Opini

Sejarah Lahirnya Teori Pembanding

Sabtu, 22 Maret 2025 | 08:55 WIB

Sejarah Lahirnya Teori Pembanding

Agus Hermanto, Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung. (Foto: Istimewa)

Melihat fenomena hukum Islam pada saat ini yang bersifat inklusif, beriringan pula dengan kemajuan pola hidup masyarakat yang kian berkembang, sehingga fiqih kerap kali memberikan solusi yang sangat dinamis, namun di balik dinamisnya hukum produk hukum Islam yang berbeda-beda sesuai ratio logis yang melatar belakanginya.


Hukum Islam akan senantiasa menjawab setiap persoalan hukum yang dihadapi, dari masa ke masa hukum Islam selalu responsif dan solutif. Dalam proses ijtihad, tentunya para mujtahid akan sangat dipengaruhi oleh metode ijtihad yang dilakukannya, sehingga kerap kali istinbath berbeda-beda sesuai pendekatan yang dilakukannya.


Teori ini digagas oleh Agus Hermanto, adalah salah satu tokoh agama Provinsi Lampung (Versi Pusaka Kementerian Agama RI), seorang cendekiawan Muslim yang memiliki kepakaran di bidang hukum Islam dan responsif terhadap isu-isu kontemporer, seperti hukum keluarga Islam dan termasuk kajian ekologi. Lahir di Lampung Barat pada tanggal 5 Agustus 1986, istri bernama Rohmi Yuhani’ah dan diakrunia tiga anak yaitu Yasmin Aliya Mushoffa, Zayyan Muhabbab Ramdha dan Abdad Tsabat Azmana.


Telah menulis ratusan jurnal baik terindeks Sinta dan Scopus, di antaranya Reconstruction of Pregnancy Marriage Legally In Indonesia, Reinterpretation of The Rights And Duties of Contemporary Husbands And Wives, Criticism of Feminist Thought on The Rights of Obligations of Husband and Wife From The Perspektive of Islamic Family Law, Constructing Household Ecology in Pandemic Season in Overview of Maqasid al-Syari'ah, dan Al-Mubadalah fi Mafhumi Fiqhi Al-Mar'ah, Al-Muasyirah bi Indonesia, selain jurnal juga telah menulis 81 buku.


Di antara karyanya adalah Problematika Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Ushul Fiqih Aplikatif, Fiqih Moderasi dan Fiqih Ekologi, mengajar di Pascasarjana UIN Raden Intan Lampung dan mengajar di Pascasarjana IAIN Metro. Dalam organisasi  sebagai pengurus di World Moslems Students Center,  MUI Provinsi Lampung, Dai Kamtibmas Polda Lampung, dan juga di PCNU Kota Bandar Lampung, Pusat Studi Al-Quran Provinsi Lampung, dan Baqomubin Provinsi Lampung.


Perbedaan pada persoalan furuiyyah sangatlah wajar, bahkan perbedaan itu adalah rahmat bagi umat Nabi Muhammad saw, meskipun demikian bahwa ijtihad dengan benar haruslah tetap dilakukan, atau memilih pendapat di antara pendapat para ulama juga harus tetap dilakukan, begitu juga pentingnya melakukan hasil ijtihad dengan menilik kembali dalam sebuah metode khusus juga penting.


Untuk itulah penulis menawarkan sebuah nalar pemikiran yang disebut nalar al-Narajil, sebuah nalar pemikiran dengan melihat lapisan demi lapisan yang ada pada buah al-Narajil. Hal ini menjadi penting agar kita senantiasa dapat menilik mana pendapat yang layak dan tidak.


Nalar ini tidak akan terukur apabila tidak adanya sebuah teori yang menganalisis pada masing-masing lapisan pada al-Narajil, untuk itu kehadiran teori pembanding dalam proses penalaran ini menjadi penting. Teori pembanding sengaja penulis tawarkan dengan ragam pendekatan yang sehingganya secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan.


Pendekatan itu adalah pendekatan teologis, filosofis, epistemologis, historis, psikologis, sosiologis, antropologis, hingga pendekatan medis. Pendekatan ini sangat urgent terutama pendekatan teologis, karena kajian hukum Islam haruslah dibarengi nilai-nilai ketuhanan. Selain itu juga pendekatan medis menjadi penting melihat adanya rukhsah (keringanan) dalam beribadah kepada Allah swt.


Teori ini bekerja sesuai dengan tahapan demi tahapan pada Nalar al-Narajil, pertama hukum Islam bersifat komprehensif dengan beberapa prinsip, seperti al-taisir, al-adlu, al-musawah, dan al-syura. Pada lapisan selanjutnya bahwa suatu putusan hukum agar tercapai hajat hukum itu sendiri, maka penting ditilik kembali pendekatan yang dilakukan dan juga teori sebagai alat untuk menganalisis tersebut.


Maka sesungguhnya dalam tahapan kedua itu ada teori internal dan eksternal. Teori internal adalah teori yang biasa ulama lakukan seperti teori dalam usul  fiqih dan pengembangannya, sedangkan teori eksternal adalah teori luar usul fiqih, sehingga hukum Islam sangat inklusif dalam proses penggalian hukumnya.


Pada tahapan selanjutnya, adalah maqasid atau tujuan hukum, bahwa hukum adalah sebuah hajat untuk mencapai kemaslahatan, sehingga harus secara benar proses pencapaiannya, seperti melihat pada sisi kebutuhan primer, sekunder dan tersier, juga melihat pada tahapan demi tahapan mada tujuan primer tersebut, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, nasab dan harta.


Kemudian perbandingan selanjutnya pada tahapan mujtahid, seorang mujtahid haruslah menguasai segala hal yang melekat padanya seperti mampu menguasai bahasa Arab, ulumul Quran, ulumul hadits, dan segala hal lain yang menjadi upaya terwujudnya hajat hukum yang membawa kemaslahatan. Terlebih juga melihat pada bentuk upaya ijtihad apakah dilakukan secara pribadi atau melibatkan para ahli lainnya yaitu ijtihad kolektif.


Tahap selanjutnya adalah sumber hukum, dalam penentuan hukum, tidaklah dibolehkan adanya kesalahan dalam memilih dalil hukum, jika kajian tekstual maka pemahaman teks dan apalagi teks secara benar harus secara jeli dilakukan dengan teliti, dan jika persoalan kontekstual, maka harus benar-benar dipahami secara pasti fenomena yang terjadi.


Pada akhirnya dalam teori ini juga memberikan batasan pada nilai keimanan, artinya bahwa hukum itu untuk orang beriman, sedangkan orang yang berijtihad haruslah orang yang beriman, sehingga hukum yang dicapai adalah kemaslahatan yang sempurna berbasiskan pada nilai tauhid dan berlaku bagi mukallaf.


Rohmi Yuhani’ah, Pengurus Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) Bandar Lampung