Syiar

Hukum Puasa Rajab Satu Bulan Penuh dalam Islam

Senin, 6 Januari 2025 | 07:06 WIB

Hukum Puasa Rajab Satu Bulan Penuh dalam Islam

Ilustrasi bulan Rajab. (Foto: NU Online)

Bulan Rajab adalah salah satu bulan dalam kalender hijriah yang termasuk dalam empat bulan suci atau asyhurul hurum bersama dengan bulan Dzulqa'dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Bulan Rajab dianggap sebagai bulan yang penuh berkah, dan umat Islam dianjurkan untuk meningkatkan ibadah dan amal saleh pada bulan ini.


Secara khusus, bulan Rajab juga memiliki beberapa peristiwa penting dalam sejarah Islam, salah satunya adalah peristiwa Isra' Mi'raj, yaitu perjalanan Nabi Muhammad saw dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa di Yerusalem dan kemudian naik ke langit (Mi'raj) untuk menerima wahyu langsung dari Allah swt.


Di beberapa negara atau komunitas Islam, bulan Rajab juga diiringi dengan tradisi tertentu, seperti berdoa, berpuasa sunnah, atau mengadakan majelis zikir untuk memuliakan bulan ini. Salah satu yang sering kita jumpai setiap rajab adalah berpuasa sunnahnya, atau sering disebut dengan puasa Rajab.


Dilansir dari NU Online, anjuran berpuasa Rajab di antaranya dirumuskan berdasarkan hadits Sahabat Abdullah bin al-Harits al-Bahili. Beliau sangat rajin berpuasa. Beliau hanya makan di malam hari, sampai badannya kurus dan lemah. Nabi sampai ‘pangling’ (tidak mengenali) al-Bahili karena perubahan drastis pada kondisi fisik tubuhnya, padahal baru satu tahun tidak berjumpa.

 

Nabi akhirnya memperikan petunjuk agar al-Bahili mengurangi frekuensi puasanya. Nabi menyarankan agar al-Bahili berpuasa pada waktu-waktu tertentu, di antaranya adalah di bulan-bulan mulia (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab).


Nabi menganjurkan kepada al-Bahili agar berpuasa di bulan-bulan mulia dilakukan dengan jeda, sehari berpuasa sehari berbuka atau tiga hari berpuasa tiga hari berbuka.


Berikut ini adalah bunyi lengkap haditsnya:


 عَنْ مُجِيبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيهَا أَوْ عَمِّهَا أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَأَتَاهُ بَعْدَ سَنَةٍ وَقَدْ تَغَيَّرَتْ حَالُهُ وَهَيْئَتُهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ الله أَمَا تَعْرِفُنِي قَالَ وَمَنْ أَنْتَ قَالَ أَنَا الْبَاهِلِيُّ الَّذِي جِئْتُكَ عَامَ الْأَوَّلِ قَالَ فَمَا غَيَّرَكَ وَقَدْ كُنْتَ حَسَنَ الْهَيْئَةِ قَالَ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا إِلَّا بِلَيْلٍ مُنْذُ فَارَقْتُكَ فَقَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ ثُمَّ قَالَ صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَ زِدْنِي فَإِنَّ بِي قُوَّةً قَالَ صُمْ يَوْمَيْنِ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلَاثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا


Artinya: Dari Mujibah al-Bahiliyyah, dari bapaknya atau pamannya, bahwa ia mendatangi Nabi. Kemudian ia kembali lagi menemui Nabi satu tahun berikutnya sedangkan kondisi tubuhnya sudah berubah (lemah/kurus). Ia berkata, ‘Ya Rasul, apakah engkau mengenaliku?’ Rasul menjawab, ‘siapakah engkau?’ Ia menjawab, ‘Aku al-Bahili yang datang kepadamu pada satu tahun yang silam.’ Nabi menjawab, ‘Apa yang membuat fisikmu berubah padahal dulu fisikmu bagus (segar).’ Ia menjawab, ‘Aku tidak makan kecuali di malam hari sejak berpisah denganmu.’ Nabi berkata, ‘Mengapa engkau menyiksa dirimu sendiri? Berpuasalah di bulan sabar (Ramadhan) dan satu hari di setiap bulannya.’ Al-Bahili berkata, ‘Mohon ditambahkan lagi ya Rasul, sesungguhnya aku masih kuat (berpuasa).’ Nabi menjawab, ‘Berpuasalah dua hari.’ Ia berkata, ‘Mohon ditambahkan lagi ya Rasul.’ Nabi menjawab, ‘Berpuasalah tiga hari.’ Ia berkata, ‘Mohon ditambahkan lagi ya Rasul.’ Nabi menjawab, ‘Berpuasalah dari bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah, berpuasalah dari bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah, berpuasalah dari bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah.’ Nabi mengatakan demikian seraya berisyarat dengan ketiga jarinya, beliau mengumpulkan kemudian melepaskannya (HR Abu Daud).


Mengomentari redaksi “Nabi mengatakan demikian seraya berisyarat dengan ketiga jarinya, beliau mengumpulkan kemudian melepaskannya”, Syekh Abu al-Thayyib Syams al-Haq al-Adhim mengatakan:


 أَيْ صُمْ مِنْهَا مَا شِئْتَ وَأَشَارَ بِالْأَصَابِعِ الثَّلَاثَةِ إِلَى أَنَّهُ لَا يَزِيْدُ عَلَى الثَّلَاثِ الْمُتَوَالِيَاتِ وَبَعْدَ الثَّلَاثِ يَتْرُكُ يَوْمًا أَوْ يَوْمَيْنِ وَالْأَقْرَبُ أَنَّ الْإِشَارَةَ لِإِفَادَةِ أَنَّهُ يَصُوْمُ ثَلَاثًا وَيَتْرُكُ ثَلَاثًا وَاللهُ أَعْلَمُ  قَالَهُ السِّنْدِيُّ


Artinya: Maksudnya, berpuasalah dari bulan-bulan mulia sekehendakmu. Nabi berisyarat dengan ketiga jarinya untuk menunjukan bahwa al-Bahili hendaknya berpuasa tidak melebihi tiga hari berturut-turut, dan setelah tiga hari, hendaknya meninggalkan puasa selama satu atau dua hari. Pemahaman yang lebih dekat adalah, isyarat tersebut untuk memberikan penjelasan bahwa hendaknya al-Bahili berpuasa selama tiga hari dan berbuka selama tiga hari. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Syekh al-Sindi. Wallahu A’lam (Syekh Abu al-Thayyib Syams al-Haq al-Azhim, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, juz 7, halaman 58).


Dalam hadits tersebut nabi memerintahkan kepada Sahabat al-Bahili agar puasa di bulan Rajab tidak dilakukan secara terus-menerus, akan tetapi diberi jeda waktu. Bisa tiga hari berpuasa, tiga hari berbuka. Atau tiga hari berpuasa berturut-turut, selanjutnya diberi jeda satu atau dua hari untuk berbuka, kemudian memulai lagi berpuasa tiga hari.


Pertanyaannya kemudian, apakah anjuran Nabi untuk membuat jeda puasa Rajab tersebut juga berlaku untuk semua orang? Atau perlu diarahkan konteksnya?


Ulama menegaskan bahwa anjuran nabi tersebut konteksnya hanya berlaku bagi orang yang tidak mampu berpuasa penuh di bulan Rajab, seperti al-Bahili.


Di dalam awal hadits ditegaskan bahwa al-Bahili memang tidak kuat berpuasa, ia memaksakan diri hingga menimbulkan dampak yang buruk untuk kesehatannya. Sehingga wajar bila nabi membatasi frekuensi puasa Rajab al-Bahili. Adapun orang yang mampu berpuasa penuh di bulan Rajab, maka sunah bagi dia untuk melakukannya.


Syekh Abdul Hamid al-Syarwani mengutip statemen Syekh Ibnu Hajar al-Haitami:


 وَفِيهِ أَيْضًا رَوَى أَبُو دَاوُد وَغَيْرُهُ «صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ» وَإِنَّمَا أَمَرَ الْمُخَاطَبَ بِالتَّرْكِ؛ لِأَنَّهُ كَانَ يَشُقُّ عَلَيْهِ إكْثَارُ الصَّوْمِ كَمَا جَاءَ التَّصْرِيحُ بِهِ فِي أَوَّلِ الْحَدِيثِ


Artinya: Dan di dalam kitab al-I’ab juga disebutkan, Abu Daud dan lainnya meriwayatkan, ‘Berpuasalah dari bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah.’ Nabi memerintahkan al-Bahili untuk meninggalkan puasa, sebab memperbanyak puasa baginya berat, sebagaimana yang disebutkan dalam awal hadits.


  أَمَّا مَنْ لَا يَشُقُّ عَلَيْهِ فَصَوْمُ جَمِيعِهَا لَهُ فَضِيلَةٌ وَمِنْ ثَمَّ قَالَ الْجُرْجَانِيُّ وَغَيْرُهُ يُنْدَبُ صَوْمُ الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ كُلِّهَا اهـ


Artinya: Adapun orang yang tidak berat berpuasa, maka berpuasa di sepanjang bulan-bulan mulia merupakan keutamaan. Karena itu, Syekh al-Jurjani dan lainnya mengatakan sunah berpuasa penuh di bulan-bulan mulia (Syekh Abdul Hamid al-Syarwani, Hasyiyah al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah, juz 3, halaman 461).


Dengan beberapa redaksi di atas, maka dapat disimpulkan berpuasa sunnah Rajab satu bulan penuh hukumnya diperbolehkan jika kondisi fisiknya kuat. Akan tetapi jika lemah, maka dianjurkan untuk diselang-seling saja. Perlu diketahui puasa Rajab hukumnya sunnah, tetapi sangat mulia, karena bulan Rajab merupakan bulan yang dimuliakan oleh Allah swt.