H Puji Raharjo
Penulis
Puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus. Lebih dari itu, puasa adalah madrasah kesabaran, tempat kita belajar bagaimana mengendalikan diri dalam berbagai situasi, termasuk situasi ketika lapang ataupun sempit. Kesabaran dalam Islam bukan hanya sekadar menahan diri dari emosi sesaat, tetapi kesanggupan untuk tetap teguh dalam kebaikan, bertahan dalam ujian, dan tetap rendah hati dalam keberlimpahan.
Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyebutkan kesabaran (ṣabr) adalah separuh dari iman. Jika iman diibaratkan sebagai tubuh, maka sabar adalah kepalanya. Tanpa sabar, iman akan runtuh, sebagaimana tubuh tanpa kepala. Puasa mengajarkan kita bahwa sabar bukan hanya soal menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan lisan dari perkataan buruk, menahan hati dari penyakit iri dan dengki, serta menahan nafsu dari dorongan yang merusak.
Allah telah menegaskan dalam Al-Qur’an:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
Artinya: Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya itu berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk (QS Al-Baqarah: 45).
Lalu, bagaimana bentuk kesabaran yang harus kita latih dalam kehidupan? Ramadhan mengajarkan kita kesabaran dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam keadaan senang maupun sulit, dalam kelemahan maupun dalam kekuatan, bahkan dalam momen-momen di mana kita memiliki peluang untuk tidak sabar.
Berikut penulis akan uraikan beberapa hal terkait sabar dengan mengaitkan sabar dalam berpuasa dengan sabar dalam implementasinya pada kehidupan yang lebih luas.
1. Sabar dalam Nikmat: Tidak Terlena dalam Kelimpahan
Menjadi sabar bukan hanya saat tertimpa musibah, tetapi juga saat dilimpahi kenikmatan. Sering kali, ketika kita mendapatkan rezeki yang banyak, kita lupa bahwa itu adalah ujian. Kesabaran dalam nikmat berarti tidak sombong, tidak lalai, dan tetap bersyukur. Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
Artinya: Setiap umat memiliki ujian, dan ujian bagi umatku adalah harta (HR Tirmidzi).
Puasa melatih kita untuk tetap rendah hati dan bersyukur dalam kenikmatan. Meskipun kita mampu makan kapan saja di luar Ramadhan, kita memilih untuk menahan diri, karena kita sadar bahwa nikmat bukan untuk dinikmati sendirian, tetapi untuk disyukuri dan dibagi.
2. Sabar dalam Kekuasaan: Tidak Menyalahgunakan Wewenang
Puasa juga melatih kesabaran dalam memegang kekuasaan dan tanggung jawab. Saat seseorang diberikan amanah, ia diuji apakah akan tetap adil atau justru tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaannya. Kesabaran dalam kekuasaan berarti tetap rendah hati, tidak sewenang-wenang, dan selalu ingat bahwa jabatan adalah titipan Allah.
Umar bin Khattab pernah berkata: “Bila engkau ingin mengetahui karakter seseorang, maka berilah ia kekuasaan.” Orang yang berkuasa tetapi tidak sabar akan mudah tergoda oleh hawa nafsu dan keinginan untuk menindas.
Puasa mengajarkan mengendalikan diri jauh lebih sulit daripada mengendalikan orang lain. Banyak orang bisa memimpin, tetapi gagal menahan amarah atau hawa nafsu. Rasulullah saw bersabda, “Orang yang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya saat marah.” (HR Bukhari dan Muslim).
Maka, sebelum menata dunia, kita harus menata hati. Puasa adalah latihan sejati untuk menundukkan ego, karena menahan diri jauh lebih berat daripada sekadar mengatur orang lain.
3. Sabar dalam Kesulitan: Tetap Teguh dalam Ujian
Kesulitan adalah ujian yang akan selalu ada dalam kehidupan. Ada saat di mana kita harus menghadapi kehilangan, kegagalan, atau penderitaan. Namun, puasa mengajarkan kita bahwa kesabaran dalam kesulitan akan membawa pertolongan Allah. Allah swt berfirman:
إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّـٰبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
Artinya: Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang diberikan pahala mereka tanpa batas (QS Az-Zumar: 10).
Kesabaran dalam kesulitan bukan berarti pasrah tanpa usaha, tetapi tetap berusaha dengan keyakinan bahwa pertolongan Allah selalu dekat. Puasa mengajarkan kita bahwa kesabaran bukan sekadar bertahan dalam cobaan, tetapi juga terus bergerak menuju perbaikan diri.
Saat menahan lapar dan haus, kita merasakan sedikit dari kesulitan hidup yang dialami banyak orang, namun tetap melaluinya dengan keimanan dan harapan. Puasa mengajarkan bahwa dalam setiap ujian, selalu ada keberkahan dan peluang untuk mendekat kepada Allah.
4. Sabar dalam Kelemahan: Tidak Menyerah pada Keadaan
Ada kalanya kita merasa tidak mampu, lelah, atau kehilangan motivasi. Puasa mengajarkan bahwa kelemahan bukan alasan untuk menyerah. Rasulullah saw dan para sahabat menghadapi berbagai ujian yang jauh lebih berat, tetapi mereka tetap bertahan dengan sabar dan tekad yang kuat.
Ali bin Abi Thalib berkata: “Sabar itu seperti kepala dan bagi tubuh. Jika kepalanya hilang, maka tubuhnya pun mati.”
Kelemahan adalah bagian dari hidup, tetapi kesabaran adalah kunci untuk terus maju meskipun langkah terasa berat. Puasa mengajarkan bahwa kelelahan, rasa lapar, dan haus bukan alasan untuk menyerah, melainkan bagian dari ujian untuk memperkuat jiwa.
Saat tubuh terasa lemah, kita belajar bahwa kekuatan sejati bukan hanya dari makanan, tetapi dari keimanan dan keteguhan hati. Puasa melatih kita untuk tetap teguh meskipun lemah, tetap berusaha meskipun sulit, karena kemenangan sejati adalah bertahan dengan kesabaran.
5. Sabar dalam Menahan Diri dari Ketidaksabaran
Ironisnya, ada momen di mana kita diuji dengan kesempatan untuk tidak sabar. Saat seseorang memancing emosi kita, saat kita memiliki peluang untuk membalas dendam, atau saat kita tergoda untuk mengambil jalan pintas yang haram, di situlah puasa mengajarkan arti sabar yang sesungguhnya. Rasulullah saw bersabda:
إِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَسْخَبْ، فَإِنِ امْرُؤٌ شَاتَمَهُ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ
Artinya: Jika salah seorang di antara kalian sedang berpuasa, maka janganlah berkata kotor dan jangan berbuat gaduh. Jika seseorang mencacinya atau mengajaknya bertengkar, hendaklah ia berkata: ‘Aku sedang berpuasa’. (HR Bukhari dan Muslim).
Sabar bukan hanya menahan diri dari yang haram, tetapi juga menahan diri dari membalas keburukan dengan keburukan. Puasa mengajarkan kita untuk tidak terpancing emosi, bahkan ketika ada yang menyakiti atau memancing amarah.
Ini adalah pelajaran bahwa kesabaran sejati bukan sekadar menahan lapar, tetapi juga menahan diri dari reaksi yang dapat merusak nilai ibadah kita. Memaafkan lebih mulia daripada membalas, dan menahan amarah lebih kuat daripada melampiaskannya.
Ramadhan adalah madrasah kehidupan. Ia bukan hanya mengajarkan kita untuk sabar dalam menahan lapar dan haus, tetapi juga sabar dalam menerima nikmat, sabar dalam menghadapi ujian, sabar dalam memegang kekuasaan, sabar dalam kelemahan, dan sabar dalam menahan diri dari ketidaksabaran.
Ibnul Qayyim pernah berkata: “Sabar itu ada tiga: sabar dalam ketaatan, sabar dalam menjauhi maksiat, dan sabar dalam menerima takdir Allah.” Maka, Ramadhan ini bukan hanya tentang menjalankan puasa, tetapi juga melatih diri untuk menjadi pribadi yang lebih sabar dalam segala aspek kehidupan.
Karena pada akhirnya, orang yang paling beruntung bukanlah yang sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi mereka yang keluar dari Ramadhan dengan hati yang lebih sabar, jiwa yang lebih kuat, dan iman yang lebih kokoh. Semoga Ramadhan ini menjadikan kita pribadi yang lebih sabar, lebih bijak, dan lebih dekat kepada Allah. Aamiin.
H Puji Raharjo Soekarno, Ketua Tanfidziyah PWNU Lampung
Terpopuler
1
Keutamaan Hari Tasyrik dan Amalan yang Dapat Dilakukan
2
Resmi Dilantik, Berikut Susunan Kepengurusan PW GP Ansor Lampung Masa Khidmah 2024-2028
3
GP Ansor Lampung Gelar Pelantikan Pengurus 2024-2028 di UIN Raden Intan, Tandai Kebangkitan Baru
4
Bolehkah Menerima Kurban dari Non-Muslim?
5
Saat Kang Jalal Pringsewu Robohkan Sapi Presiden Prabowo
6
PW GP Ansor Lampung Lantik LP3H, Komitmen Kuat Dampingi Sertifikasi Halal UMKM
Terkini
Lihat Semua