Syiar

Hukum Bersuci dengan Air Sungai Keruh Karena Banjir

Sabtu, 27 Juli 2024 | 18:17 WIB

Hukum Bersuci dengan Air Sungai Keruh Karena Banjir

Ilustrasi wudhu (Foto: NU Online)

Air sungai merupakan air yang mengalir dari dataran tinggi menuju dataran rendah, dan dapat bermuara ke laut, danau, maupun kolam. Dalam agama Islam, air sungai merupakan air yang suci dan bisa dijadikan untuk bersuci, karena memenuhi syarat sahnya air, yakni tidak berubah warnanya, rasanya, dan baunya.


Dalam fiqih Islam air menjadi sesuatu yang penting sebagai sarana utama dalam bersuci, baik bersuci dari hadas maupun dari najis. Dengannya seorang Muslim bisa melaksanakan berbagai ibadah secara sah karena telah bersih dari hadas dan najis yang dihasilkan dengan menggunakan air. 


Air suci dan menyucikan artinya dzat air tersebut suci dan bisa digunakan untuk bersuci. Air ini oleh para ulama fiqih disebut dengan air mutlak. Menurut Ibnu Qasim Al-Ghazi ada 7 macam air yang termasuk dalam kategori ini. Beliau mengatakan:
 


المياه التي يجوز التطهير بها سبع مياه: ماء السماء، وماء البحر، وماء النهر، وماء البئر، وماء العين, وماء الثلج، وماء البرد 


Artinya: Air yang dapat digunakan untuk bersuci ada tujuh macam, yakni air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air mata air, dan air salju, dan air dari hasil hujan es.


Akan tetapi, bagaimana jika terjadi banjir dan air sungai berubah menjadi keruh, sedang masyarakat hanya bergantung kepada air sungai tersebut untuk kehidupan sehari-hari, salah satunya untuk bersuci ketika akan beribadah. Sehingga keadaan tersebut menyulitkan bagi masyarakat.


Dilansir dari NU Online, bahwa masyarakat boleh bersuci dengan air sungai yang keruh karena banjir. Karena keruhnya disebabkan terkena tanah dan debu yang tidak ditemukan komponen najis atau komponen selain tanah dan debu (mukholith) yang sampai mengubah warna, rasa, atau bau dari air. 


Sebab perubahan air karena faktor tercampur tanah atau debu tidak sampai mencegah kemutlakan nama air. Hal ini seperti yang ditegaskan dalam kitab al-Muqaddimah al-Hadramiyah halaman 21:


وَلَا يضر تغير بمكث وتراب وطحلب وَمَا فِي مقره وممره   


Artinya: Perubahan air sebab diamnya air (dalam waktu lama), sebab debu, lumut, dan sebab sesuatu yang menetap dalam tempat menetapnya air dan tempat berjalannya air merupakan hal yang tidak dipermasalahkan (Syekh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Bafadhal, al-Muqaddimah al-Hadramiyah, halaman 21).


Alasan tetap diperbolehkannya bersuci dengan menggunakan air banjir yang keruh adalah untuk mempermudah masyarakat dalam bersuci, sebab air keruh yang bercampur tanah dan debu merupakan hal yang sering kita temukan sehari-hari. Jika air demikian dihukumi tidak dapat digunakan untuk bersuci, tentu banyak masyarakat yang merasa terbebani dalam bersuci.


Selain itu, air yang tercampur debu sejatinya hanya sebatas memperkeruh warna air, tidak sampai mengubah nama air hingga memiliki nama tersendiri. Hal ini seperti disampaikan dalam kitab Fath al-Wahab:


لا تراب وملح ماء وَإِنْ طُرِحَا فِيهِ " تَسْهِيلًا عَلَى الْعِبَادِ أَوْ لِأَنَّ تَغَيُّرَهُ بِالتُّرَابِ لِكَوْنِهِ كُدُورَةً وَبِالْمِلْحِ الْمَائِيِّ لِكَوْنِهِ مُنْعَقِدًا مِنْ الْمَاءِ لَا يَمْنَعُ إطْلَاقَ اسْمِ الْمَاءِ عَلَيْهِ وَإِنْ أَشْبَهَ التَّغَيُّرُ بِهِمَا فِي الصُّورَةِ التَّغَيُّرَ الْكَثِيرَ بِمَا مَرَّ   


Artinya: Air tidak dikatakan berubah sebab bercampur debu atau bercampur garam air, meskipun keduanya (sengaja) dilemparkan pada air, (hukum demikian) bertujuan untuk memudahkan masyarakat dan karena debu hanya memperkeruh air dan garam air merupakan gumpalan yang berasal dari air yang tidak sampai mengubah kemutlakan nama air, meskipun perubahan dengan dua komponen ini secara bentuk menyerupai perubahan pada air yang banyak sebab benda-benda yang melebur (mukhalith) (Syekh Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahhab, juz 1, halaman 5).


Berbeda halnya jika seseorang yakin perubahan air banjir yang berada di sekitarnya lebih dominan karena faktor benda selain tanah yang mencampuri air (mukhalith), seperti sampah, najis dan benda lainnya, sehingga sampai mengubah terhadap bau, rasa dan warna air, maka air tersebut sudah tidak dapat digunakan untuk bersuci. 


Berbeda jika seseorang masih ragu, apakah air banjir yang ada di sekitarnya perubahannya karena murni tercampur tanah atau lebih dominan karena tercampur benda yang lain, maka dalam kondisi demikian, air tetap berstatus suci dan menyucikan. 


Sebab hukum asal dari air adalah suci, dan kesucian tersebut tidak menjadi hilang hanya disebabkan suatu keraguan. Hal ini seperti dijelaskan dalam kitab Busyra al-Karim:


وخرج بزيادتي (يقيناً): ما لو شك - هل التغير بمخالط أو مجاور؟ - فلا يضر؛ إذ الأصل تيقن طهوريته، فلا تزول بالشك.   


Artinya: Keluar dari cakupan ‘yakin berubah’, yakni ketika seseorang masih ragu, apakah perubahan air disebabkan benda yang mencampuri air (mukhalith, larut) atau sebab benda yang menyandingi air (mujawir, tak larut), maka keraguan demikian tidak berpengaruh dalam kemutlakan air, sebab hukum asalnya adalah yakin atas kesucian air, maka keyakinan ini tidak hilang sebab adanya keraguan (Syekh Said bin Muhammad Ba’aly, Busyra al-Kariem, halaman 74).  


Dengan demikian dapat disimpulkan sebaiknya dalam kondisi banjir seseorang tetap memprioritaskan mencari air yang bersih dan jernih dalam bersuci agar ia tidak terkena dampak-dampak negatif dari penggunaan air yang kotor. 


Namun meski begitu masyarakat tetap diperbolehkan menggunakan air banjir yang keruh, selama perubahan dari air banjir bukan karena faktor selain tanah dan debu, seperti najis, sampah, limbah pabrik, dan benda lain yang dapat mencampuri air.