• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Syiar

Apakah Kita Perlu Berislam dalam Keadaan Kafir

Apakah Kita Perlu Berislam dalam Keadaan Kafir
foto ilustrasi
foto ilustrasi

Apakah Kita Perlu Berislam dalam Keadaan Kafir
Oleh: Yudi Prayoga
 

KATA kafir merupakan hal mengerikan. Bagi mayoritas manusia, kata ini menggabarkan kebencian Tuhan. Semua hal negatif, berbeda pendapat, marginal dari mayoritas, bisa memperoleh label kafir.


Namun sebelum mengetahui arti kata kafir secara khusus, mari kita melihat kata kafir secara etimologi/bahasa terlebih dahulu. Kata kāfir berasal dari bahasa Arab, dari akar kata isim fail tsulasi mujarrod dari wazan (kata) 'kafara-yakfuru-kufran', yang artinya menutup. Dan orang yang menutup (isim fail), disebut dengan 'kaafir' (kaf, alif, fa, dan ra)
 

Pada masa awal kenabian, kata kafir digunakan untuk membedakan mana yang beriman kepada Allah, dan Rasul-Nya, serta hal ini senada dengan pengertian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Karena mereka menutup diri dari kebenaran Allah yang dirisalahkan kepada nabi-Nya Muhammad SAW.


Pada zaman sebelum datangnya Agama Islam, istilah tersebut digunakan untuk para petani yang sedang menanam benih di ladang, kemudian menutup (mengubur) dengan tanah. Sehingga kalimat kāfir bisa dimplikasikan menjadi "seseorang yang bersembunyi atau menutup diri". Dengan demikian kata kafir menyiratkan arti seseorang yang bersembunyi atau menutup diri.
Kata ini berestafet terus menerus dari generasi ke generasi sesuai dengan awal dakwah Nabi SAW. Namun akhir-akhir setelah Islam berkembang, berekspansi ke penjuru negri, justru kata kafir dilabelkan kepada sesama muslim yang berbeda faham denganya.

 

Kata ini menjadi duri didalam daging umat Islam sendiri serta menjadi keruh perjalanan sejarah umat Islam di dunia. Kita sudah faham bersama bahwa kata kafir yang pertama kali digunakan untuk label sesama muslim, yakni ketika perang Siffin antara pasukan Sayyidina Ali dan Sayyidina Mua’wiyyah.  
 

Dari peristiwa itu terjadilah tahkim dari kedua belah pihak, dan pasukan yang menolak tahkim, menyebut dosa besar dan kafir terhadap semua yang menyetujui tahkim. Serta menghalalkan darah mereka untuk ditumpahkan. Padahal mereka semua adalah muslim yang perang karena berbeda faham sistim politik.
 

Umat Islam selalu dihantui dengan kata berdarah ini, yang menjadi perpecahan dalam tubuh Islam sendiri. Hingga pada abad ke-9 muncullah tokoh sufi yang mendaur ulang kata Kafir untuk dikonsumsi secara massal bagi orang-orang yang beriman kepada Allah, serta mencintai perdamaian.

 

Ia bernama Abu Abdullah Husain bin Mansur al-Hallaj atau lebih masyhur disebut Al-Hallaj. Seorang berkebangsaan Persia yang lahir di kota Thur, Baidha, sekarang masuk Iran Tenggara. Bahkan ia wafat dalam keadaan martir mengkonsumsi dan mempertahankan ungkapan-ungkapan yang sebagian muslim mengganggapnya keliru.

 

Bagi Al-Hallaj, kata kafir itu paradoks bermakna negative sekaligus positif.  Seperti yang diungkapkan didalam syairnya mistiknya:
“Oh, Tuhanku, Pembimbing orang yang bingung.Tambah kebingunganku. Jika aku kafir, tambahlah kekafiranku”
Di tempat lain dia berkata: “Aku mengafiri agama Tuhan, sedang kekafiran bagiku itu wajib. Meski bagi banyak Muslim (kekafiran) itu buruk”
 

Lewat syair ini justru al-Hallaj ingin mengungkapkan bahwa kata “kafir” yang dimaksud adalah  “satartu” (aku menutup) atau “aku menyembunyikan”. Dengan demikian, ungkapan “jika aku kafir maka tambahi kekafiranku” bermakna “jika aku menutup atau menyembunyikan keyakinanku, maka tambahi ketertutupanku. Bahwa untuk beriman dan dekat kepada Tuhan, Al-Hallaj tidak perlu menampakkan, apalagi menyombongkan kepada khalayak umum. Justru Al hallaj meminta kepada Allah agar selalu menyembunyikan keberimanan dan kedekatanya.
 

Hampir sama dengan ungkapan “Aku mengkafiri agama Tuhan” juga berarti aku menutupi agama Tuhan. Menutupi dari rasa sombong keberagama-an, rasa sombong dari rasa ingin dipuji karena beriman dan shaleh, dan menutupi dari segala yang dekat dengan Tuhan namun harus diketahui khalayak umum. (*)


Editor:

Syiar Terbaru