Santri adalah istilah yang secara khusus merujuk pada seorang hamba yang ingin menuntut ilmu di pesantren dengan keinginan yang kuat dalam memahami agama, dengan cara belajar kitab kepada kiai dan para asatidz dan munqim (menetap) di pondok pesantren.
Berbicara santri dan nalar Al-Narajil artinya berbicara tentang persoalan santri yang menjadi objek utamanya dalam kajian ini. Pada lapisan pertama, kita harus kembalikan pada persoalan kompleks dan menyeluruh.
Persoalan santri berarti berbicara tentang pesantren secara utuh, mulai dari model pendidikan, pengelolaan, peran santri, proses belajar, kehidupan sehari-hari, biaya di pesantren yang harus dibayar, biaya makan dan jajan, dan juga bagaimana santri kerasan (betah) di pondok pesantren, bahkan ketika santri bermasalah.
Pada lapisan kedua adalah pendekatan, misalnya santri terjangkit persoalan di pesantren, karena boros misalnya, maka bagaimana sikap orang tua kepada anaknya yang sedang nyantri.
Hal yang pertama dilakukan adalah melihat pada titik apa yang sedang jadi masalah, misalnya boros, maka lihat pula persolan yang lain pada lapisan pertama, apakah ia betah di pesantren, apakah ia mengalami perundungan di pesantren, apakah ia punya kawan di pesantren, apakah ia belajar nyaman, dan lihat pada persoalan yang umum, lalu lihat titik apa yang sedang dijangkit olehnya. Jika persoalan yang terjadi kepada santri boros, maka fokuslah agar yang butuh itu yang diperbaiki, dan yang lainnya tidak ada masalah pada poin lainnya.
Pada lapisan ketiga, tujuan mondok, berilah nasihat pada anak agar ia paham atau ingat kembali orientasi ia mondok, sehingga akan mudah menjelaskan kepadanya kekurangan atau sikap buruk yang dilakukan anak itu telah keluar dari aturan pesantren dan prinsip-prinsip pesantren, seperti keikhlasan, kesederhanaan, berdikari, ukhuwah Islamiyah dan bebas.
Pada lapisan keempat, adalah kompetensi, baik orang tua maupun santri, jika orang tua adalah juga santri pernah mondok maka akan mudah menasihati anaknya terlebih juga bisa meramu dan mengukur hal apa yang akan disampaikan, karena bisa jadi apa yang dilakukan orang tua jaman dahulu berbeda dengan apa yang dialami anak pada saat ini.
Terlebih jika orang tua tidak pernah mondok, sebelum menasihati anaknya setidaknya ia juga banyak cari informasi kepada kawan atau siapapun yang paham tentang pesantren, sehingga yang disampaikan pada anaknya sesuai poksi, karena jika tidak akan bisa berakibat fatal, misalnya ingin mengingatkan karena anaknya boros tapi karena poksi yang disampaikan tidak sesuai dan loncat-loncat akhirnya anak tidak betah di pesantren.
Pada lapisan kelima adalah intisari santri dan pesantren, bagaimana keduanya bisa saling berintegrasi, karena santri adalah bagian dari pondok pesantren, dan adanya pesantren juga karena adanya santri. Terakhir adalah nilai tauhid, keimanan, dan juga kontrol diri hingga dapat dikembalikan pada kompetensi orang tua yang memondokkan anak selazimnya.
Orang tua juga dapat merubah prilaku dari yang kurang baik menjadi lebih baik, dan jika sudah baik, maka konsisten dalam kebaikan itu dengan tetap berpikir yang positif bahwa pihak pondok, baik kiai, pengelola dan pendidikan di pesantren adalah ingin merubah anak menjadi saleh dan menjadi generasi yang berkualitas dan Islami.
Agus Hermanto, Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung
Terpopuler
1
KH Saifuddin Zuhri dan KH Muhtar Ghozali Terpilih Jadi Rais dan Mudir JATMAN Lampung pada Muswil 2025
2
GP Ansor Way Kanan Gelar PKD, Tingkatkan Kapasitas dan Kualitas Kader
3
Ketua PWNU Lampung: Santri Harus Siap Menanggung Pahitnya Belajar Demi Terangnya Masa Depan
4
Sosialisasi PIP dan Wawasan Kebangsaan, Fauzi Heri Ajak Masyarakat Amalkan Nilai Pancasila
5
Ketua PWNU Lampung: Thariqah Jadi Penyejuk dan Penuntun Umat dalam Menjawab Keresahan Zaman
6
Memaknai Doa Nabi Musa Minta Jodoh, KH Sujadi: Ciptakan Suasana Surgawi dalam Rumah Tangga
Terkini
Lihat Semua