• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Jumat, 19 April 2024

Syiar

Tak Punya Uang, Bisakah Menjadi Alasan Tak Menghadiri Walimah Pernikahan?

Tak Punya Uang, Bisakah Menjadi Alasan Tak Menghadiri Walimah Pernikahan?
foto nikah
foto nikah

Hari-hari terakhir ini, banyak sekali undangan pernikahan yang kita terima. Baik dari sanak famili, rekan kerja, teman di organisasi, maupun tetangga di sekitar tempat tinggal kita.

 

Banyaknya undangan pernikahan itu, membuat kita menjadi bingung, apakah harus didatangi semua, mengingat kondisi perekonomian yang sedang tidak baik. Pertanyaannya, apakah tidak memiliki uang bisa menjadi alasan kita untuk tidak hadir dalam walimah (perjamuan) pernikahan tersebut? 

 

Masalah tak punya uang itu, bisa diartikan  dalam dua kondisi. Pertama, tidak menghadiri walimah karena tidak memiliki uang yang cukup untuk diberikan pada tuan rumah. Atau kedua, tidak menghadiri walimah karena tidak memiliki uang yang cukup untuk biaya berangkat menuju acara walimah.


Dilansir dari NU Online dalam artikel yang berjudulBolehkah Tak Menghadiri Walimah Pernikahan karena Tak Punya Uang? . Dijelaskan bahwa, pada persoalan pertama, yakni tidak memiliki uang untuk diberikan pada tuan rumah, secara hukum syariat, tidak dikategorikan sebagai uzur yang menggugurkan kewajiban menghadiri walimah pernikahan. 

 

Hal itu karena memberikan uang atau hadiah pada tuan rumah saat acara pernikahan bukanlah hal yang diwajibkan melainkan sebatas perbuatan sunnah dalam bentuk hibah (pemberian). Itu artinya kita tetap wajib untuk menghadiri acara walimah pernikahan meskipun tanpa memberikan apa pun pada tuan rumah.

 

Namun berbeda bila diketahui bahwa motif tuan rumah mengundang seseorang karena mengharap pemberian uang dari tamu undangan, maka dalam keadaan demikian tidak wajib bagi seseorang untuk menghadiri undangan walimah pernikahan, sebab acara walimah seperti itu tidak memenuhi persyaratan wajibnya mendatangi acara walimah pernikahan. 

 

Hal ini seperti yang ditegaskan dalam kitab Hasyiyah al-Qulyubi berikut:

 

قوله: (وأن لا يحضره) أي ومن الشروط أن لا يكون طلب حضوره لخوف منه على نفس ، أو مال أو عرض أو لطمع في جاهه أو ماله أو حضور غيره ، ممن فيه ذلك لأجله بل يدعوه للتقرب أو الصلاح أو العلم أو نحو ذلك

 

Sebagian dari syarat (wajibnya mendatangi walimah) adalah motif mengundang seseorang tidak karena khawatir perlakuan buruk darinya pada fisik, harta, dan kehormatan (orang yang mengundang), tidak karena mengharap jabatan atau uang darinya dan tidak karena mengharap hadirnya orang lain yang akan memberikan hal di atas. Tetapi motif mengundang murni untuk mempererat hubungan, berbuat baik, memberi tahu atau hal-hal sesemanya” (Syihabuddin al-Qulyubi, Hasyiyah al-Qulyubi, juz 3, halaman 296).

 

Sedangkan bila tidak memiliki uang untuk berangkat menuju acara walimah pernikahan, misalnya karena faktor tempat penyelenggaraan acara yang cukup jauh dan membutuhkan biaya, maka dalam keadaan demikian menghadiri walimah pernikahan menjadi tidak wajib. Sebab dalam hal ini, ia dianggap tidak mampu. 

 

Ketetapan hukum tidak wajibnya menghadiri undangan walimah pernikahan dalam persoalan kedua ini mulanya berangkat dari permasalahan “seberapa jauh undangan walimah yang wajib untuk dihadiri”.

 

Salah satu tokoh mazhab Syafi’i, Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan bahwa dalam membatasi jarak yang wajib untuk menghadiri walimah, berhubung belum ada ulama sebelumnya yang membatasi tentang hal ini, maka beliau mengarahkan pada tiga kemungkinan yang dapat dijadikan pijakan. 

 

Pertama, pada jarak tempuh ‘adwa, yakni jarak tempuh yang sekiranya ketika seseorang berangkat menuju lokasi undangan di pagi hari, maka ia dapat kembali ke rumahnya masih pada hari yang sama (Syekh Rajab Nuri, Dalil al-Muhtaj ala Syarh al-Minhaj, juz 4, halaman 185).

 

Kedua, lokasi undangan tidak melebihi tempat yang wajib didatangi untuk melaksanakan shalat Jumat. 

 

Ketiga, menstandarkan lokasi undangan berdasarkan kebiasaan masyarakat setempat (‘urf).

 

Kemungkinan ketiga ini menurut Ibnu Hajar al-Haitami merupakan pandangan yang paling mendekati kebenaran dan layak untuk dijadikan sebagai pijakan (aula bil-i’timad). Dengan demikian wajib bagi seseorang datang memenuhi undangan pada jarak yang sekiranya penduduk setempat membiasakan hadir pada jarak tempuh tersebut. 

 

Namun kewajiban ini berlaku ketika memang seseorang tidak mengalami kesulitan dalam hal biaya untuk berangkat menuju tempat acara dan juga tidak mengalami kendala fisik yang berlebihan (masyaqqah fil badan). 

 

Berikut referensi yang menjelaskan tentang hal ini:  

 

وبهذا اتجه أن الاحتمال الثاني أقرب وأولى بالاعتماد بل أقرب منه احتمال ثالث وهو تحكيم العرف المطرد عند كل قوم في ناحيتهم فإذا اعتاد أهل ناحية الدعاء من مسافة العدوى فأقل واطرد عرفهم بالإجابة من ذلك وأن ترك الإجابة يوجب كسرا وقطيعة للمدعو وجبت الإجابة من تلك المسافة على القوي الذي لا يترتب عليه من ذلك مشقة في بدنه ولا ماله وإن لم يعتادوا ذلك لم يجب بل لو اعتادوا عدم الدعاء من خارج البلد وإن سمع الخارجون النداء لم تجب الإجابة والله سبحانه وتعالى أعلم   

 

Dengan ini dapat disimpulkan bahwa kemungkinan kedua (membatasi jarak kehadiran dengan standar tempat yang masih terdengar azan shalat Jumat) adalah lebih mendekati kebenaran dan lebih utama untuk dijadikan pegangan. Bahkan terdapat kemungkinan ketiga yang lebih mendekati kebenaran, yakni dengan menstandarkan pada ‘urf (kebiasaan masyarakat) yang berlaku pada setiap kaum di daerahnya. Jika penduduk suatu daerah membiasakan mengundang (para undangan) dengan jarak tempuh ‘adwa (perjalanan pulang pergi dapat ditempuh dalam waktu satu hari) atau lebih sedikit, dan kebiasaan mereka ketika diundang masih dalam lingkup jarak tersebut, maka mereka akan menghadirinya. Dan ketika tidak menghadiri akan berakibat pada sakit hati dan memutus keharmonisan hubungan pada orang yang diundang, maka dalam hal ini wajib untuk menghadiri undangan tersebut bagi orang yang mampu, sekiranya tidak berdampak pada kepayahan tubuh dan kesulitan finansial. Jika hal di atas tidak dibiasakan, maka tidak wajib menghadiri undangan tersebut. Bahkan ketika tidak menghadiri undangan dari luar desa menjadi sebuah tradisi, maka tidak wajib menghadiri undangan tersebut, meskipun mereka masih mendengar suara adzan dari luar daerahnya” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz 4, halaman 115).

 

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa jika yang dimaksud tidak memiliki uang adalah tidak memiliki uang untuk pemberian pada tuan rumah, maka hal tersebut tidak menggugurkan kewajiban menghadiri undangan walimah pernikahan. Sehingga, menghadiri walimah pernikahan dalam hal ini tetap diwajibkan, sebab memberikan pemberian (hibah) pada tuan rumah merupakan hal yang sunnah, dan ketidakmampuan melaksanakan perkara yang sunnah, tidak akan menggugurkan perkara yang wajib.  

 

Sedangkan ketika maksud tidak memiliki uang diartikan sebagai tidak memiliki ongkos untuk menuju lokasi walimah, maka dalam hal ini menghadiri walimah pernikahan menjadi tidak wajib. Dan dalam keadaan ini pula, seseorang tidak perlu sampai berutang pada orang lain agar mampu membiayai ongkos untuk perjalanan menuju lokasi undangan walimah.


 


Syiar Terbaru