• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Syiar

Sebelum Berutang, Ketahui Etika Pemilik Utang Berikut Ini

Sebelum Berutang, Ketahui Etika Pemilik Utang Berikut Ini
ilustrasi hutang
ilustrasi hutang

Kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja, kadang membuat seseorang harus mengambil jalan keluar dengan cara berutang. Atau bisa juga karena ada kebutuhan yang mendesak, membuat orang mau tak mau harus mencari pinjaman uang (utang). 


Terdapat banyak anjuran baik dalam Al-Qur’an maupun hadits yang menjelaskan tentang keutamaan orang memberi utang karena merupakan bagian dari menolong orang lain. Bahkan, dalam Islam, menagih utang pun ada etika dan aturannya.  

 

Namun sering pula kita mendengar tentang betapa sulitnya menagih utang pada orang yang sudah ditolong tersebut. Bahkan banyak pula  kita jumpai orang yang berutang bersikap lebih galak dari pemberi utang saat ditagih atau diminta untuk membayar. 

 

Dilansir dari Etika Pemilik Utang dalam Islam, ada beberapa etika yang perlu diperhatikan bagi orang yang berutang.  

 

Pertama, saat hendak berutang, seseorang harus mempunyai niat yang kuat untuk bisa membayarnya kelak saat jatuh tempo. Hal ini sesuai hadits dari Hurairah:  


 مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ  

 

Artinya: Barangsiapa yang mengambil harta-harta manusia (berutang) dengan niatan ingin melunasinya, Allah akan melunaskannya. Dan barangsiapa yang berutang dengan niat ingin merugikannya, Allah akan membinasakannya (HR Bukhari: 2387).


Kedua, dalam menjalankan transaksi utang-piutang dengan nominal yang cukup banyak, sebaiknya menghadirkan saksi atau ditulis dengan tanda tangan kedua belah pihak supaya jika ada perselisihan antarkedua pihak bisa ditengahi oleh saksi atau tulisan tersebut—walaupun secara normatif dalam masalah ini kedudukan saksi atau tulisan hukumnya tidak sampai wajib menurut kacamata syari’at. 

 

Menurut riwayat Ibnu Abbas sebagaimana dikutip banyak ulama, bahwa ayat 282 Surat al-Baqarah tidak menjelaskan tentang kewajiban menuliskan transaksi utang piutang, namun menjelaskan perihal diperbolehkannya akad pesan (salam).  

 

Penyataan Ibnu Abbas sebagaimana yang dikutip oleh As-Syirazi dalam kitab al-Muhadzab lengkapnya sebagaimana berikut: 

 

  أشهد أن السلف المضمون إلى أجل قد أحله الله في كتابه وأذن فيه فقال: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ 

 

 Artinya: Saya bersaksi, sesungguhnya akad salam ditanggung sampai waktu jatuh tempo yang telah ditentukan dan dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya, sebagaimana Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya” (Ibrahim As-Syirazi, Al-Muhadzab, [DKI], juz 2, halaman 71).

 

Ketiga, apabila sudah sampai pada waktu jatuh tempo dan mempunyai harta di luar persediaan makanan pokok dia dan keluarganya, utang harus dibayarkan sesuai prinsip dari Nabi bahwa menunda utang bagi orang yang mampu, merupakan sebuah kezaliman.

 

مِنْ آثَارِ الاِسْتِدَانَةِ وُجُوبُ الْوَفَاءِ عَلَى الْمُسْتَدِينِ عِنْدَ حُلُول الأَجَل، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ} وَلِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَطْل الْغَنِيِّ ظُلْمٌ (رواه البخاري).   

 

Artinya: Efek dari utang piutang, bagi orang yang berutang wajib membayarnya apabila sudah jatuh tempo karena sesuai dengan firman Allah "memberikannya dengan baik" dan berdasar hadits Nab saw "penundaan membayar utang bagi orang yang mampu membayarkannya, merupakan sebuah kedzaliman" (Al-Mausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, [Kuwait: Darus Salasil, cet 2], juz 3, halaman 268).

 

Keempat, jika sudah jatuh tempo dan belum membayar, dan pemberi utang mencekal supaya tidak pergi jauh, ia wajib mematuhi. Bepergian bisa menimbulkan kekhawatiran kreditur karena ada potensi utang tidak terbayarkan.  

 

Kelima, pemilik utang harus mempersilakan seandainya pemberi utang ingin menginap di rumah atau bahkan mengikutinya ke mana-mana karena dia mendapatkan hak tersebut selama sudah sampai waktu jatuh tempo.

 

Hal ini penting diperhatikan bagi para pemilik utang untuk memberikan ruang penagih, bukan malah membentak penagihnya (creditor). Hal ini tentu tak berlaku bila keduanya berlainan jenis (laki-laki dan perempuan) karena ada risiko khalwat saat harus penagihnya menginap atau menguntit ke mana saja wanita tersebut pergi. Begitu pula sebaliknya.  

 

Keenam, apabila sudah jatuh tempo, pemilik utang belum kuat membayar sedangkan ia misalnya utang benda berupa sepeda motor, lalu di rumahnya terdapat aset sepeda motor yang sejenis, maka sepeda motor tersebut boleh ditarik melalui putusan pengadilan.  

 

Apabila utangnya berupa uang atau benda lain, namun di rumahnya tidak ada aset yang sejenis, maka melalui putusan pengadilan, hakim boleh menjual paksa dari aset yang dimiliki pemilik utang dengan menyisakan kira-kira cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Demikian menurut mazhab Maliki, Syafii, Hanbali, Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan yang keduanya adalah Murid Abu Hanifah. (Al-Mausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 3: 268).

 

Ketujuh, orang yang berutang perlu berpikir bagaimana beratnya orang yang enggan melunasi utang sehingga meninggal dengan masih menyisakan utang. Banyak hadits yang menjelaskan hal ini. Diantaranya dalam sebuah kisah yang diceritakan oleh al-Akwa’ dalam hadits Bukhari. 

 

Suatu ketika para sahabat duduk-duduk di samping Nabi saw tiba-tiba ada jenazah dibawa mendekat ke arah Nabi. Rombongan yang membawa jenazah meminta Nabi, “Ya Rasul, tolong anda shalatkan jenazah ini!”


Nabi bertanya balik “Apakah dia punya utang?” 

 

  “Tidak, ya Rasul.” 

 

  “Apakah dia punya warisan?”  

 

“Tidak, wahai Nabi.”   

 

Mendengar jawaban di atas, Nabi lalu menshalatkan jenazah tersebut.   Kemudian Nabi didatangkan jenazah yang lain lagi. Mereka gantian minta Rasulullah menshalatkan jenazah yang mereka bawa. 

 

Rasul kemudian menanyakan, “Apakah dia punya utang?” 

 

 Dijawab rombongan yang membawa jenazah, “Iya, ya Nabi”

 

 “Apakah dia punya harta tinggalan?”   

 

“Ada, tiga dinar.” 

 

Lalu Nabi menshalatkan jenazah yang mempunyai utang tapi juga mempunyai harta warisan yang bisa untuk membayar utangnya.  

 

Berikutnya, Nabi dibawakan jenazah yang lain lagi. Permintaannya sama, mereka minta Nabi menshalatkan. Nabi pun bertanya dengan pertanyaan normatif sebagaimana dua jenazah sebelumnya.  

 

Bedanya, jenazah ketiga ini tidak mempunyai tinggalan warisan tapi malah meninggalkan utang. 

 

Kata Nabi, “Kalian saja yang menshalati teman kalian ini!”

 

Sejurus kemudian, Abu Qatadah mengajukan diri. “Ya Rasul, mohon engkau menshalatkan dia! Aku yang menanggung utangnya.”  

 

Mendengar perkataan Abu Qatadah, Nabi pun baru berkenan menanggung utangnya (HR Bukhari: 2289).

 

 Dalam hadits lain, Nabi bersabda:  


 من فارق الروح الجسد وهو بريء من ثلاث دخل الجنة من الكبر والغلول والدين 

 

 Artinya: Barangsiapa ruhnya berpisah dari jasad sedangkan ia terbebas dari tiga perkara ini, ia pasti akan masuk surga. Yaitu terbebas dari sombong, khianat, dan utang (HR Ibnu Majah: 2412).

 

Perlu kita diketahui, utang yang tidak terbayar ketika masih hidup dan tidak ada yang melunaskannya, besok akan diminta ganti dengan amal baiknya selama di dunia sebesar hitung-hitungan utangnya.

 

Dengan demikian, apabila di antara kita ada yang berutang semestinya menaati etika-etika orang yang berutang tersebut. Dan janganlah kita menjadi orang yang tidak tahu berterima kasih, setelah diberi utangan kemudian mangkir. Semoga Allah memberi kemudahan setiap urusan kita.


Syiar Terbaru