• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Senin, 6 Mei 2024

Pernik

THR Lebaran Idul Fitri, Ini Sejarah dan Maknanya

THR Lebaran Idul Fitri, Ini Sejarah dan Maknanya
THR Lebaran Idul Fitri, Ini Sejarah dan Maknanya (Foto: NU Online)
THR Lebaran Idul Fitri, Ini Sejarah dan Maknanya (Foto: NU Online)

Pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) merupakan tradisi yang sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia pada Hari Raya Idul Fitri. THR sendiri memiliki makna yang lebih dari sekadar uang pemberian saja pada Hari Raya Idul Fitri.


Sejarah dan makna di balik pemberian THR Lebaran ini patut diketahui untuk lebih memaknai momen yang penuh berkah ini. THR merupakan kata yang tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia ketika menjelang Hari Raya Idul Fitri. Mungkin untuk anak zaman sekarang yang hidup di Indonesia, sudah mendengar kata THR sejak ia kecil. 


THR tidak serta merta ada di dunia sejak ribuan tahun. Akan tetapi, THR memiliki sejarahnya sendiri yang lahir di Indonesia dan menjadi bagian dari tradisi serta budaya di Indonesia. 


Sejarah THR lebaran Idul Fitri lahir pertama kali pada tahun 1950. Saat itu, Soekiman Wirjosandjojo, yang menjabat sebagai Perdana Menteri ke-6 Indonesia memiliki progam kerja meningkatkan kesejahteraan pamong praja, atau sekarang disebut dengan pegawai negri sipil (PNS). 


Pada awalnya, Mentri Soekiman memberikan tunjangan uang persekot (pinjaman awal) agar para pegawai dapat mendorong kesejahteraan lebih cepat. Sedangkan uang persekot akan dikembalikan lagi ke negara dalam bentuk pemotongan gaji bulanan. 


Kemudian kaum buruh protes, karena yang mendapatkan THR hanya PNS. Maka, pada tanggal 13 Februari 1952, para buruh demonstrasi mogok, menuntut meminta tunjangan dari pemerintah. Setelah berjuang dari haknya, akhirnya kaum buruh juga mendapatkan THR yang sama dengan PNS. 


Sehingga pada 1994, pemberian THR kepada kaum buruh (pegawai swasta) diatur oleh pemerintah. Saat itu Menteri Tenaga Kerja menerbitkan Peraturan Mentri Tenaga Kerja RI No 04/1994 tentang THR Keagamaan bagi pekerja di perusahaan. 


Kemudian pada 2003 peraturan disempurnakan dengan terbitnya UU No. 13 tahun 2013 tentang ketenagakerjaan, pegawai yang sudah bekerja lebih dari 3 bulan wajib mendapatkan tunjangan. 


Selanjutnya pada 2016, pemerintah kembali melakukan revisi tentang THR, bahwa selambat-lambatnya THR diberikan kepada pekerja 7 hari sebelum hari raya. 


Akan tetapi, sekarang makna THR diartikan secara meluas dalam forma yang beragam, sehingga masyarakat menganggap semua yang diberikan kepada orang-orang sebelum lebaran meskipun bukan pekerja bisa disebut juga dengan THR. 


Contoh, seseorang yang pulang kerja dari perantauan memberikan THR kepada kedua orangtuanya, saudaranya, dan lain sebagainya. Kemudian contoh lain kakak memberikan bingkisan kepada adiknya. Atau orang tua memberikan hadiah kepada anaknya yang kecil karena full puasa selama 30 hari. 


Untuk di perusahaan, atau dunia kerja, yang awalnya THR berupa tunjangan uang. Sekarang diperluas dengan pemberian berupa sembako, makanan ringan, kue lebaran, sirop, pakaian, dan lain sebagainya. 


THR sendiri secara sosial, memiliki arti kepedulian dan kasih sayang sesama manusia. Karena hubungan kebaikan yang baik dan saling terjalin secara istiqamah. 


Sehingga terkesan akan dianggap pelit jika menjelang lebaran, atasan, perusahaan atau lembaga-lembaga yang memiliki banyak tenaga kerja tidak mengeluarkan THR sebagaimana semestinya. 

(Yudi Prayoga)
 


Pernik Terbaru