• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Jumat, 3 Mei 2024

Pernik

Tradisi Halal bi halal, Sejarah dan Maknanya

Tradisi Halal bi halal, Sejarah dan Maknanya
Tradisi Halal bi halal, Sejarah dan Maknanya (Foto: NU Online)
Tradisi Halal bi halal, Sejarah dan Maknanya (Foto: NU Online)

Tradisi halal bi halal tidak akan pernah terlepas dari Hari Raya Idul Fitri, dan sudah menjadi tradisi baik yang selalu dilestarikan oleh kebanyakan masyarakat Indonesia di setiap tahunnya.


Halal bi halal merupakan momentum keluarga besar, instansi, lembaga, komunitas, maupun organisasi dalam satu tempat yang saling memberi dan meminta maaf satu sama lain dengan saling bersalaman. 


Makna Halal bi halal


Halal bi halal tidak dapat diartikan secara harfiah dan satu persatu antara halal, bi, dan halal. Karena tidak akan menemukan arti yang semestinya. Secara istilah kata halal berasal dari bahasa Arab yaitu halla, yang memiliki tiga makna yakni halal al-habi (benang kusut terurai kembali), halla al-maa (air keruh diendapkan), dan halla as-syai (halal sesuatu). 


Dari ketiga makna tersebut dapat ditarik kesimpulan makna halal bi halal adalah kekusutan, kekeruhan atau kesalahan yang selama ini dapat dihalalkan kembali. Artinya, semua kesalahan melebur, hilang, dan kembali sedia kala. 


Bahkan kata halal bi halal sudah dibakukan ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang memiliki arti hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasannya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang. 


Dalam kamus Jawa-Belanda karya Pigeaud tahun 1938, halal bi halal dari dua kata kata halal behalal, yang memiliki arti salam (datang, pergi) untuk memohon maaf atas kesalahan kepada orang lebih tua atau orang lainnya setelah puasa (Lebaran, tahun baru Jawa). Dari kata halal behalal yang memiliki arti dengan salam (datang, pergi) untuk saling memaafkan di waktu Lebaran. 


Selain itu, halal bi halal juga bisa diartikan sebagai silaturahim, yang memiliki makna silah (hubungan) dan rahim/rahmah (kasih sayang). 


Asal Usul Halal bi halal

Istilah halal bi halal terdapat dalam manuskrip Babad Cirebon CS 114/ PNRI halaman 73. Dalam hal ini terdapat keterangan yang ditulis dengan huruf Arab Pegon berbunyi: 


Wong Japara sami hormat sadaya umek Desa Japara kasuled polah ing masjid kaum sami ajawa tangan sami anglampah Halal Bahalal sami rawuh amarek dateng Pangeran Karang Kampung.


Sedangkan tradisi halal bi halal sebenarnya sudah dipraktikkan sejak abad ke-18 atau 1700-an yang berakar dari “Pisowanan” di Praja Mangkunegara Surakarta. 


Pada waktu itu setelah Idul Fitri, Raja Mangkunegara I (Pengeran Sambernyawa), mengadakan pertemuan antara raja dengan punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Pada acara tersebut seluruh punggawa dan prajurit antri tertib untuk sungkem kepada raja dan permaisuri.


Istilah halal bi halal ini juga dipopulerkan oleh pedagang martabak asal India di Taman Sriwedari Solo sekitar tahun 1935-1936. 


Pedagang martabak tersebut dibantu oleh pembantunya yang mempromosikan dagangnya dengan kata-kata ‘Martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal.’ Sejak saat itu, istilah halal bi halal mulai populer di masyarakat Solo. 


Kemudian warga Solo dan sekitarnya menggunakan istilah tersebut untuk sebutan ke taman Sriwedari di Hari Raya Idul Fitri. 

 

Selanjutnya era negara Indonesia, halal bi halal dipopulerkan kembali oleh KH Abdul Wahab Hasbullah yang memberikan saran kepada Presiden Sukarno sebagai untuk membentuk acara silaturahim antar pemimpin politik. 


Hal ini terjadi pada 1948, ketika Presiden Sukarno mengundang seluruh tokoh politik untuk datang ke Istana Negara dalam rangka silaturahim yang diberi tema “Halal bi halal.” Para tokoh politik itu duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan satu sama lain. Maka sejak saat itu berbagai instansi pemerintahan mengikuti menyelenggarakan halal bi halal. 


Acara halal bi halal kemudian meluas dan diikuti seluruh masyarakat Indonesia sampai sekarang. Karena biasannya suatu tradisi yang telah diselenggarakan dan dibakukan pemerintah akan cepat menyebar ke seluruh masyarakat. 

(Yudi Prayoga)
 


Pernik Terbaru