• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Senin, 6 Mei 2024

Pernik

Perbedaan Makna Kitab dan Buku di Kalangan Pesantren

Perbedaan Makna Kitab dan Buku di Kalangan Pesantren
Kitab sebagai sarana pembelajaran santri di pesantren
Kitab sebagai sarana pembelajaran santri di pesantren

Salah satu media pembelajaran yang tidak akan pernah hilang dari dunia pesantren adalah kitab. Baik kitab berwarna kuning (zaman dahulu) maupun kitab berwarna putih (cetakan sekarang), atau bahkan kitab dalam bentuk file pdf (digital). 

 

Secara bahasa kata kitab berasal dari bahasa Arab, kataba, yaktubu, kitāban, yang artinya “telah menulis”, “sedang menulis”, dan “tulisan”. 

 

Dan secara istilah makna kitab adalah tulisan wahyu pada lembaran-lembaran yang terkumpul menjadi satu bentuk buku. 

 

Di dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), kitab adalah buku atau wahyu Tuhan yang dibukukan. Sedangkan menurut  H Masan dalam buku Pendidikan Agama Islam: Akidah Akhlak Untuk Madrasah Tsanawiyah Kelas VIII (2015: 6), kitab adalah wahyu Allah yang disampaikan kepada para rasul untuk diajarkan kepada manusia sebagai petunjuk dan pedoman hidupnya.

 

Dari pengertian di atas, menunjukkan bahwa makna kitab merujuk pada kitab suci Al-Qur'an. Akan tetap hal ini berbeda pengertian ketika masuk ke dalam lingkungan pesantren.

 

Di pondok pesantren Al Qur'an disebut sebagai kitab suci, sedang penyebutan kitab pada umumnya merujuk kepada buku-buku agama Islam yang ditulis dengan tulisan Arab atau Pegon (tulisan Arab, berbahasa lokal). 

 

Seperti kitab Jurumiyyah karangan Syekh Sonhaji, Ihya Ulumuddin karangan Imam Al-Ghazali, Adabul Alim wal Muta'alim karangan KH Hasyim Asy'ari, Siir Nahwu karangan KH Abdul Basith al-Ghulani, dan lain sebagainya.  

 

Sedangkan buku-buku Islam yang bertulisan huruf Latin hanya disebut sebagai buku biasa bukan kitab. Begitupun terjemahan Latin dari kitab-kitab yang berbahasa Arab, maka akan disebut sebagai buku terjemah dari kitab ini.

 

Contoh, ada kitab Fathul Qarib yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan menggunakan hurup Latin, maka disebut dengan buku terjemah kitab Fathul Qarib, meskipun secara isi pemahaman makna di dalam kitabnya sama. 

 

Sebenarnya hal seperti ini tidak hanya dalam penulisan ilmu agama. Andaikata ada ilmu biologi, kimia, fisika, sosiologi, geografi dan sebagainya yang ditulis dengan menggunakan bahasa Arab dan dikaji di pesantren, maka bisa disebut juga dengan kitab. Dan jika berwarna kuning maka disebut dengan kitab kuning. 

 

Di Timur Tengah, semua buku pelajaran, baik Ilmu agama, sains, sosial, teknik disebut juga dengan kitab.

 

Jadi, di pesantren Indonesia ini, jika ada kitab bertuliskan Arab, maka disebut dengan kitab, dan kitab yang ditulis dengan hurup Latin disebut dengan buku saja.  

 

Budaya pendikotomian sumber ilmu tersebut sudah sangat lama, dan sudah menjadi pengelompokan kebenaran umum. Sampai sekarang masyarakat Indonesia akan mengatakan hal serupa ketika ditanya perbedaan kitab dan buku. 

 

Secara sejarah juga, penyebutan kitab lebih tua dibandingkan dengan buku. Karena kitab dibawa oleh para penyebar Islam pada abad ke-7 (awal masuk Islam) sampai abad ke-13 (Wali Songo). Sedangkan istilah buku dibawa oleh kaum penjajah (kolonial) Belanda. 

(Yudi Prayoga)


Pernik Terbaru