• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Minggu, 28 April 2024

Pernik

Mengenal Tradisi Nembel Kitab di Kalangan Santri

Mengenal Tradisi Nembel Kitab di Kalangan Santri
Menembel kitab merupakan rutinitas santri di pesantrem (Foro: Istimewa)
Menembel kitab merupakan rutinitas santri di pesantrem (Foro: Istimewa)

Setiap pondok pesantren memiliki pengajaran yang polanya hampir sama di seluruh Indonesia yakni memberikan makna atau arti di kitab kuning (kitab berwarna kuning yang berisi ilmu agama), serta memberikan pengertian atau tafsiran yang berasal dari makna tersebut. 

 

Umumnya pesantren menggunakan metode Bandungan, yakni guru mendiktekan makna sedangkan santri menulis makna yang berasal dari lisannya guru. Setiap daerah memiliki makna yang berbeda-beda. Jika di Jawa Tengah dan Timur umumnya memaknai dengan bahasa Jawa, di Banten dan Jawa Barat menggunakan makna Sunda, di Sumatera menggunakan makna Melayu, jika di pulau Madura menggunakan makna Madura dan sebagainya. 

 

Seperti contoh lafal basmalah dan makna dengan bahasa Jawa

بسم الله الرحمن الحيم 

بسم لله:  عاويتي عاجي ايعسون كلاوان يبوت اسماني الله 

 

Bismillahi: Ngawiti ngaji ingsun kelawan nyebut asmane Allah

الرحمن: ذات كاع ولاس اسيه ايعدالم دنيا لان اخرة

 

Arrahmani: Dzat kang welas asih ingdalem dunyo lan akhirat

 

الرحيم: ذات كاع ولاس اسيه ايعدالم أخرة بلوكا

 

Arrahimi: Dzat kang welas asih ingdalem akhirat beloko

 

Sepenggal ayat tersebut merupakan contoh, dan hampir semua kitab bermakna seperti itu. Sehingga makna yang ditulis oleh santri pada kitabnya mutlak berasal dari lisan gurunya. Sedangkan makna yang dilisankan gurunya tersebut berasal dari guru-gurunya juga hingga mata rantai ke atas sampai kepada pencipta makna pegon tersebut, salah satunya di era Wali Songo. 

 

Seorang santri harus memiliki makna yang lengkap yang sesuai dengan yang didikte.  Apabila tidak lengkap, maka santri harus nembel/nambal (menambal) kitabnya yang bolong (istilah tidak ada makna dan keterangan) bisa disebabkan tidak berangkat sekolah atau ketiduran ketika memaknai, atau juga karena malas menulisnya. 

 

Tradisi nembel kitab tersebut menjadi rutinitas di kalangan pondok pesantren, karena sebuah kesalahan atau kecacatan besar jika ada seorang santri yang memiliki kitab tetapi makna dan keterangannya kosong atau tidak lengkap.

 

Salah satu kekhawatiran guru bagi seorang santri yang kitabnya banyak yang bolong, jika sudah boyong (pulang dari pesantren) dan disuruh mengajar di kampung halaman maka santri akan kesulitan karena tidak lengkapnya makna. Hal tersebut bukan hanya suatu kesalahan tetapi juga bisa menjadikan malu pada dirinya sendiri.

 

Memiliki makna yang lengkap juga berarti tetap menjaga nasab dari gurunya, karena makna tersebut sebagaimana keterangan di atas merupakan mata rantai dari seorang guru sampai kepada orang yang pertama kali memberikan makna tersebut. Jika ia memiliki makna Jawa berarti memiliki sanad guru ke Pulau Jawa bagian tengah dan timur. Sedangkan jika ia memiliki makna Sunda berarti bersanad kepada ulama-ulama yang ada di Banten dan Jawa Barat. Jika ia memiliki makna Melayu maka sanad para gurunya bersumber dari Pulau Sumatera seperti Riau dan Jambi, dan sebagainya. 

 

Menambal kitab juga menjadi rutinitas menjelang ujian koreksian kitab (khusus ujian untuk mengoreksi makna kitab) di lembaga pondok. Apakah maknanya lengkap atau kosong. Jika kosong maka ditolak dan diberikan waktu untuk menembel dengan jangka waktu, jika lengkap maka diberikan cap tam (stempel bertulisan tam) pada kitab tersebut. 

 

Ujian koreksian kitab menjadi salah satu komponen terpenting dari kenaikan kelas ke jenjang selanjutnya, selain dari ujian muhafadzah (ujian hapalan). Jika banyak kitabnya yang bolong, maka bisa dipastikan seorang santri tidak akan bisa naik kelas, meskipun ia memiliki otak yang cerdas. 

 

Hal itu karena di lingkungan pendidikan pesantren syarat untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya banyak sekali ujiannya dan beragam, tidak seperti di sekolah umum. Salah satu ujiannya yakni ujian tertulis, ujian lisan, ujian hapalan, dan ujian koreksian kitab. Kesemuanya harus lengkap, tuntas dan sempurna. Jika salah satunya tidak memenuhi kriteria maka ia tidak akan naik atau lulus. 

(Yudi Prayoga)


Pernik Terbaru