Pernik

Renungan Puisi Gus Mus tentang Tahun Baru

Senin, 8 Juli 2024 | 09:26 WIB

Renungan Puisi Gus Mus tentang Tahun Baru

Ilustrasi bulan Muharram (Foto: NU Online)

Tahun baru merupakan hari permulaan tahun, di mana umumnya masyarakat di dunia akan merayakan pergantian tahun tersebut dengan melakukan suatu budaya perayaan yang berbeda-beda, bisa dengan konser musik, bakar-bakaran, berkemah, dan mendaki. Kadang juga perayaan tersebut bukan sekadar perayaan biasa, tetapi juga bisa mengandung kemaksiatan dan sesuatu yang berbahaya (madlarat). 


Setiap agama, suku bangsa dan daerah memiliki perayaan tahun barunya masing-masing, seperti Masehi, Sincia, Saka, Hijriah dan sebagainya. Salah satu perayaan tahun baru yang cukup meriah di negara yang mayoritas umat Islam seperti Indonesia adalah tahun baru Hijriah. 


Di mana umat Islam akan berkumpul, berdoa dengan doa akhir tahun dan doa awal tahun. Selain itu, ada juga yang menggelar istighotsah, meminum susu putih, mengadakan perlombaan dan pawai obor. 


Itu semua merupakan bentuk apresiasi dari tahun baru hijriah dengan mengenang hijrahnya Nabi Muhammad saw beserta keluarga dan para sahabat dari Makkah ke Madinah al-Munawarah. Hal tersebut, kemudian hari menjadi simbol kebangkitan Islam. Sesungguhnya, tahun baru hijriah yang kita alami dan rayakan bukan hanya sekadar pergantian tahun saja, tetapi harus dijadikan sebagai introspeksi diri, perenungan dan pertaubatan bagi umat Islam. 


Salah satu nasihat tahun baru yang bisa kita simak dan baca sebagai perenungan adalah puisi KH A Mustofa Bisri, atau akrab disapa Gus Mus yang berjudul “Selamat Tahun Baru Kawan”. Puisi ini terdapat dalam buku Antologi Puisi Tadarus karya, terbitan Adicita Karya Nusa Yogyakarta tahun 2003.


Selamat Tahun Baru Kawan
Kawan, sudah tahun baru lagi
Belum juga tibakah saatnya kita menunduk memandang diri sendiri
Bercermin firman Tuhan, sebelum kita dihisab-Nya


Kawan siapakah kita ini sebenarnya?
Muslimkah, mukminin, muttaqin,
Kholifah Allah, umat Muhammadkah kita?
Khoirul ummatinkah kita?


Atau kita sama saja dengan makhluk lain atau bahkan lebih rendah lagi
Hanya budak perut dan kelamin
Iman kita kepada Allah dan yang ghaib rasanya lebih tipis dari uang kertas ribuan 
Lebih pipih dari kain rok perempuan
Betapapun tersiksa, kita khusyuk didepan masa
Dan tiba tiba buas dan binal disaat sendiri bersama-Nya
Syahadat kita rasanya lebih buruk dari bunyi bedug,atau pernyataan setia pegawai rendahan saja.
Kosong tak berdaya.


Shalat kita rasanya lebih buruk dari senam ibu-ibu
Lebih cepat dari pada menghirup kopi panas dan lebih ramai daripada lamunan 1000 anak pemuda.
Doa kita sesudahnya justru lebih serius memohon enak hidup di dunia dan bahagia di surga.
Puasa kita rasanya sekadar mengubah jadwal makan minum dan saat istirahat, tanpa menggeser acara buat syahwat, ketika datang rasa lapar atau haus.


Kita manggut manggut, ooh...beginikah rasanya dan kita sudah merasa memikirkan saudara saudara kita yang melarat.
Zakat kita jauh lebih berat terasa dibanding tukang becak melepas penghasilanya untuk kupon undian yang sia-sia
Kalaupun terkeluarkan, harapan pun tanpa ukuran upaya-upaya Tuhan menggantinya lipat ganda
Haji kita tak ubahnya tamasya menghibur diri, mencari pengalaman spiritual dan material, membuang uang kecil dan dosa besar.


Lalu pulang membawa label suci asli made in saudi “HAJI”
Kawan, lalu bagaimana dan seberapa lama kita bersama-Nya
atau kita justru sibuk menjalankan tugas mengatur bumi seisinya,
mensiasati dunia khalifahnya,


Kawan, tak terasa kita semakin pintar, mungkin kedudukan kita sebagai khalifah mempercepat proses kematangan kita paling tidak kita semakin pintar berdalih
Kita perkosa alam dan lingkungan demi ilmu pengetahuan
Kita berkelahi demi menegakkan kebenaran, mengacau dan menipu demi keselamatan
Memukul, mencaci demi pendidikan
Berbuat semaunya demi kemerdekaan
Tidak berbuat apa apa demi ketenteraman
Membiarkan kemungkaran demi kedamaian pendek kata demi semua yang baik halallah sampai yang tidak baik.


Lalu bagaimana para cendekiawan, seniman, mubaligh dan kiai sebagai penyambung lidah Nabi
Jangan ganggu mereka
Para cendekiawan sedang memikirkan segalanya
Para seniman sedang merenungkan apa saja
Para mubaligh sedang sibuk berteriak kemana-mana
Para kiai sibuk berfatwa dan berdoa
Para pemimpin sedang mengatur semuanya
Biarkan mereka di atas sana
Menikmati dan meratapi nasib dan persoalan mereka sendiri


Puisi di atas menggambarkan bahwa, kita sebagai umat manusia, terkhusus umat Islam harus memiliki perubahan dari setiap waktu, setiap tahun. Mulai dari perubahan yang sifatnya individu, maupun perubahan yang berdampak terhadap sosial kemasyarakatan.

(Yudi Prayoga)