Yudi Prayoga
Penulis
Membuang sampah di sungai merupakan salah satu masalah global di dunia. Tindakan ini sangat merugikan lingkungan dan berdampak negatif bagi manusia, hewan, serta ekosistem secara keseluruhan.
Diantaranya dapat menyebabkan banjir yang menenggelamkan pemukiman warga, mencemari udara yang bau busuk dan membuat air menjadi keruh dan hitam.
Dalam Islam, membuang sampah di sungai dianggap haram karena mencemari lingkungan, membahayakan kesehatan, dan melanggar prinsip-prinsip dasar Islam tentang menjaga keseimbangan alam. Larangan ini didukung oleh berbagai sumber, termasuk hadis, ayat Al-Quran, dan fatwa ulama.
Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raf ayat 56:
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
Artinya: Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik (QS Al-A’raf: 56).
Fakhruddin Ar-Razi dalam kitab tafsir Mafatihul Ghaib menegaskan bahwa ayat ini merupakan perintah Allah kepada umat manusia untuk menjaga bumi dan tidak merusaknya. Perintah ini menjadi pengingat penting bagi manusia untuk memelihara lingkungan dan kehidupan di bumi.
Ayat tersebut melarang segala bentuk tindakan yang merusak alam, kehidupan sosial, dan nilai-nilai agama. Menjaga bumi berarti menjaga keseimbangan alam, melestarikan sumber daya alam, dan mencegah pencemaran.
Dengan menjaga bumi, manusia sesungguhnya menjaga kelangsungan hidup mereka sendiri dan generasi mendatang. Kegagalan dalam menjaga bumi akan membawa dampak buruk bagi kehidupan manusia dan alam semesta. Simak penjelasan berikut:
مَعْنَاهُ وَلَا تُفْسِدُوا شَيْئًا فِي الْأَرْضِ، فَيَدْخُلُ فِيهِ الْمَنْعُ مِنْ إِفْسَادِ النُّفُوسِ بِالْقَتْلِ وَبِقَطْعِ الْأَعْضَاءِ، وَإِفْسَادِ الْأَمْوَالِ بِالْغَصْبِ وَالسَّرِقَةِ وَوُجُوهِ الْحِيَلِ، وَإِفْسَادِ الْأَدْيَانِ بِالْكَفْرِ وَالْبِدْعَةِ، وَإِفْسَادِ الْأَنْسَابِ بِسَبَبِ الْإِقْدَامِ عَلَى الزِّنَا وَالْلِّوَاطَةِ وَسَبَبِ الْقَذْفِ، وَإِفْسَادِ الْعُقُولِ بسبب شرب المكسرات، وَذَلِكَ لِأَنَّ الْمَصَالِحَ الْمُعْتَبَرَةَ فِي الدُّنْيَا هِيَ هَذِهِ الْخَمْسَةُ: النُّفُوسُ وَالْأَمْوَالُ وَالْأَنْسَابُ وَالْأَدْيَانُ وَالْعُقُولُ
Baca Juga
Tiga Manfaat Sungai bagi Umat Manusia
Artinya: Makna ayat adalah janganlah merusak apapun di muka bumi. Ini mencakup larangan merusak jiwa dengan membunuh dan mencabik-cabik tubuh, merusak harta dengan melakukan ghasab, pencurian, dan berbagai bentuk penipuan. Merusak agama dengan kufur dan bid'ah, merusak keturunan dengan melakukan zina, homo seksual [anal], dan sebab-sebab qadhaf. Termasuk merusak akal pikiran dengan mengkonsumsi berbagai minuman keras. Hal ini dikarenakan lima maslahat yang diperhatikan dalam dunia ini adalah jiwa, harta, keturunan, agama, dan akal pikiran (Fakhruddin Ar Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut; Dar Ihya al Arabi, 1420 H], halaman 283).
Pandangan Ar Razi di atas relevan dengan zaman sekarang dengan sampah yang dibuang sembarangan. Ketika sampah mencemari air, udara dan ikan, terutama sampah plastik, akan berdampak bagi manusia yang mengonsumsi air, ikan dan udara di sekitarnya tersebut. Dan ini sama bahayanya dengan mengonsumsi minuman keras. Ketika berdampak bagi manusia, maka akan berdampak pada keturunannya.
Sampah-sampah yang tidak bisa terurai atau terurai dengan sangat lama, seperti plastik, telah menjadi salah satu masalah lingkungan terbesar di dunia. Di Indonesia, diperkirakan 64 juta ton sampah plastik dihasilkan setiap tahunnya, dan hanya sekitar 10% yang didaur ulang. Sisanya mencemari lingkungan, membahayakan hewan dan manusia, dan merusak ekosistem.
Dalam kaidah fiqih sendiri, kita dilarang membahayakan dan menimbulkan kesulitan bagi orang lain, terutama yang sangat merugikan bagi banyak orang. Hal ini disebutkan dalam kitab al-Mawahib al-Saniyah Syarh al-Fawa’id al-Bahiyah, halaman 114 berikut:
عِبَارَةٌ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ وَالْمَعْنَى لَا يُبَاحُ إِدْخَالُ الصِّرَارِ عَلَى إِنْسَانٍ فِيْمَا تَحْتَ يَدِهِ مِنْ مِلْكٍ وَمَنْفَعَةٍ غَالِبًا وَلَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنْ يُضِرَّ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ
Artinya: Frasa 'La dharara wa la dhirar' memiliki makna bahwa tidak diperbolehkan melakukan tindakan yang merugikan pada seseorang yang berada dalam kekuasaannya, baik berupa kepemilikan dan manfaat yang dimilikinya. Tidak dibolehkan bagi siapapun untuk merugikan saudaranya sesama Muslim.
Terpopuler
1
Dalil 10 Muharram Mengusap Kepala Anak Yatim
2
Dalil Anjuran Berbagi di Bulan Muharram
3
PCNU Pesawaran Resmikan Karteker MWCNU Teluk Pandan, Rifa’i dan Agus Irawan Ditunjuk Jadi Ketua dan Sekretaris
4
Kejurnas KWRI Cup II, Pemprov Lampung Dorong Ekosistem Sepak Bola Sejak Dini
5
Munir Abdul Haris: Program Pemutihan Pajak Kendaraan di Lampung Belum Berdampak Signifikan
6
Tata Cara dan Bacaan Niat Puasa Asyura 6 Juli 2025
Terkini
Lihat Semua