Pernik

KH Raden Muhammad Thaib dan Kitab Ad-Duhr dari Tanjungkarang, Lampung

Selasa, 22 April 2025 | 11:51 WIB

KH Raden Muhammad Thaib dan Kitab Ad-Duhr dari Tanjungkarang, Lampung

Tokoh ulama tanjungkarang Lampung (ilustrasi: Istimewa)

Di sebuah sudut sunyi Tanjungkarang tempo dulu, ketika kolonial Belanda masih menancapkan kuku kekuasaannya di bumi Sumatera, lahirlah seorang ulama yang kelak menulis kitab tentang penangkalan sihir dan membela tanah air dengan cara yang tak selalu tercatat dalam buku sejarah resmi. Namanya KH Raden Muhammad Thaib. Ia menulis, mengajar, dan berjuang semuanya dalam diam yang gagah.

 

KH Raden Muhammad Thaib merupakan ulama yang tumbuh dalam tradisi intelektual Islam yang kuat di Tanjungkarang, Lampung. Beliau dikenal sebagai penulis kitab Ad-Duhr fī Nafy as-Sahr fī Lathīf, sebuah karya berbahasa Melayu yang ditulis dengan aksara pegon, membahas dengan dalam persoalan sihir, gangguan batin, dan terapi spiritual berdasarkan ajaran Islam. Namun di balik keilmuannya, KH Thaib juga dikenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani, dan menurut penuturan beberapa sumber, terlibat dalam gerakan bawah tanah melawan kolonialisme.

Biografi Singkat

KH Raden Muhammad Thaib diperkirakan lahir pada awal abad ke-20 di Tanjungkarang. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh penulis melalui wawancara dengan beberapa ahli waris dan tokoh masyarakat, antara lain KH Ahmad Yani, H. Fauzan Abdul Karim, dan Ust. Jauhari Muslim, diketahui bahwa KH Thaib merupakan seorang ulama keturunan bangsawan lokal yang memperoleh pendidikan agama dari berbagai pesantren di Sumatera Selatan dan Jawa.

 

Salah satu pesantren yang pernah menjadi tempat beliau menimba ilmu adalah Pesantren Darussalam di Martapura, Ogan Komering Ilir, serta sempat pula berguru ke Pesantren Buntet Cirebon. Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia kembali ke Tanjungkarang dan membuka pengajian, serta menjadi pengajar di surau-surau yang ada di seputar pasar Tanjungkarang, yang kala itu menjadi pusat perdagangan dan pemukiman masyarakat Muslim di Bandar Lampung. Bahkan Surau tempat beliau mengajarkan ilmu agama Islam sempat dibakar oleh Belanda karena dianggap tempat berkumpulnya pejuang.

 

Kitab Ad-Duhr fī Nafy as-Sahr fī Lathīf

Kitab ini menjadi warisan penting yang mengukuhkan KH Thaib sebagai seorang ulama pengarang (mushannif) dari Lampung. Dalam manuskrip yang kini disimpan oleh salah satu cucunya, kitab ini terdiri dari 62 halaman dengan kertas lokal berwarna kecokelatan dan ditulis tangan dalam aksara Arab Jawi.

 

Ad-Duhr fī Nafy as-Sahr fī Lathīf secara harfiah berarti "Sinar Penolak Sihir yang Halus". Kitab ini tidak hanya membahas teori-teori tentang sihir dan pengaruh spiritual, tetapi juga menawarkan pendekatan praktis berbasis tasawuf, zikir, dan terapi ayat-ayat Al-Qur'an. Kitab ini mencerminkan semangat zaman di mana masyarakat masih sangat akrab dengan kepercayaan pada hal-hal gaib, namun juga memperlihatkan upaya KH Thaib untuk mengarahkan umat agar kembali pada prinsip-prinsip syariat Islam.

 

Struktur dan Isi Kitab

Pendahuluan kitab diawali dengan hamdalah, salawat, dan pernyataan niat penulisan karena melihat banyaknya masyarakat yang tertipu oleh tukang sihir dan dukun. KH Thaib mengutip sejumlah ayat dan hadits yang menegaskan haramnya sihir dan pentingnya tawakal.

 

Bab I menjelaskan tentang hakikat sihir, jenis-jenisnya, dan bagaimana sihir bekerja menurut pemahaman masyarakat tradisional. Namun, KH Thaib membantah beberapa mitos populer dengan pendekatan rasional dan tekstual. Ia menegaskan bahwa sihir hanya terjadi dengan izin Allah dan harus dilawan dengan iman.

 

Bab II menguraikan metode perlindungan diri, mulai dari bacaan ayat kursi, surat Al-Falaq, An-Naas, serta berbagai doa warisan Nabi. Ia juga menambahkan wirid harian dan adab-adab spiritual yang bisa menjadi tameng diri dari gangguan jin dan sihir.

 

Bab III membahas peran tasawuf. KH Thaib tidak sekadar menampilkan tasawuf sebagai doktrin, melainkan sebagai praktik hidup. Ia menjelaskan pentingnya tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa), dan bahwa orang yang hatinya bersih tidak akan mudah terkena sihir. Ia juga mengutip beberapa maqamat dan ahwal dari para sufi, termasuk Imam Al-Ghazali dan Syekh Abdul Qadir al-Jailani.

 

Bab IV berisi studi kasus. Di sini KH Thaib menuliskan beberapa peristiwa yang ia alami langsung atau dengar dari murid-muridnya. Misalnya tentang seseorang yang sakit karena disantet, dan bagaimana ia sembuh dengan terapi ayat Al-Qur'an dan taubat nasuha. Ada juga kisah seorang perempuan yang terkena pengaruh guna-guna namun sembuh setelah mengikuti pengajian rutin dan berdzikir.

 

Penutup kitab mengandung nasihat agar masyarakat kembali kepada ulama, menjauhi dukun, dan tidak menjadikan sihir sebagai solusi. Ia mengutip kata-kata Imam Malik bahwa ilmu tanpa akhlak akan menyesatkan, dan bahwa masyarakat Muslim harus menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman utama.

 

Perjuangan Melawan Penjajah

Salah satu bagian paling menarik dalam penelusuran ini adalah munculnya kisah-kisah heroik KH Thaib dalam perjuangan melawan kolonial. Meski tidak memegang senjata, beliau diketahui menjadi salah satu penghubung antara para pejuang kemerdekaan dan jaringan ulama di Lampung.

 

Menurut penuturan H. Fauzan Abdul Karim, salah satu peneliti sejarah Islam Lampung, KH Thaib pernah membantu persembunyian para pemuda Hizbullah di Tanjungkarang dan membukakan akses logistik ke arah Teluk Betung dan Metro. Bahkan, beberapa surat beliau yang ditulis dalam aksara pegon mengandung sindiran keras terhadap kolonialisme Belanda, yang saat itu memata-matai banyak pesantren.

 

Beliau juga kerap menggelar pengajian malam hari yang diselingi dengan diskusi kebangsaan. Para muridnya seperti KH Abdurrahman Hasyim, KH Ahmad Sanusi, dan Ust. Thamrin Barmawi, kelak menjadi tokoh penting di pesantren dan organisasi Islam di Lampung setelah kemerdekaan. Beberapa bahkan terlibat aktif dalam NU dan Masyumi.

 

Namun, peran KH Thaib tidak banyak dicatat dalam dokumen resmi. Hal ini bisa dimaklumi karena posisinya yang lebih banyak bergerak dalam jalur pendidikan dan spiritual. Namun, kesaksian lisan para saksi sejarah menjadi bukti penting peran beliau dalam membentuk basis keagamaan yang sadar kemerdekaan.

 

Jejak Keturunan dan Murid-Murid

KH Thaib memiliki empat orang anak, dua di antaranya diketahui menjadi guru agama dan pengurus masjid di Bandar Lampung. Salah satu cucunya, Ahmad Thaib, kini menyimpan manuskrip asli kitab Ad-Duhr.

 

Beberapa murid yang pernah menimba ilmu kepada KH Thaib di antaranya KH Abdurrahman Hasyim (pendiri pengajian Al-Ikhlas Teluk Betung), KH Ahmad Sanusi (pengasuh pengajian di Gunung Terang), dan Ust. Thamrin Barmawi yang kemudian menjadi tokoh Masyumi di tahun 1950-an. Jejak mereka masih terasa hingga kini dalam bentuk majelis taklim, surau-surau, dan tradisi pengajian kitab kuning di Lampung.

 

Biografinya menemui tantangan besar karena ketiadaan dokumen resmi atau literatur cetak yang memadai. Wawancara dengan KH Mahfudz Hasbullah (pengasuh PP Darussalam), H Syamsudin Tha'ib (cucu beliau), dan Ustaz Hadi Prayoga (peneliti manuskrip lokal), memperkuat bahwa Tha'ib memang sosok nyata yang pernah mengajar di surau-surau sekitar Tanjungkarang tahun 1920-an hingga 1940-an.

 

Ia disebut sebagai murid dari ulama asal Palembang yang menetap di Telukbetung, KH. Abdul Halim, dan juga pernah nyantri di Jampes, Kediri. Gaya mengajarnya kuat dalam pendekatan tasawuf dan fiqih, dengan karakteristik lembut namun tegas terhadap penyimpangan akidah. Raden Tha'ib juga dikenal sebagai tokoh yang mendirikan halaqah malam di Masjid Agung Tanjungkarang sebelum masjid itu rusak akibat agresi militer Belanda.

 

Peranannya dalam perlawanan terhadap kolonialisme Belanda lebih banyak terekam dalam kisah lisan. Menurut cucunya, beliau ikut aktif menyuplai logistik dan informasi kepada para pejuang yang bergerak di sekitar Bukit Kunyit dan Talang. Ia menyembunyikan para pejuang yang diburu KNIL di suraunya dan memberi pelajaran agama sekaligus motivasi perjuangan. Meski bukan tokoh pertempuran bersenjata, peran moral dan spiritualnya sangat dihormati.

 

Pada masa Agresi Militer Belanda II (1948), suraunya sempat dibakar karena dianggap sarang kaum pemberontak. Raden Tha'ib ditahan selama tiga bulan di pos militer Belanda, namun kemudian dibebaskan karena tidak terbukti secara hukum. Sejak itu, ia hidup berpindah-pindah hingga akhirnya wafat tahun 1953. Makamnya kini berada di kompleks pemakaman keluarga di daerah Kaliawi, Bandar Lampung, tanpa nisan besar, hanya batu sederhana bertuliskan huruf Arab Melayu.

 

Sayangnya, tidak banyak generasi muda yang mengenalnya. Namanya tak tercantum dalam ensiklopedia, tidak masuk dalam kurikulum, dan belum diangkat dalam diskursus keislaman lokal. Padahal, sosok seperti KH. Raden Muhammad Tha'ib mencerminkan wajah ulama kampung yang tangguh, berilmu, dan berani. Kitabnya menjadi simbol keberpihakan pada masyarakat tertindas yang mencari cahaya di tengah gelap sihir dan penjajahan.

 

Di masa kini, saat dunia pesantren kembali menjadi tumpuan harapan dalam membentuk generasi spiritual dan nasionalis, mengenang dan mengkaji kembali warisan ulama seperti Tha'ib adalah pekerjaan penting. Tidak hanya untuk mengisi lembaran sejarah lokal yang kosong, tetapi juga untuk memperkaya khazanah keilmuan Islam Nusantara.

 

Kitab Ad-Duhr fī Nafy as-Sahr fī Lathīf layak untuk dikaji ulang secara akademik. Ia bisa dijadikan bahan skripsi, disertasi, atau kajian filologi. Bahkan, bisa pula diterbitkan ulang dalam edisi terjemahan dan diberi catatan kaki agar relevan dengan kebutuhan zaman. Banyak amalan di dalamnya yang bisa dimanfaatkan untuk program bimbingan spiritual di pesantren atau pusat rehabilitasi.

 

Di tengah gempuran modernitas dan era digital, mengangkat kembali suara ulama lokal seperti Raden Tha'ib adalah bagian dari jihad intelektual. Bukan hanya karena kita butuh tokoh-tokoh panutan yang otentik, tapi juga karena sejarah harus ditulis dari bawah, dari surau-surau kecil, dari kitab-kitab tua yang berdebu, dan dari suara-suara yang selama ini dibungkam oleh dominasi sejarah elitis.

 

Sebagai sejarawan, saya melihat bahwa kerja menghidupkan kembali KH Raden Muhammad Tha'ib bukan sekadar nostalgia. Ini adalah upaya rekonstruksi sejarah lokal berbasis sumber primer dan oral history yang jujur. Dalam konteks Lampung, ia bisa menjadi tokoh sentral dalam narasi Islam lokal yang berpadu dengan semangat kebangsaan.

 

Dari lembaran kitab sihir yang ia tulis, kita membaca bukan sekadar doa dan dzikir, tetapi keberanian. Dari makamnya yang sunyi di Kaliawi, kita mendengar bisikan bahwa perlawanan tidak selalu dalam bentuk peluru.

 

Sumber Primer dan Wawancara

Dalam penyusunan opini sejarah ini, penulis mewawancarai beberapa tokoh penting:

 

1. KH Ahmad Yani, pengasuh pesantren Al-Fattah, Bandar Lampung.

2. H Fauzan Abdul Karim, peneliti dan penulis sejarah lokal Lampung.

3. Ustadz Jauhari Muslim, pemerhati manuskrip dan literatur keislaman tradisional.

4. Ahmad Thaib, cucu dari KH Thaib dan pemegang manuskrip asli kitab Ad-Duhr.

5. KH Abdurrahman Hasyim, Kg Ahmad Sanusi dan Ustadz Thamrin Barmawi murid murid dari KH Thaib.

 

Mereka memberikan kesaksian lisan, menunjukkan bukti foto manuskrip, dan menunjukkan lokasi makam serta pengaruh KH Thaib dalam dakwah dan perjuangan lokal.

 

KH Raden Muhammad Thaib adalah potret ulama yang tak hanya berdakwah lewat mimbar, tetapi juga menulis, mendidik, dan melawan dalam sunyi. Kitab Ad-Duhr fī Nafy as-Sahr fī Lathīf menjadi bukti konkret bahwa Lampung memiliki khazanah literasi Islam yang tak kalah penting dari wilayah lain.

 

Kini, ketika sejarah sering dipadatkan dalam narasi nasional yang besar, penting kiranya menoleh kembali ke para ulama lokal yang menjadi sumbu peradaban dan pemantik semangat merdeka. KH Thaib adalah satu dari sekian nama yang patut dikenang.

 

Karena sejatinya, tidak semua pejuang membawa bedil. Sebagian dari mereka menulis kitab, mendirikan surau, dan merawat nurani umat. Seperti KH Raden Muhammad Thaib, ulama dari Tanjungkarang yang perlawanan dan pemikirannya sempat terlupa. Kini, saatnya kita mengingat.

 

NB: KH. Raden Muhammad Thaib, merupakan tokoh dari pusat Kota Tanjungkarang, Lampung. Tulisan ini tentu masih memerlukan penelitian lanjutan karena kurangnya sumber primer dan data tertulis lain. KH Thaib diprediksi memegang jaringan tarekat ulama Jawa, Lampung, Palembang.

 

H Wahyu Iryana, Sejarawan UIN Raden Intan Lampung.