• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Teras Kiai

KH Muhammad Sobari, Hibahkan Jiwa Raga untuk Mengajar Agama

KH Muhammad Sobari, Hibahkan Jiwa Raga untuk Mengajar Agama
KH Muhammad Sobari
KH Muhammad Sobari

KH Muhammad Sobari merupakan sosok kiai karismatik di Lampung, yang telah banyak memberikan kontribusi pada masyarakat sekitar dalam pengembangan dakwah Islam. Beliau kerap mengisi tausiah, pembacaan maulid barzanji pada acara aqiqah, memimpin dzikir trariqah, memberikan pengajian kitab kuning di masjid.


Kiai yang biasa disapa Abah Sobari itu mendirikan lembaga pendidikan Islam mulai dari Raudhatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), Madrasah Diniyah (Madin) dan pondok pesantren.  Semua jenjang pendidikan itu bernaung dalam yayasan Al Hikmah yang beralamat di Jalan Sultan Agung, Kedaton, Bandar Lampung.


Kiprah tersebut sebagai  andil beliau dalam mendorong, menyebarkan dan membangkitkan khazanah ilmu dan amal agama Islam Ahlussunnah wal Jamaa’ah an-Nahdliyah.


Abah Sobari lahir di kampung Pasir Pogor, Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, pada tahun 1942 dari pasangan Sarwan dan Sarianten.  Sampai usia balita beliau menetap di kampung kelahirannya.  Sampai kemudian Sobari kecil dibawa  ibunya merantau ke Lampung, sekaligus mengunjungi keluarga mereka di daerah  Kampung Baru, Kecamatan Labuhan Ratu, Bandar Lampung.


Di Kota Tapis Berseri itu, Abah Sobari menempuh pendidikannya di Sekolah Rakyat (SR) Kampung Sawah Tanjungkarang, (sekarang menjadi bangunan Mall Chandra), dan melanjutkan pendidikan di Madrasah Diniyyah Islamiyyah (MDI).


Setelah itu, beliau meneruskan pendidikannya ke salah satu pondok pesantren salafiyah di daerah Pasir Laur, Pandeglang, Banten yang di asuh oleh KH Muhammad Idrus. Di pondok tersebut beliau banyak mendapatkan ilmu agama, mulai dari ilmu alat, fiqih, tauhid dan ilmu agama yang lainnya.  Kegiatan menimba ilmu tersebut ditempuh kurang lebih sembilan tahun.
 

Pada tahun 1967 M, ketika pondok sedang libur, Kiai Sobari tidak menyia-nyiakan waktu liburnya dengan santai dan habis untuk bermain, tetapi beliau ikut mengajar di salah satu madrasah yang ada di  Kampung Kepayang (sekarang Sukamaju) Rajabasa, Bandar Lampung. Di madrasah tersebutlah beliau berjumpa dengan seorang wanita yang kelak menjadi istrinya.
 

Wanita tersebut bernama Nyai Hj Fatimah, putri pasangan H Manin dan Sa’diyah.  Setelah merasa cocok, Kiai Sobari memutuskan menikah dengan Nyai Fatimah pada tahun 1968.


Setelah waktu libur habis, niat mencari ilmu agama tidak pernah surut di dalam jiwa Abah. Beliau kembali ke pondok pesantren dengan membawa serta istrinya. Di pesantren kegiatan berjalan seperti biasanya. Abah semakin semangat menuntut ilmu agama.
 

Nyai Fatimah kepada NU Online Lampung menceritakan,  setelah 8 bulan berlalu, KH Muhammad Idrus wafat. Karena Kiai Idrus tidak mempunyai keturunan dan tidak ada yang dapat melanjutkan sebagai pengajar maka seluruh santri yang menuntut ilmu di sana banyak yang pulang (boyong). Termasuk  Abah Sobari dan Nyai Fatimah.  Mereka kemudian menetap di Hajimena,  kediaman orang tua sang istri.


“Setelah satu tahun kemudian kami pindah ke Kampung Baru, Labuhan Ratu. Tak lama pindah lagi ke Lebak Anyar, Kebon Sawo, Kecamatan Tanjungkarang Timur. Di tempat ini Kiai Sobari mengajar di Madrasah Diniyah Islamiyah (MDI) tempat dulu dia belajar semasa remaja,” kata Nyai Fatimah, Sabtu (6/11).


Tak lama, Abah Sobari kembali lagi ke Labuhan Ratu. Beliau mengajar di MI Mathlaul Anwar Pasar Pagi, Way Halim (pasar tempel) pimpinan Ustadz Sarkat. Setelah 2 tahun lamanya di Labuhan Ratu, atas saran Ustadz Salim, guru di Madrasah Mathaul Anwar, yang berada di Kecamatan Labuhan Ratu, pada tahun 1973 Kiai Sobari  berdakwah di kawasan Way Halim, karena daerah tersebut belum banyak tersentuh ilmu agama.
 

Nyai Fatimah bercerita , bisa dibilang setelah Abah berada di Way Halim, masyarakat  mulai tertata agamanya.  Kemaksiatan dan kemungkaran makin berkurang.
 

Abah Sobari terkenal sebagai sosok yang ulet dan ikhlas dalam berdakwah.  “Dimanapun dia mengajar ngaji kepada masyarakat,  beliau selalu total menghibahkan jiwa raganya untuk mengajar. Prinsip beliau adalah, kita ini milik masyarakat, jadi jangan sampai tidak mengurus dan mengabdi kepada masyarakat,” tutur Nyai Fatimah.
 

Hal positif lainnya dari Abah, kata Nyai Fatimah, beliau tidak mau berburuk sangka kepada siapapun.  Beliau akan marah jika anak dan keluarganya ada yang berburuk sangka terhadap orang lain.
 

Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai 2 putra dan 7 putri, yakni,  Robiah Adawiyah, Hi Anwar Musaddad, Hj Neneng Zakiah, Siti Muawanah, Imron Rosyadi, Hj Fauziah, Siti Masyitoh, Ida Maulidah, dan Nailul Hafidzoh.
 

Perjuangan Mendirikan Lembaga Al Hikmah
 

Nyai Fatimah mengungkapkan, dakwah Kiai Sobari berawal dari pengabdiannya saat menempati musholla tua di Desa Way Halim (sekarang menjadi Kecamatan Kedaton) yang telah didirikan oleh pemiliknya pada 1930. Beliau berdakwah melalui tausiah-tausiah, pelatihan rebana, marhabban, pembacaan maulid barzanji serta mengisi pengajian ibu-ibu.
 

Seiring waktu kegiatan syiar agama pun semakin luas  melalui proses perjuangan dan kerja keras serta bantuan dari berbagai pihak. Diantaranya dengan membangun Masjid Nurul Yaqin, tempat beliau berdakwah berikutnya.

 

“Pada tahun 1976 kegiatan mengajar  Abah terus berkembang hingga ke Kelurahan Kedaton, Kaliawi, dan Kelapa Tiga, dengan didampingi Ustadz H Eli Suhaili. Hal ini semakin menguatkan  keinginannya untuk mengembangkan pendidikan  agama Islam secara formal dalam wadah madrasah.  Niat tersebut mendapat dorongan dari kalangan jamaah pengajian  yang dibimbingnya,” kata Nyai Fatimah.
 

Melalui Masjid Nurul Yaqin,  pendidikan formal pun dimulai, tepatnya pada 1978.  Abah Sobari mengumpulkan beberapa anak usia sekolah dan menggabungkan siswa-siswi dari Madrasah Mathlaul Anwar Pasar Pagi, Way Halim, pimpinan Ustadz Sarkat. Kegiatan tersebut terus berjalan hingga tahun 1978.

 

“Berselang setahun waktu berlalu, ternyata jumlah murid yang mendaftar semakin meningkat pesat, sehingga masjid yang semula sebagai tempat sarana belajar tidak sanggup lagi mampu menampung kegiatan proses belajar mengajar.  Atas musyawarah bersama dewan guru, maka diajukanlah permohonan bantuan kepada gubernur Lampung dalam rangka menunjang proses pendidikan.  Alhasil permohonannya dikabulkan, dan cukup untuk membangun sebuah gedung sekolah,” papar Nyai Fatimah.
 

Pembangunan madrasah pun terus berkembang.  Pada 6 Februari 1980, peletakan batu pertama pembangunan madrasah pun dilakukan oleh Gubernur Lampung saat itu, Pujono Pranyoto.  
 

Seiring berjalannya waktu, banyak murid yang bersekolah di Madrasah yang diberi nama Al Hikmah itu, tidak hanya dari Bandar Lampung, melainkan dari luar kota. Mereka ada yang in the kost di rumah-rumah penduduk di sekitar madrasah, dan ada juga yang oleh orang tuanya diserahkan dan dititipkan untuk tinggal bersama-sama keluarga Abah Sobari, dengan harapan agar dapat mengikuti kegiatan pengajian yang diasuhnya.
 

Pada waktu itu rumah kediaman Kiai Sobari masih sangat sederhana (gribik) dan hanya ada tiga kamar. Maka Abah berkeinginan menampung murid-muridnya tersebut di dalam satu wadah  pendidikan di samping madrasah formal, yakni pondok pesantren. Sehingga para santri tetap dapat maksimal mengaji ilmu agama kepada beliau dan dapat sekolah formal seperti biasa.  Keinginan itu terwujud, pada Rabu 1 November 1989, keluarlah Piagam Diniyah, Pondok Pesantren dari Kanwil Departemen Agama Provinsi Lampung.
 

Dari tahun 1996, KH. Muhammad Sobari dibantu menantunya KH Basyaruddin Maisir, santri alumni pondok pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur dalam mengembangkan pondok pesantren. Mereka mengadakan peningkatan pondok pesantren baik fisik maupun non fisik.

 

“Pesantren Al Hikmah Kedaton Bandar Lampung meramu kurikulum pendidikan sehingga mampu menjawab tantangan dan kebutuhan pendidikan masyarakat.  Pada  tahun pelajaran 1999-2000, Madrasah Aliyah menggunakan kurikulum gabungan antara kurikulum departemen agama dan kurikulum pondok pesantren. Hal ini menghasilkan  kesepakatan bahwa bagi siswa-siswi yang belajar di Madrasah Aliyah  Al Hikmah Bandar Lampung diwajibkan tinggal di asrama pondok pesantren,” kata Kiai Maisir.
 

Beliau wafat pada malam Selasa Pon 7 Mei 2018 di Rumah Sakit Umum Abdul Muluk Bandar Lampung, dan dimakamkan komplek pondok pesantren Al Hikmah.
 

Meski beliau telah tiada, namun pesan-pesan beliau kepada para santri dan keluarga selalu dikenang.  Diantaranya,  Abah Kiai Sobari selalu bercerita bahwa keberhasilannya  bisa membangun pondok dan berdakwah merupakan berkat doa terutama dari kiai.  Salah seorang kiainya pernah berpesan, ketika pulang nanti, dan saat terjun di masyarakat, utamakan doa, dan tetaplah selalu doa.  Juga jangan lupa ajarkan doa kepada masyarakat.
 

Menantu beliau yang lain, KH Abdul Basith, menuturkan, sampai usia senja,  Abah masih terus belajar dalam ilmu agama. “ Pernah suatu ketika beliau tidak menemukan jawaban masalah ilmu fiqih.  Beliau datang ke menantunya untuk mempertanyakan dan mendiskusikan bersama ilmu tersebut. Beliau adalah seorang yang sederhana dan rendah hati, ” katanya.

 

(Yudi Prayoga, santri alumni pondok pesantren Al Hikmah, Kedaton, Bandar Lampung)


Teras Kiai Terbaru