• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Selasa, 19 Maret 2024

Seni Budaya

Cerpen: Pak Serdam

Cerpen: Pak Serdam
Ilustrasi kehidupan
Ilustrasi kehidupan

Cerpen Rizki Andika

 

Siti diam di teras rumah memandang laki-laki buta yang duduk bersebelahan dengannya. Laki-laki tua itu terus meniup serdam walau bunyinya tak enak didengar. Nada sumbang baginya irama menyenangkan. 

 

Sementara di depan rumah iring-iringan peserta haul Syekh Abdul Qadir Al-Jailani terus berdatangan. Dari dalam pondok Roudlotussholihin orang-orang telah berzikir sejak pagi hari. Bahkan sebelum haul setiap malam selama seminggu warga menggelar pengajian bersama. 

 

Laki-laki buta ini tetap saja bermain serdam. Setiap kali telinganya mendengar orang berzikir ia pasti meniup serdam. Siti tahu apa alasannya. Kalau orang lain bertanya, Siti tersenyum. Siti tak mau berbuat banyak.

 

Laki-laki buta itu menemukan Siti tengah menangis di sawah. Siti ingat laki-laki buta itu membopongnya melewati hujan di pematang sawah dengan tongkat.

 

Selama belasan tahun Siti diasuh laki-laki buta. Selama belasan tahun itu pula Siti tak pernah mau membantu ayah angkatnya mengurus ladang. Bagi Siti ladang adalah tempat ia dibuang dan ia tak ingin kembali.

 

Para pedagang kaki lima mulai berdatangan memenuhi jalan. Rombongan santri entah dari mana memarkir sepeda motornya di halaman rumah Siti. Ayah angkatnya tersenyum mendengar suara motor berhenti. 

 

Sudah sejak lama halaman rumahnya selalu dijadikan tempat parkir tambahan bagi peserta haul. Dari tahun ke tahun rombongan peserta haul selalu bertambah.

 

Kalau di pesantren Roudlotussholihin tak ada lagi tempat istirahat maka pintu rumah warga terbuka sepanjang hari. Termasuk rumah Siti dan ayah angkatnya.

 

Bahkan beberapa orang memilih menginap di rumah Siti karena mengenal ayahnya. Kadang mereka datang membawa anak dan istrinya, buah-buahan, tak jarang juga datang dengan memberikan sejumlah uang.

 

Orang-orang di Purwosari atau siapapun yang mengenal ayah Siti, biasanya memanggilnya dengan nama Pak Serdam. Kebiasaannya memainkan serdam di sela-sela zikir orang lainlah yang membuat ia dipanggil Pak Serdam.

 

Tak ada yang keberatan dengan bunyi serdam ayah angkat Siti. Mereka seperti sudah biasa mendengar nada sumbang. 

 

Beberapa orang percaya kalau itu bukan serdam biasa. Kalau kurang beruntung siapapun yang mendengar serdam itu tidak sumbang cepat atau lambat akan mendapat hal buruk.

 

Siti sering kedatangan tamu yang katanya mendengar serdam ayahnya tidak sumbang. Mereka meminta pertolongan Siti agar membujuk ayahnya berdoa untuk mereka. Sekali pun Pak Serdam berdoa untuk mereka, tetap saja keburukan tak bisa ditolak. 

 

Biasanya mereka yang mendengar serdam itu tidak sumbang selalu merubah sikap. Mereka bertegur sapa kepada siapa pun, beribadah di masjid, sedekah pada tetangga yang membutuhkan, mengaji bersama di pesantren, bahkan mengenakan kopiah dan busana muslim.

 

Pak Serdam sering merasa bersalah karena bunyi serdamnya membuat seseorang depresi dan berujung bunuh diri. Siti sering meminta ayahnya untuk membuang serdam itu dari kehidupannya. Tapi Pak Serdam tak mau melakukannya karena serdam itu bukan miliknya. 

 

Pak Serdam pernah bercerita kepada Siti, ia mendapat serdam itu dari seseorang setelah mengikuti haul Syekh Abdul Qadir Al-Jailani saat ia masih muda. Sebelum ayah angkatnya buta, tiga bulan sebelum haul, saat orang-orang sedang mempersiapkan haul.  

 

Sore hari setelah salat ashar di masjid Pak Serdam mengantar makanan untuk orang tuanya di ladang. Di jalan Pak Serdam menemukan mangga milik orang lain di tanah. Mangga itu ia bawa sampai persimpangan jalan.

 

Tidak ada satu pun rumah yang memiliki pohon mangga. Pak Serdam bertanya kepada orang-orang di jalan tapi tak ada yang tahu. Akhirnya Pak Serdam berdoa agar pemilik mangga itu ikhlas karena ia memakannya. 

 

Di ladang tempat ayah dan ibunya menanam padi, ayah Pak Serdam nampak kesal. Ia terus melemparkan batu ke sembarang arah.

 

Ibunya berkata itu karena ayahnya kehilangan mangga pemberian dari seseorang yang tak ia kenali di jalan. Bahkan ayahnya bersumpah siapapun yang  memakan mangga miliknya kelak Tuhan membutakan matanya. 

 

Mendengar itu Pak Serdam terdiam. Hatinya berguncang karena takut pada sumpah yang telah diucapkan ayahnya sendiri. Pak Serdam mengakui kesalahannya di dalam hati tapi ia tak mau berkata jujur. 

 

Pak Serdam berikan makanan yang telah disiapkan untuk ayah dan ibunya. Tak lama ia pergi meninggalkan ayah dan ibunya karena ingin istirahat di rumah. 

 

Di sepanjang jalan pulang perasaannya jadi tak menentu. Di kamarnya ia melamun sampai tertidur.

 

Pak Serdam bermimpi menjadi Idrus dalam cerita yang dikisahkan KH Bustamil Karim di pondok Roudlotussholihin pada khutbah Jumat.

 

Kisah Idrus yang menyusuri sungai. Idrus menemukan buah delima terapung di sungai lalu memakannya. Saat buah delima tinggal setengah barulah Idrus terpikirkan apakah yang telah ia makan halal atau tidak. 

 

Saat Idrus telah sampai di depan rumah yang memiliki pohon delima di dekat sungai. Seseorang menepuknya dari belakang, Idrus melihat laki-laki itu berwajah seperti ayahnya.

 

Pak Serdam terkejut sampai terbangun lalu pandangan matanya menjadi gelap.P ak Serdam terdiam, berkali-kali mengedipkan matanya tapi tak ada yang berubah dari pandangannya. Ia menangis sampai orang tuanya pulang. 

 

Ayahnya terkejut sampai mendapat serangan jantung karena tak menyangka sumpahnya membuat anaknya buta. Tak lama setelah serangan itu ayahnya meninggal dunia.

 

Beberapa minggu kemudian ibunya terpeleset di kamar mandi. Kepala ibunya terkena bak mandi dan kehilangan banyak darah. 

 

Sempat dirawat oleh saudaranya tapi penyakit komplikasinya membuat ibunya tak bisa bertahan lama. Ibunya meninggal sebulan setelah suaminya dikuburkan.

 

Selama beberapa hari Pak Serdam tak mau makan dan meminta para saudaranya untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Ia ingin mengurusi hidupnya sendiri walau dengan keadaan tak bisa melihat. 

 

Pada awalnya saudara Pak Serdam menolak, namun melihat sikapnya yang menjadi keras kepala, mereka mengikuti keinginan Pak Serdam. Dari hari ke hari Pak Serdam belajar berjalan di rumahnya. Mengenali tiap-tiap ruangan dengan bantuan tongkat. 

 

Berkali-kali ia menangis sampai tetangga datang menemuninya. Orang-orang di pondok Roudlotussholihin itulah yang sering membantu segala kebutuhan Pak Serdam. 

 

Sampai ia merasa cukup dan bisa menjalani kehidupannya sendiri. Ia meminta para tetangganya untuk tidak perlu repot-repot mengurusi hidupnya. 

 

Pak Serdam dengan para santri kerja sama untuk mengurusi ladang milik orang tuanya. Menggarap sawah bersama-sama. Sampai akhirnya Pak Serdam merasa tidak terbebani dengan keadaan matanya.

 

Para santri itu mengajaknya untuk mengikuti haul Syekh Abdul Qadir Al-Jailani di pondok. Pak Serdam merasa senang karena para santri menganggapnya sama dengan yang lainnya. 

 

Esok hari ia sudah duduk berpakaian rapi menanti para santri yang berjanji akan menjemput agar bisa duduk bersama saat haul. Pak Serdam terus mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan karena bisa berada di antara orang-orang berzikir.

 

Ia menangis dan mengucapkan terima kasih kepada para santri yang memberikannya banyak pelajaran untuk memaknai hidup.

 

Setelah berzikir, seseorang bercerita tentang kisah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dengan pengeras suara.  Cerita Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dihentikan Nabi Khidir di pintu masuk Bagdad tahun 1095 M saat ingin belajar.

 

Orang-orang terlihat sungguh-sungguh mendengarkan cerita yang dikisahkan Ustaz Lukman Harun. Ribuan kepala memandang Ustaz Lukman dan Pak Serdam memerhatikan penuh penghayatan.

 

Nabi Khidir berkata kalau ia tidak punya perintah dari Tuhan untuk mengizinkan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani masuk ke Bagdad selama tujuh tahun. Maka tujuh tahun Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menetap di tepi sungai Tigris. Bertahan hidup dengan memakan dedaunan dan sayuran yang bisa ia makan.

 

Pada suatu malam saat Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tertidur pulas tiba-tiba ia terbangun. Ketika itu ia mendengar seseorang berkata kepadanya untuk segera masuk ke Bagdad. Maka keesokan harinya ia pergi ke Bagdad.

 

“Masya Allah, ” kata orang-orang. 

 

Di Bagdad ia berjumpa dengan para Syekh, tokoh-tokoh sufi, dan para ulama besar. Diantaranya Syekh Yusuf al-Hamadani. Dari dialah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mendapat ilmu tentang tasawuf. 

 

Syekh Yusuf al-Hamadani sendiri telah menyaksikan bahwa Syekh Abdul Qadir Al-Jailani adalah seorang yang istimewa dan kelak akan menjadi seorang yang termuka.

 

Nabi Khidir kembali mendatangi Syekh Abdul Qadir Al-Jailani lalu memberi isyarat kepadanya untuk duduk di atas puing-puing reruntuhan kota Madain, Persia. 

 

“Duduklah kamu di tempat ini dan janganlah kamu beranjak sedikitpun hingga aku datang kembali kemari,” kata Nabi Khidir yang diucap ulang ustaz Lukman.

 

Maka Syekh Abdul Qadir Al-Jailani duduk di tempat itu sampai 3 tahun. Pada tahun pertama Nabi Khidir datang menjenguknya dan berkata," Teruskan saja tinggal di tempat ini sampai aku datang lagi menjengukmu ke sini.”

 

Pada tahun pertama Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tidak makan, kecuali rerumputan saja yang dimakan dan tidak pernah minum walaupun hanya seteguk. Pada tahun kedua, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tidak makan tetapi hanya minum air saja selama satu tahun.

 

Pada tahun ketiga, makan minum dan tidur pun mampu ditahan. Pada suatu malam, udara sangat dingin, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mencoba memejamkan mata di atas reruntuhan istana Kaisar Persia di kota itu juga.

 

Anehnya pada malam itu ia bermimpi keluar mani sebanyak empat puluh kali dan setiap kali bermimpi ia segera mandi wajib. Maka pada malam itu juga ia mandi junnub sebanyak empat puluh kali agar tetap dalam keadaan suci. 

 

Setelah mandi yang terakhir, dia segera bangun dan berdiri melakukan ibadah supaya tidak tertidur lagi dan agar tidak bermimpi lagi.

 

“Allahu akbar,” kata Ustaz Lukman lalu diikuti peserta haul.

 

Penggalan kisah ketaatan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani pada perintah-perintah Tuhan membuat Pak Serdam terdiam. Pak Serdam kembali merenungi apa yang terjadi di masa lalu saat ia masih memiliki penglihatannya. Tak lama haul ditutup dengan ceramah dari KH Bustamil Karim.

 

Para peserta haul mulai meninggalkan pondok Roudlotussholihin. Termasuk Pak Serdam dan para santri yang mengantarnya pulang. Tiba-tiba seseorang menggenggam tangan Pak Serdam dan memberikan serdam. 

 

Orang itu meminta Pak Serdam menjaga serdam itu, ia berkata akan kembali saat haul Syekh Abdul Qadir Al-Jailani kembali digelar. Pak Serdam tertegun mendengar ucapan orang itu. 

 

Ia terima serdam itu lalu pulang ke rumah. Beberapa orang yang mengetahui kisah serdam itu mengatakan bahwa Pak Serdam bertemu Nabi Khidir.

 

Itulah alasan mengapa banyak orang yang memilih menginap di rumah Siti dan ayahnya. Orang-orang ingin mendengar cerita tentang serdam itu langsung dari Pak Serdam.

 

Tapi sesungguhnya Pak Serdam tidak menganggap bahwa ia bertemu Nabi Khidir. Ia hanya berusaha sebisa dirinya menjalankan amanat dari seseorang seperti pada kisah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.

 

Ayah angkat Siti sering berkata bahwa kematian dan suara serdam yang indah tak ada kaitannya. Pak Serdam memainkan serdam karena tidak bisa mengingat kapan haul akan kembali digelar. Ia hanya berharap pemilik serdamnya datang.

 

Tak lama setelah orang-orang memarkir sepeda motornya di halaman rumah Siti. Para santri yang dulu mengajak Pak Serdam mengikuti haul datang menjemputnya.

 

“Pak, itu teman Bapak datang menjemput. Ayo bangun, Pak, sekarang waktunya haul Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Nanti lagi main serdamnya.”

 

Rizki Andika, lahir dan tinggal di Karawang, Jawa Barat. Belajar menulis di Rumah Seni Lunar.  Salah satu penulis dalam antologi puisi: The First Drop of Rain (Banjarbaru’s Literary Festival, 2017), Anggrainim, Tugu dan Rindu (Temu Penyair Nusantara di Pematangsiantar, 2018), Kunanti di Kampar Kiri (Hari Puisi Indonesia Riau, 2018), Tabuh Tak Tabu (International Gamelan Festival, 2018). Cerpennya masuk dalam nominasi Krakatau Award tahun 2018..


Seni Budaya Terbaru