Syiar

Hukum Memakan Ulat yang Terdapat di Dalam Buah

Jumat, 30 Agustus 2024 | 17:29 WIB

Hukum Memakan Ulat yang Terdapat di Dalam Buah

Ilustrasi buah buahan (Foto: NU Online)

Buah-buahan merupakan makanan yang kaya akan serat dan bergizi, sehingga banyak manusia yang menyukai makanan tersebut. Akan tetapi, seringkali ketika kita makan buah, kita juga menelan ulat yang ada di dalam buah tersebut. 


Warna yang relatif sama dengan warna buah, serta ukurannya yang kecil menjadikan kita kurang teliti dalam mengkonsumsinya. Bagaimana Islam menanggapi kasus tersebut, apakah memakan ulat yang terdapat dalam buah dihalalkan atau diharamkan? Apakah najis jika kita memakan ulat yang sudah mati di dalam buah tersebut? 


Dalam hal ini, kita bisa melihat dari hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:


عنْ أنَسِ بنِ مَالِكِ قالَ: أُتِيَ النّبيّ صلى الله عليه وسلم بِتَمْرِ عَتِيقٍ فَجَعَلَ يُفَتّشُهُ يُخْرِجُ السّوسَ مِنْهُ


Artinya: Diriwayatkan dari Sahabat Anas bin Malik, ia berkata bahwa Nabi Muhammad saw diberi kurma yang sudah usang. Lalu beliau meneliti kurma itu dan mengeluarkan ulat dari kurma tersebut (HR Abu Dawud). 


Imam Abu Thayyib Muhammad Al-Abadi dalam mensyarahi hadits tersebut menjelaskan bahwa salah satu makna yang terkandung dalam hadits tersebut adalah kemakruhan mengonsumsi makanan yang diduga kuat terdapat ulat di dalamnya tanpa meneliti dan menghilangkan ulat tersebut dari makanan. 


Makna lain yang terkandung dalam hadits di atas adalah makanan tetap dihukumi suci meski terdapat ulat di dalamnya, sehingga hukum mengonsumsi makanan yang ada ulatnya pun masuk dalam kategori halal. Berikut penjelasan beliau dalam kitab ‘Aun al-Ma’bud:


فِيْهِ كَرَاهَةُ أَكْلِ مَا يُظَنُّ فِيْهِ الدُّوْدُ بِلَا تَفْتِيْشٍ , قَالَهُ فِي فَتْحِ الْوَدُوْدِ وَفِيْهِ أَنَّ الطَّعَامَ لَا يَنْجُسُ بِوُقُوْعِ الدُّوْدِ فِيْهِ وَلَا يَحْرُمُ أَكْلُهُ  


Artinya: Dalam hadits di atas terkandung makna kemakruhan mengonsumsi makanan yang diduga kuat terdapat ulat di dalamnya dengan tanpa adanya penelitian terlebih dahulu, hal ini disampaikan Abdullah bin Muhammad at-Thayyar dalam kitab Fath al-Wadud. Dalam hadits ini pula terkandung pemahaman bahwa makanan tidak menjadi najis sebab adanya ulat di dalamnya serta tidak haram mengonsumsi makanan tersebut (Abu Thayyib Muhammad Al-Abadi, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, [Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah: 1995 M], juz II, halaman 262). 


Kehalalan mengonsumsi makanan yang terdapat ulatnya ini bersifat mutlak. Dalam arti, baik ulat yang hinggap pada buah-buahan dalam keadaan hidup ataupun sudah menjadi bangkai, dengan syarat ulat masih menyatu dengan buah-buahan (tidak terpisah). Kemutlakan ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fathul Muin:


وَحَلَّ أَكْلُ دُوْدِ نَحْوِ الْفَاكِهَةِ حَيًّا كَانَ أَوْ مَيِّتًا بِشَرْطِ أَنْ لَا يَنْفَرِدَ عَنْهُ  


Artinya: Halal mengonsumsi ulat yang ada pada buah-buahan, baik ulatnya dalam keadaan hidup ataupun telah menjadi bangkai, dengan syarat ulat tidak terpisah secara tersendiri dengan buah-buahan (Syekh Zainuddin al-Maliabari, Fathul Mu’in, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 354). 


Alasan ulat yang sudah berupa bangkai tidak menajiskan makanan dikarenakan menghindari hal semacam ini dipandang sebagai hal yang sulit, sehingga status najisnya bangkai ulat menjadi berstatus najis yang di-makfu (ditolelir). 


Sedangkan alasan kehalalan mengonsumsi ulat yang ada pada buah-buahan serta makanan lainnya, dikarenakan sulitnya membedakan antara ulat dengan makanan yang dihinggapinya. Penjelasan ini sebagaimana disebutkan dalam kitab I’anah at-Thalibin berikut:


وَيَحِلُّ أَكْلُ دُوْدِ مَأْكُوْلٍ مَعَهُ وَلَا يَجِبُ غَسْلُ نَحْوِ الْفَمِّ مِنْهُ (قَوْلُهُ وَيَحِلُّ أَكْلُ دُوْدِ مَأْكُوْلٍ) أَيْ كَدُوْدِ التِّفَاحِ وَسَائِرِ الْفَوَاكِهِ وَدُوْدِ الْخَلِّ فَمَيْتَتُهُ وَإِنْ كَانَتْ نَجَسَةً لَكِنَّهَا لَا تُنَجِّسُ مَا ذُكِرَ لِعُسْرِ الْإِحْتِرَازِ عَنْهُ. وَحَلَّ أَكْلُهُ لِعُسْرِ تَمْيِيْزِهِ 


Artinya: Halal mengonsumsi ulat dari makanan yang halal dimakan, ketika dimakan secara bersamaan, dan tidak wajib membasuh mulut atas bekas termakannya ulat tersebut. Ulat dari makanan yang halal dimakan misalnya seperti ulat yang terdapat pada buah apel dan aneka buah-buahan lainnya, serta ulat yang terdapat pada cuka’, maka bangkai ulat yang ada pada makanan tersebut, meskipun dihukumi najis (yang di-makfu), tetapi tidak dapat menajiskan makanan-makanan tersebut, sebab sulitnya menjaga dari ulat ini. Sedangkan kehalalan ikut mengonsumsi ulat karena sulitnya membedakan antara ulat dan makanan yang dihinggapinya (Syekh Abu Bakr Muhammad Syatha, I’anah at-Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], juz I, halaman 90).


Maka dari itu, hukum mengkonsumsi ulat yang terdapat dalam buah, karena ketidaktahuan atau sangat sulitnya untuk dilihat dihukumi boleh dan halal. Namun, jika ulatnya sudah mati (menjadi bangkai) maka dihukumi najis yang dimakfu (dimaafkan).