Syiar

Penjelasan Lengkap tentang Bid’ah dalam Islam, Tidak Semua Bid’ah Sesat

Senin, 13 Januari 2025 | 08:45 WIB

Penjelasan Lengkap tentang Bid’ah dalam Islam, Tidak Semua Bid’ah Sesat

Ilustrasi bidah. (Foto: NU Online)

Bid’ah merupakan istilah dalam Islam yang merujuk kepada inovasi atau penambahan sesuatu yang baru dalam agama yang tidak ada pada zaman Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Secara umum, bid'ah dianggap sebagai sesuatu yang tidak diinginkan dalam Islam, karena bisa menyebabkan penyimpangan dari ajaran asli agama Islam. 


Akan tetapi dalam perjalanan Islam, tidak semua bid’ah digolongangkan sesat. Ada beberapa yang dikategorikan sebagai bid’ah yang baik, seperti pembukuan Al-Qur’an dan Hadits, diadakannya shalat tarawih berjamaah dan sebagainya. 


Selain itu juga kita harus menguasai ajaran Nabi saw secara menyeluruh. Bisa dilihat dari berbagai literasi tentang sunnah-sunnah Nabi dengan segala amaliahnya. Karena ada beberapa orang yang sering salah kaprah menuduh amaliah saudara Muslim lainnya sebagai ajaran bid’ah yang menyimpang, padahal ada sumber dan dalilnya. 


Mengutip tulisan dari KH Ma’ruf Khozin yang ditulis di media sosialnya, bahwa ada empat tema yang digolongkan sebagai bahan tuduhan bid’ah. Jika kita menguasai dalilnya dan sejarah para ulama Salaf maka kita bisa mematahkan klaim yang keliru tersebut.


1. Hadits Dhaif

Soal talqin, membaca yasin, membaca Al-Qur’an di makam dan sebagainya selalu dituduh bid’ah karena dianggap hadisnya dhaif. Sesungguhnya cukup dijawab bahwa ulama salaf yang ahli di bidang Hadits pun juga mengamalkan Hadits dhaif. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Qaul Musaddad:


وقد ثبت عن الإمام أحمد وغيره من الأئمة أنهم قالوا إذا روينا في الحلال والحرام شددنا وإذا روينا في الفضائل ونحوها تساهلنا


Artinya: Telah tetap dari Imam Ahmad dan imam yang lain, bila kami meriwayatkan dari Nabi tentang hukum halal dan haram, maka kami sangat selektif dalam hal sanad. Jika kami meriwayatkan keutamaan amal dan selain hukum, maka kami tidak selektif (Al-Hafidz Ibnu Hajar, Qaul Musaddad, 1/11).


Musnad Ahmad memuat sekitar 6000 dhaif dari 27.688 sebagaimana ditakhrij oleh Syekh Syuaib Arnauth. Adab Al Mufrad karya Imam Bukhari mengoleksi hadits dhaif sebanyak 215, seperti ditakhrij oleh Syekh Albani. Demikian pula Muwatha’ Imam Malik dengan 333 riwayat dhaif. Jika mengaku pengikut salaf padahal ulama salaf menerima hadits dhaif, lalu ulama salaf mana yang mereka ikuti?


2. Dalil Qiyas

Dalam fiqih Syafi’i ada metode qiyas sebagai salah satu sumber hukum setelah Al-Qur'an, Hadits dan Ijmak. Jika kita ditanya mana dalil keabsahan qiyas? Maka jawabannya terdapat dalam firman Allah swt:


قَوْلُهُ : { أَطِيْعُواْ اللهَ وَأَطِيْعُواْ الرَّسُوْلَ } يَدُلُّ عَلَى وُجُوْبِ مُتَابَعَةِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ . قَوْلُهُ : { وَأُوْلِى الْأمْرِ مِنْكُمْ } يَدُلُّ عِنْدَنَا عَلَى أَنَّ إِجْمَاعَ الْأُمَّةِ حُجَّةٌ ... قَوْلُهُ : { فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ } يَدُلُّ عِنْدَنَا عَلَى أَنَّ الْقِيَاسَ حُجَّةٌ


Artinya: Firman Allah (ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul) menunjukkan kewajiban mengikuti Al-Quran dan Hadits. Firman Allah (dan ulil amri) menunjukkan bagi kita bahwa ijma’ umat Islam adalah sebuah hujjah. Dan firman Allah (jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu...) menunjuk-kan bagi kita bahwa qiyas adalah sebuah hujjah (Tafsir Al-Kabir 5/248-251).


Dari hasil ijtihad para ulama, bahwa qiyas ini sangat banyak sekali, mulai mengeraskan niat shalat yang diqiyaskan saat Nabi mengeraskan bacaan niat haji. Hal ini tercantum dalam sabda Nabi yang diriwayatkan Imam Bukhari:


قَالَ أَنَسٌ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَبَّيْكَ بِعُمْرَةٍ وَحَجٍّ (رواه مسلم 2195)


Artinya: Anas berkata, saya mendengar Rasulullah saw bersabda (dalam niat Haji dan umrah): "Saya penuhi panggilan-Mu dengan Umrah dan Haji" (HR Muslim, nomor 2195).

Salah satu imam mazhab empat, Imam Syafi'i pun mengeraskan bacaan niat sebelum salat. Hal tersebut terdapat dalam Al-Mu’jam-nya Ibnu Al-Muqri:


أَخْبَرَنَا ابْنُ خُزَيْمَةَ ، ثَنَا الرَّبِيْعُ قَالَ كَانَ الشَّافِعِي إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْخُلَ فِي الصَّلَاةِ قَالَ : بِسْمِ اللهِ مُوَجِّهًا لِبَيْتِ اللهِ مُؤَدِّيًا لِفَرْضِ اللهِ عَزَّ وَجَل َّاللهُ أَكْبَرُ


Artinya: Mengabarkan kepadaku Ibnu Khuzaimah, mengabarkan kepadaku Ar-Rabi’, ia berkata, Imam Syafi’i ketika akan masuk dalam shalat beliau mengucapkan “Bismillah Aku menghadap ke Baitullah, menunaikkan kewajiban kepada Allah, Allahu Akbar (Ibnu Al-Muqri, Al-Mu’jam: 317).


3. Keabsahan Tradisi dalam Agama

Bagi yang pernah belajar ilmu ushul fiqih dan kaidah fiqih, maka akan mengerti bahwa tradisi dapat diterima untuk diamalkan selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Di antaranya adalah yang dijelaskan oleh Syekh Khatib Asy-Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj:


وَحَكَى الْمُصَنِّفُ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ وَالْأَذْكَارِ وَجْهًا أَنَّ ثَوَابَ الْقِرَاءَةِ يَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ كَمَذْهَبِ الْأَئِمَّةِ الثَّلَاثَةِ ، وَاخْتَارَهُ جَمَاعَةٌ مِنْ الْأَصْحَابِ مِنْهُمْ ابْنُ الصَّلَاحِ ، وَالْمُحِبُّ الطَّبَرِيُّ ، وَابْنُ أَبِي الدَّمِ ، وَصَاحِبُ الذَّخَائِرِ ، وَابْنُ أَبِي عَصْرُونٍ ، وَعَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ ، وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ


Artinya: Al-Nawawi menyebutkan suatu pendapat Syafiiyah dalam Syarah Muslim dan Adzkar bahwa pahala bacaan al-Qur’an bisa sampai kepada mayit, seperti tiga mazhab yang lain. Pendapat ini dipilih oleh ulama Syafiiyah diantaranya Ibnu Shalah, Muhib al-Thabari, Ibnu Abi ad-Dam, pengarang al-Dzakhair, Ibnu Abi Ashrun. Inilah yang diamalkan umat Islam. Apa yang dilihat baik oleh umat Islam, maka baik pula bagi Allah (Mughni al-Muhtaj 11/220).


Di bagian ini kita sering distigma dengan kalangan Tradisionalis Aswaja, atau sering disingkat Asli Warisan Jawa, dan lainnya. Sekali lagi, tradisi bisa diterima asalkan tidak ada unsur keharaman di dalamnya. Apakah semua bentuk kesamaan tradisi dengan agama lain tidak boleh dilakukan dalam Islam? Tidak demikian cara memahami dalil tasyabuh, tetapi harus ada kriterianya seperti yang disampaikan oleh Ibnu Najim dari Mazhab Hanafi:


ثُمَّ اعْلَمْ أَنَّ التَّشْبِيهَ بِأَهْلِ الْكِتَابِ لَا يُكْرَهُ فِي كُلِّ شَيْءٍ وَإِنَّا نَأْكُلُ وَنَشْرَبُ كَمَا يَفْعَلُونَ إنَّمَا الْحَرَامُ هُوَ التَّشَبُّهُ فِيمَا كَانَ مَذْمُومًا وَفِيمَا يُقْصَدُ بِهِ التَّشْبِيهُ كَذَا ذَكَرَهُ قَاضِي خَانْ فِي شَرْحِ الْجَامِعِ الصَّغِيرِ فَعَلَى هَذَا لَوْ لَمْ يَقْصِدْ التَّشَبُّهَ لَا يُكْرَهُ عِنْدَهُمَا


Artinya: Tasyabbuh (serupa) dengan Ahli Kitab tidak makruh dalam segala hal. Kita makan dan minum. Mereka juga sama. Haram tasyabbuh jika (1) tercela (2) sengaja tasyabbuh. Jika tidak sengaja maka tidak makruh (Al-Bahr al-Raiq, 4/74).


4. Ibadah Mahdhah

​​​​​​​Di poin keempat inilah yang paling banyak mendapat tuduhan bid’ah. Semua ibadah dianggap sama sehingga setiap ada ijtihad di dalam agama dituduh bid’ah.


Bagi fiqih Syafi’i khususnya, ada ibadah mahdhah yang secara tuntunan dan pengamalan sudah final dari Nabi, sehingga tidak ada peluang ijtihad karena dalilnya sudah jelas dan gamblang, misalnya jumlah rakaat salat. Tidak ada cerita bahwa umat Islam, terkhusus pengikut ulama Aswaja menambah rakaat shalat Subuh menjadi 5 rakaat, jumatan jadi 10 rakaat dan lainnya.


Selain ibadah mahdlah, ada juga ibadah ghairu mahdhah, yakni ibadah yang dalil umumnya ada tetapi teknis pelaksanaannya terjadi beda pendapat di kalangan ulama, misalnya jumlah rakaat Tarawih. Mayoritas mengatakan 20 rakaat, ada yang mengatakan 8 rakaat, bahkan ada yang lebih banyak, seperti dalam mazhab Maliki. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Bidayat al-Mujtahid:


وَذَكَرَ ابْنُ الْقَاسِمِ عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ كَانَ يَسْتَحْسِنُ سِتًّا وَثَلَاثِيْنَ رَكْعَةً وَالْوِتْرُ ثَلَاثٌ … وَذَكَرَ ابْنُ الْقَاسِمِ عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ اْلأَمْرُ الْقَدِيْمُ : يَعْنِي الْقِيَامَ بِسِتٍّ وَثَلَاثِيْنَ رَكْعَةً


Artinya: Ibnu Qasim menyebutkan dari Imam Malik bahwa beliau menilai baik (salat Tarawih) 36 rakaat dan witir 3 rakaat… Ibnu Qasim menyebutkan dari Imam Malik bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang dahulu, yakni Tarawih 36 rakaat (Bidayat al-Mujtahid, 1/312).


Contoh lain dari hal serupa, adalah anjuran melakukan shalat sunnah sebanyak-banyaknya sesuai kemampuan. Maka Imam Ahmad selaku ulama salaf, pernah salat 300 rakaat setiap hari padahal tidak ada contoh dari Nabi saw:


قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدَ كَانَ أَبِي يُصَلِّي فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ ثَلاَثَ مِئَةِ رَكْعَةٍ


Artinya: Abdullah bin Ahmad berkata: Bapak saya (Ahmad bin Hanbal) melakukan salat dalam sehari semalam sebanyak 300 rakaat (Mukhtashar Tarikh Dimasyqa, Ibnu Rajab al-Hanbali, 1/399).


Demikian pula Imam Bukhari, beliau menentukan sendiri waktu shalat istikharah padahal tidak ada ketentuan dari Nabi, yaitu saat menulis kitab Sahihnya:


قَالَ الْفَرْبَرِي قَالَ لِي الْبُخَارِي: مَا وَضَعْتُ فِي كِتَابِي الصَّحِيْحِ حَدِيْثاً إِلاَّ اغْتَسَلْتُ قَبْلَ ذَلِكَ وَصَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ 


Artinya: Al-Farbari berkata bahwa Al-Bukhari berkata, saya tidak meletakkan satu Hadits pun dalam kitab sahih saya, kecuali saya mandi terlebih dahulu dan saya salat 2 rakaat (Siyar A’lam an-Nubala’, 12/402).


Pada ranah ini juga, pendapat Mufti Saudi membenarkan amalan Tarawih di Makkah padahal tidak dilakukan oleh Nabi saw:


هذا عمل حسن فيقرأ الإمام كل ليلة جزءا أو أقل ... وهكذا دعاء الختم فعله الكثير من السلف الصالح ، وثبت عن أنس - رضي الله عنه - خادم النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه فعله ، وفي ذلك خير كثير والمشروع للجماعة أن يؤمنوا على دعاء الإمام رجاء أن يتقبل الله منهم


Artinya: Khataman Al-Qur’an saat shalat Tarawih ini adalah amal yang bagus. Juga membaca doa khatam sudah diamalkan oleh banyak ulama salaf, Anas bin Malik. Bagi makmum dianjurkan membaca amin (Majmu’ Fatawa Bin Baz 11/388).


Demikianlah beberapa amalan umat Islam, khususnya kalangan Ahlussunnah wal Jamaah yang masih dilakukan hingga saat ini, akan tetapi kadang amalan ini sering dianggap bid’ah dan tidak mendasar dari sesama saudara semuslim yang juga berbeda pendapat.


​​​​​​​Maka diharapkan kita sebagai umat Islam harus benar-benar mempelaari ilmu dalam agama Islam secara menyeluruh (komprehensif) dan mendetail. Jangan sampai mempelajarinnya hanya sepotong-sepotong, karena dikhawatirkan akan merasa benar sendiri.