Syiar

Pentingnya Mengonsumsi Makanan Halal, Ini 5 Keutamaannya

Kamis, 24 Oktober 2024 | 10:01 WIB

Pentingnya Mengonsumsi Makanan Halal, Ini 5 Keutamaannya

Ilustrasi makanan halal. (Foto: NU Online)

Dalam kehidupan sehari-hari, kita dianjurkan untuk selalu mengonsumsi makanan yang halal dan sehat. Makanan yang halal pada dasarnya adalah makanan yang didapat dan diolah dengan cara yang benar menurut agama.


Makanan yang syubhat apalagi yang tidak halal akan berpengaruh pada kesehatan jasmani dan rohani kita, baik di dunia maupun akhirat. Mengonsumsi makanan yang terjamin halal adalah perintah syariat Islam. 


Terkait makanan halal ini, berikut firman Allah swt dalam Al-Qur’an:


يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ


Artinya: Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu (QS Al-Baqarah: 168). 


Kriteria halal yang dimaksud di sini mencakup dalam dua kategori. Yaitu halal secara dzatiyah atau dari aspek wujud fisiknya, dan halal dari aspek asal muasalnya. Makanan yang secara dzatiyah halal, namun didapatkan dengan cara yang haram, seperti dengan cara mencuri misalnya, maka tidak akan mendapatkan lima keutamaan dari mengonsumsi makanan halal.


Berikut keutamaan mengonsumsi makanan halal, dilansir dari NU Online.

 

Pertama, menjadikan lebih bersemangat dalam ibadah.

Makanan sangat mempengaruhi naik-turunnya semangat orang dalam menjalankan ibadah. Jika ia terbiasa mengonsumsi makanan yang haram, maka jiwa dan raganya secara otomatis akan malas beribadah, bahkan menjadi berani meninggalkan kewajiban. 


Sebaliknya, jika terbiasa mengonsumsi makanan halal, maka ia akan merasa ringan dan penuh semangat melaksanakan ibadah dan segala kewajiban syariat. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh seorang sufi terkemuka, Sahl At-Tustari:


مَنْ أَكَلَ الْحَرَامَ عَصَتْ جَوَارِحُهُ، شَاءَ أَمْ أَبَى، عَلِمَ أَوْ لَمْ يَعْلَمْ. وَمَنْ كَانَتْ طَعْمَتُهُ حَلَالًا أَطَاعَتْهُ جَوَارِحُهُ وَوُفِّقَتْ لِلْخَيْرَاتِ 


Artinya: Barangsiapa yang mengonsumsi makanan haram, maka anggota tubuhnya akan tergerak melaksanakan kemaksiatan, baik ia berkenan ataupun tidak, baik ia mengetahui ataupun tidak; dan barangsiapa yang makanannya halal, maka anggota tubuhnya akan tergerak untuk melaksanakan ketaatan, dan akan diberi pertolongan untuk melakukan kebaikan (Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûmiddîn [Beirut, Dârul Fikr], halaman 104). 


Kedua, menjadi pendorong terkabulnya doa.

Jika ingin doa-doa yang kita panjatkan terkabul, kunci utamanya adalah mengisi perut dengan makanan dan minuman yang jelas kehalalannya. Ini berdasarkan salah satu hadits di mana Sahabat Sa’d bin Abi Waqash meminta kepada Rasulullah saw agar doa-doa yang dipanjatkannya dapat terkabul. Kemudian Rasulullah saw menjawabnya:


يَا سَعْدُ، أَطِبْ مَطْعَمَكَ تَكُنْ مُسْتَجَابَ الدَّعْوَةِ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، إِنَّ الْعَبْدَ لَيَقْذِفُ اللُّقْمَةَ الْحَرَامَ فِي جَوْفِهِ مَا يُتَقَبَّلُ مِنْهُ عَمَلَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا 


Artinya: Wahai Sa‘d, perbaikilah makananmu, niscaya doamu mustajab (dikabulkan). Demi Dzat yang menggenggam jiwa Muhammad, sesungguhnya seorang hamba yang melemparkan satu suap makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak diterima amalnya selama 40 hari (HR At-Thabrani). 


Ketiga, menjadi sebab diberi keturunan saleh salehah.

Berkaitan dengan hal ini Wali Qutbul Ghauts, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, dalam kitabnya al-Ghunyah menyatakan: 


إذَا ظَهَرَتْ أَمَارَاتُ حَبْلِ الْمَرْأَةِ فَلْيُصَفِّ غِذَاءَهَا مِنَ الْحَرَامِ وَالشُّبُهَاتِ لِيُخْلَقَ الوَلَدُ عَلَى أَسَاسٍ لَا يَكُوْنُ لِلشَّيْطَانِ عَلَيْهِ سَبِيْلٌ. وَالْأَوْلَى: أَنْ يَكُوْنَ مِنْ حِيْنِ الزِّفَافِ وَيَدُوْمُ عَلَى ذَلِكَ لِيَخْلُصَ هُوَ وَأَهْلُهُ وَوَلَدُهُ مِنَ الشَّيْطَانِ فِى الدُّنْيَا وَمِنَ النَّارِ فِى الْعُقْبَى، وَمَعَ ذَلِكَ يَخْرُجُ الوَلَدُ صَالِحًا بَارًّا بِأَبَوَيْهِ طَائِعًا لِرَبِّهِ. كُلُّ ذَلِكَ بِبَرَكَةِ تَصْفِيَةِ الْغِذَاءِ 


Artinya: Tatkala tampak tanda-tanda kehamilan wanita, hendaknya suami menjaga makanannya dari yang haram dan yang syubhat agar anaknnya dapat terbentuk atas fondasi di mana setan tidak dapat menjangkaunya. Alangkah baiknya jika kebiasaan menghindar dari makanan haram dan syubhat dimulai saat prosesi pernikahan dan terus berlangsung sampai kelahiran anak, agar suami itu, istri dan anak-anaknya nanti selamat dari godaan setan di dunia dan selamat dari neraka di akhirat kelak. Dengan melakukan hal tersebut, anak akan lahir sebagai anak yang salih, berbakti pada kedua orang tua dan taat kepada Tuhannya. Semua itu karena barokah menjaga makanan (dari yang haram dan syubhat) (Abdul Qadir al-Jilani, al-Ghunyah, Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah: 1997).


Keempat, menjernihkan hati.

Mengonsumsi makanan halal juga berfaedah menjernihkan hati. Kejernihan hati dapat melebur segala penyakit hati serta dapat memunculkan berbagai jawaban atas segala kegundahan yang sering dialami. Dalam hadits dijelaskan:


مَنْ أَكَلَ الْحَلَالَ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً، نَوَّرَ اللهُ قَلْبَهُ وَأَجْرَى يَنَابِيْعَ الْحِكْمَةِ مِنْ قَلْبِهِ عَلَى لِسَانِهِ 


Artinya: Barangsiapa yang memakan makanan halal selama 40 hari, maka Allah akan menerangkan hatinya dan akan mengalirkan sumber-sumber ilmu hikmah dari hatinya pada lisannya (HR Abu Nu’aim).


Kelima, sebagai obat dari beragam penyakit.

Selain faedah yang bersifat bathiniyah, mengonsumsi makanan halal juga membawa faedah yang bersifat lahiriah dan dapat dirasakan oleh tubuh secara langsung, yakni sebagai obat dari beragam penyakit. Salah satu sufi golongan tabi’in, Yunus bin Ubaid berkata:


لَوْ أَنَّا نَجِدُ دِرْهَمًا مِنْ حَلَالٍ لَكُنَّا نَشْتَرِيْ بِهِ قُمْحًا وَنَطْحَنُهُ وَنَحُوْزُهُ عِنْدَنَا. فَكُلُّ مَنْ عَجِزَ الأَطِبَاءُ عَنْ مُدَاوَاتِهِ دَاوَيْنَاهُ بِهِ فَخَلَصَ مِنْ مَرَضِهِ لِوَقْتِهِ


Artinya: Kalau saja kami memiliki uang satu dirham dari yang halal, tentu akan kami belikan gandum yang akan kami tumbuk dan kami sajikan untuk kami. Setiap orang sakit yang dokter tidak mampu mengobatinya, maka kami obati dengan gandum yang kami dapatkan dari uang halal, lalu ia pun sembuh dari penyakitnya saat itu juga (Abdul Wahab as-Sya’rani, Tanbîhul Mughtarrîn, Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah: 2002).


Perkataan Yunus bin Ubaid di atas oleh Habib Zain bin Smith dikategorikan sebagai salah satu contoh nyata mengobati penyakit dengan mengonsumsi makanan halal. Faedah mengobati berbagai macam penyakit pun tidak terbatas pada gandum saja sebagaimana dalam contoh, tapi juga berlaku untuk semua makanan halal secara umum. Khususnya ketika diniatkan untuk berobat atas penyakit yang dialami oleh seseorang.  


Demikianlah lima keutamaan pentingnya mengonsumsi makanan halal yang perlu kita pahami dan terapkan. Semoga makanan yang kita dan keluarga konsumsi selalu terjaga kehalalannya, baik dari aspek dzatiyah maupun dari cara mendapatkannya, agar mendapatkan keutamaan dan membawa kebaikan dunia dan akhirat.