• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Minggu, 28 April 2024

Pernik

Moderasi Beragama

Akulturasi Budaya Empat Etnis Hidup Rukun di Kelurahan Pesawahan Telukbetung

Akulturasi Budaya Empat Etnis Hidup Rukun di Kelurahan Pesawahan Telukbetung
Warga saat di TPI Gudang Lelang, Telukbetung, Bandar Lampung. (Foto: Istimewa)
Warga saat di TPI Gudang Lelang, Telukbetung, Bandar Lampung. (Foto: Istimewa)

Di Kelurahan Pesawahan, Kecamatan Telukbetung Selatang, Bandar Lampung terkhusus di jalan Ikan Lumba-lumba terdapat empat etnis suku yang hidup berdampingan dan rukun. Keempat etnis itu adalah Palembang, Bugis, Arab, dan Tionghoa. 


Etnis atau suku Palembang di daerah ini lebih banyak yang bekerja sebagai pedagang seperti berjual hasil bumi. Sedangkan suku Bugis di daerah ini banyak menetap di Jalan Ikan Kembung atau Jalan Makassar, atau hanya bersebelahan satu gang dengan warga suku Palembang. 


Selain kedua etnis tersebut, ada juga etnis Tionghoa yang berada di daerah itu. Etnis lainnya yang ada di sini ialah Arab. Dalam kehidupan bermasyarakat keempat etnis ini selalu hidup rukun, mengedepankan toleransi antarumat beragama, dan juga gotong royong. 


Bahkan ketika salah satu etnis yang berbeda agama, seperti Tionghoa meninggal, etnis lainnya seperti Arab, Palembang, dan Bugis pun turut menghadiri serta menghibur keluarga yang ditinggalkan. 


“Keakuran keempat etnis ini juga ditunjukkan ketika ada yang meninggal, etnis lainnya ikut mengantar sampai ke pemakaman,” kata Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Pesawahan, Rauf Ali kepada NU Online Lampung, Jumat (22/12/2023).


Kaum muslim juga ikut dalam sangseng, yang dalam bahasa Cina, artinya mengantar ke makam ketika ada etnis Tionghoa meninggal dunia. Itulah bentuk kerukunan yang selalu terjaga sejak zaman Belanda di daerah ini. 


 

Masjid Tertua di Provinsi Lampung, Masjid Jami Al Anwar di Kelurahan Pesawahan, Bandar Lampung. (Foto: NUO Lampung/Dian Ramadhan)


“Akulturasi atau pertukaran budaya inilah yang terasa kental di daerah yang dijuluki juga Kampung Tua ini. Disebut Kampung Tua karena di kelurahan ini terdapat Masjid tertua di Provinsi Lampung yaitu Masjid Jami’ Al Anwar dan Vihara Thay Hin Bio yang juga merupakan Vihara tertua di Lampung,” tutur Tokoh Masyarakat setempat, M Irfandi. 


Kota Tua Telukbetung Selatan merupakan kota yang terbentuk secara alami karena aktivitas perdagangan dan jasa yang kala itu para pedagang asing dan pedagang yang berasal dari seluruh penjuru negeri ini singgah dan menetap di kawasan ini. Karena itulah kawasan ini memiliki keberagaman suku, budaya dan agama.


“Daerah Telukbetung Selatan merupakan kawasan yang tumbuh sebagai salah satu embrio terbentuknya Kota Bandar Lampung saat ini. Sebagai kota yang tumbuh di area pesisir, kawasan ini merupakan titik awal pertumbuhan kota yang dimulai dari kegiatan di tepi pantai seperti pelabuhan,” ujar Irfandi. 


Akulturasi di daerah ini juga terwujud salah satunya karena perkawinan antaretnis, seperti perkawinan antara Palembang dan Bugis, kemudian Tionghoa dan Palembang. 


“Seperti etnis Palembang dan Bugis, keduanya merupakan suku yang suka dekat dengan air, maka di daerah ini suku itu tinggal berdekatan. Dikenal juga di Sumatra Selatan ada Sungai Musi yang kental dengan suku Palembang, dan jika Suku Bugis juga terkenal kemahiran ketika melaut,” ujarnya. 


Daerah Kelurahan Pesawahan, Kecamatan Telukbetung Selatan ini merupakan pesisir dari Kota Bandar Lampung, yang sangat berdekatan dengan laut. Bahkan sekitar 1 km dari kelurahan ini terdapat tempat pelelangan ikan (TPI) Gudang Lelang, sebagai sentra penjualan ikan di Kota Bandar Lampung. 


Mencari ikan di laut menjadi salah satu keahlian dan kemahiran suku Bugis. Di TPI Gudang Lelang itulah para nelayan berjualan ikan segar yang langsung dibeli oleh warga di Kota Bandar Lampung, baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun dijual kembali di warung maupun berkeliling dijual menggunakan sepeda motor. 


Kerukunan antarumat beragama di Pesawahan ini juga terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat melalui bahasa yaitu ketika anak-anak keturunan Arab menggunakan bahasanya. 


“Seperti anak keturunan Arab bilang khamsin, yang artinya lima puluh. Maka perkataan itu juga digunakan oleh orang-orang etnis Tionghoa. Kemudian kata ane-ente yang artinya aku dan kamu, juga digunakan oleh etnis Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari,” kata pria keturunan etnis Palembang itu. 


Bahasa-bahasa itu digunakan ketika di pasar misalnya, kami mau pulang, yang jika dalam bahasa Arab disebut narja’. Hal itu juga berkebalikan, yaitu orang Arabnya juga menggunakan bahasa Cina yaitu gopek yang artinya lima ratus, kemudian cepek yaitu seratus.  


“Di Kelurahan Pesawahan ini antaretnis berbaur satu sama lain, sehingga tidak terjadinya kesenjangan soal. Bahkan dahulu ada tim sepak bola namanya Dian Qamari yang artinya bulan bintang, dan kipernya berasal dari etnis Tionghoa, namanya Taun Tin,” tutur Rauf Ali. 


Ketua LPM Pesawahan itu berpesan kepada anak-anak generasi penerus di daerah ini agar tetap rukun selalu sampai kapan pun, walaupun terjadi perbedaan etnis. “Kami ini orang-orang tua selalu mencontohkan agar hidup rukun, guyub, bertoleransi, dan gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat,” katanya. 


Ketika perayaan imlek juga, etnis Tionghoa memberikan kue tutun kepada etnis lain yang berada di sekitaran rumahnya. Lalu ketika perayaan Hari Raya Idul Fitri maupun Idul Adha kaum muslim memberikan rendang atau opor ayam kepada etnis Tionghoa. 


Hal tersebutlah yang menunjukkan bahwa perbedaan agama dan perbedaan etnis tidak menjadikan sesama warga untuk saling berjauhan, bermusuhan, dan tidak bertegur sapa. Namun, perbedaan itulah yang menyatukan dalam bersosialisasi di masyarakat. 


Keempat etnis ini sudah menetap di kawasan Telukbetung Selatan sejak abad 18, dan mereka hidup rukun satu sama lain. Adapun sejarah etnis Palembang melakukan perantauan hingga ke Lampung adalah ketika terjadi peperangan melawan penjajah yang dipimpin Sultan Mahmud Badaruddin II, masyarakat di Palembang saat itu pergi dari daerah tersebut untuk mencari tempat yang aman.


“Ada yang pergi ke Kotabumi Lampung Utara, ada yang pergi ke Telukbetung Bandar Lampung. Mereka pergi kemana-mana agar aman dari peperangan pada masa itu. Dan suku ini ketika sampai di Lampung pada masa kemerdekaan melakukan perjuangan melawan penjajahan Belanda,” ujar Rauf. 


Etnis Palembang inilah yang menjadi basis ketika perjuangan melawan penjajah saat itu. Di sini juga pernah menjadi markas Alimuddin Umar yang kelak menjadi Wali Kota Bandar Lampung pertama dan Komandan Polisi Militer (Danpom) Garuda Hitam Provinsi Lampung. Juga pernah berjuang di daerah ini ialah Alamsyah Ratu Perwiranegara yang merupakan Komandan Pleton Kesehatan, Kompi Giyugun Tanjungkarang, Lampung (1944-1945).


Kehidupan masyarakat di daerah ini terutama Tionghoa dan Bugis yang beragama Buddha beribadah ke Vihara Bodhisattva, atau disebut juga Pekung Banteng. Vihara ini juga dengan masyarakat sekitar yang berbeda agama hidup berdampingan dengan baik.


“Seperti ketika ada bantuan beras dibagi melalui Ketua RT, tidak hanya dibagi ke etnis Tionghoa saja, namun juga masyarakat yang ada di sekitar vihara. Kemudian ketika ada gotong royong memperbaiki jalan atau gang, masyarakat Tionghoa, Arab, Palembang, dan Bugis ikut bersama-sama membangunnya,” tuturnya. 


Tokoh Masyarakat setempat, Muhammad Irfandi mengatakan, kampung Palembang di sini juga banyak yang keturunan Arab. Etnis Arab di sini berasal langsung dari Negara Yaman Hadramaut, dan sudah sangat berbaur dengan etnis yang sudah ada di sini. Mereka juga menikah dengan pribumi yang ada di Indonesia. 


Harapannya kerukunan, guyub, dan toleransi ini dapat terjaga serta ditingkatkan lagi bagi generasi penerus di kampung ini, agar tidak terjadi perpecahan satu sama lain.

(Dian Ramadhan)
 


Pernik Terbaru