Syiar

Hukum Meniup dan Mengonsumsi Makanan Panas dalam Islam

Ahad, 20 Oktober 2024 | 07:02 WIB

Hukum Meniup dan Mengonsumsi Makanan Panas dalam Islam

Ilustrasi makanan. (Foto: NU Online)

Makanan dan minuman merupakan anugerah dari Allah swt, sehingga wajib disyukuri, terutama hidangan yang segar dan baru dimasak. Akan tetapi, seringkali ketika makanan dan minuman yang dihidangkan terlalu panas, dan kita akan otomatis meniupnya. 

 

Lalu bagaimana hukum meniup hidangan yang panas, serta bagaimana hukum mengonsumsinya?

 

Dilansir dari NU Online, mengutip dari sebuah hadits dan sejumlah pandangan ulama kita bisa melihat beberapa imbauan. Dalam Hadits Nabi saw yang diriwayatkan ole Abu Dawud dan At-Tirmidzi dikatakan:

 

وعن ابن عباس رضي اللّه عنهما أن النبي نهى أن يتنفس في الإناء أو ينفخ فيه

 

Artinya: Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Nabi Muhammad saw melarang pengembusan napas dan peniupan (makanan atau minuman) pada bejana (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi). 

 

Dari imbauan ini, ulama Syafi’iyah kemudian memasukkan ke dalam adab mengonsumsi makanan, salah satunya tidak mengonsumsi makanan atau minuman dalam keadaan panas. Seseorang dianjurkan mengonsumsi makanan atau minuman setelah agak dingin.

 

وَلَا يَأْكُلَهُ حَارًّا حَتَّى يَبْرُدَ

 

Artinya: Ia tidak memakannya dalam keadaan panas sampai agak dingin (Abu Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib). 

 

Dalam hemat kami, kita memang sebaiknya menghindari makanan atau minuman panas karena tentu membawa mudharat bagi kesehatan, setidaknya membuat iritasi lidah sehingga tidak dapat merasakan makanan atau minuman secara maksimal. 

 

Sebagian ulama Mazhab Hanbali menyatakan bahwa peniupan makanan atau minuman pada dasarnya dimakruh untuk mendinginkan hidangan tersebut karena dapat menghilangkan berkah. 

 

“Meniup makanan dan minuman panas agar dingin dimakruh. Di dalam Kitab Mustau’ib disebutkan: Meniup makanan, minuman, dan buku dilarang.” 

 

Al-Amidi berpendapat bahwa meniup tidak dimakruh ketika makanan itu masih panas. Di dalam Al-Inshaf disebutkan, ini pendapat yang benar, yaitu (meniup makanan) ketika di sana ada kepentingan untuk mengonsumsinya ketika itu (Manshur Al-Bahuti, Kasysyaful Qinaan Matnil Iqna, [Beirut, Alamul Kutub: 1997 M/1417 H], cetakan pertama, juz IV, halaman 153-154).

 

وَيُكْرَه (التَّنَفُّسُ فِي إنَاءَيْهِمَا) لِأَنَّهُ رُبَّمَا عَادَ إلَيْهِ مِنْ فِيهِ شَيْءٌ (وَأَكْلُهُ حَارًّا) لِأَنَّهُ لَا بَرَكَةَ فِيهِ كَمَا فِي الْخَبَرِ (إنْ لَمْ تَكُنْ حَاجَةٌ) إلَى أَكْلِهِ حَارًّا فَيُبَاحُ

 

Artinya: Meniup wadah keduanya (makanan atau minuman) dimakruh karena sering kali sesuatu (racun/karbon dioksida) di mulut kembali ke wadah. Demikian juga makruh mengonsumsinya dalam keadaan panas karena tidak mengandung keberkahan di dalamnya sebagaimana di hadits jika tidak ada hajat untuk mengonsumsinya dalam keadaan panas (Tetapi jika ada hajat), maka itu dimubah (Al-Bahuti, 1997 M/1417 H: IV/154). 

 

Demikian pendapat meniup dan mengonsumsi hidangan yang panas dari beberapa dalil di atas. Lebih baiknya ditunggu sampai suhu makanan atau minuman, berkurang sehingga dirasa agak hangat.

 

Jikalau memerlukan waktu cepat, kita dapat meniupnya, menggunakan kipas, atau merendam wadahnya untuk menurunkan suhu makanan atau minuman lebih cepat.