukyat adalah mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilal. Kriteria ini mengharuskan hilal berada minimal 2 derajat di atas ufuk, sehingga memungkinkan untuk dilihat. Akan tetapi, adanya hilal belum teranggap sampai hilal tersebut dapat dilihat dengan mata. Kriteria ini digunakan oleh NU sebagai pendukung proses pelaksanaan rukyat yang berkualitas. 


Kedua, wujudul hilal. Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan Ramadhan dengan menggunakan dua prinsip yaitu Ijtimak (Konjungsi) telah terjadi sebelum matahari terbenam, dan bulan terbenam setelah matahari terbenam. Jika kedua kriteria tersebut terpenuhi maka pada petang hari tersebut dapat dinyatakan sebagai awal bulan. Kriteria ini digunakan oleh Muhammadiyah. 


Ketiga, imkanur rukyat MABIMS. Yaitu penentuan awal bulan Ramadhan dan Idul Fitri yang ditetapkan berdasarkan musyawarah Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS). Menurut kriteria ini, imkanur rukyat dianggap memenuhi syarat apabila posisi hilal mencapai ketinggian hilal 3 derajat dengan sudut elongasi (jarak antara bulan dan matahari) 6,4 derajat. Kriteria ini merupakan pembaruan dari kriteria sebelumnya, yakni 2 derajat dengan sudut elongasi 3 derajat yang mendapat masukan dan kritik.


Keempat, rukyat global. Yaitu Kriteria penentuan awal bulan Ramadhan yang menganut prinsip bahwa jika satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa. Kriteria ini digunakan sebagian muslim Indonesia dengan merujuk langsung pada Negara Arab Saudi atau menggunakan hasil terlihatnya hilal dari negara lain. 


Dengan adanya metode dan kriteria penetapan awal Ramadhan dan Idul Fitri yang sangat variatif, tidak mengherankan jika terjadi perbedaan dalam memulai puasa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Hanya saja, penting kiranya untuk berusaha menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut, mengingat bahwa amaliah di bulan Ramadhan dan lebaran di bulan Syawal merupakan syi’ar Islam dan momen kebahagiaan yang layaknya dilaksanakan dan dinikmati bersama-sama.


Pemerintah melalui Kementerian Agama memiliki peran sentral dalam menyatukan perbedaan dimaksud, yaitu dengan menyelenggarakan sidang isbat awal Ramadhan dan Idul Fitri yang didasarkan pada rukyat, dan hisab sebagai pendukung. Keputusan isbat bersifat mengikat dan berlaku bagi umat Islam secara nasional, sebagaimana kaidah fiqih:


حُكْمُ الحَاكِمِ يَرْفَعُ الخِلَافَ 


Artinya: Keputusan hakim (pemerintah) dapat menghilangkan perselisihan.


Hanya saja, jika perbedaan penetapan awal Ramadhan dan Idul Fitri masih saja terjadi maka prinsip toleransi sepatutnya tetap dikedepankan. Sebab, menjaga persatuan dan kerukunan umat merupakan perintah Allah yang wajib dilaksanakan. 


Syiar Terbaru