Teras Kiai

KH Ahmad Hanafiah: Syahid di Sungai Ogan di Bulan Ramadhan

Kamis, 6 Maret 2025 | 13:30 WIB

KH Ahmad Hanafiah: Syahid di Sungai Ogan di Bulan Ramadhan

Ramadhan bulan perjuangan bagi para ulama, salah satunya KH Ahmad Hanafiah Sukadana Lampung (Foto: Istimewa)

Ramadhan selalu datang dengan janji kemenangan. Bulan ini bukan hanya soal lapar dan dahaga, tapi juga kisah perjuangan, dari zaman Rasulullah hingga para ulama dan santri di Nusantara. Di antara mereka, ada nama KH Ahmad Hanafiah, ulama besar dari Lampung yang gugur sebagai syuhada di Sungai Ogan pada Ramadan 1366 H, saat agresi militer Belanda tahun 1947.

 

Tentu, nama ini tidak setenar Diponegoro atau Teuku Umar, tapi bagi santri dan masyarakat Lampung, KH Ahmad Hanafiah adalah legenda. Ulama yang tak hanya mengaji kitab, tapi juga mengaji perjuangan. Dari pesantren ke medan laga, dari masjid ke palagan perang, beliau membawa Islam sebagai spirit perlawanan.

 

Santri yang Berlayar ke Makkah

KH Ahmad Hanafiah lahir 25 Djumadil Akhir 1323 H atau bertepatan tanggal 27 Agustus 1905 M di Sukadana, sebuah kota kecil yang dahulu menjadi ibu kota Lampung. Sejak kecil, ia sudah akrab dengan kitab-kitab kuning dan kisah perjuangan. Lalu, ia merantau ke Jamiatul Khair di Jakarta, sekolah yang kala itu menjadi kawah candradimuka bagi para santri pejuang. Tapi, jiwanya belum puas. Ia lalu berlayar ke Malaka, kemudian melanjutkan perjalanan ke Makkah.

 

Di Tanah Suci, KH Ahmad Hanafiah tidak hanya menimba ilmu, tetapi juga menyerap semangat perlawanan. Saat itu, dunia Islam sedang bergolak, melawan kolonialisme yang merajalela. Sekembalinya ke Nusantara, beliau kembali ke Lampung dan menjadi pengasuh pesantren, menyebarkan ilmu agama sekaligus mengobarkan semangat jihad fi sabilillah. Lalu, sejarah menulis takdirnya dengan tinta perjuangan.

 

Dari Mimbar ke Medan Perang

Ketika agresi militer Belanda dimulai, KH Ahmad Hanafiah tidak tinggal diam. Baginya, melawan penjajah adalah bagian dari jihad. Bersama para santri dan laskar rakyat, ia bergabung dalam perlawanan. Namun, perjuangan ini tidak hanya soal mengangkat senjata. Di balik medan perang, ada strategi, ada doa, ada semangat yang disuntikkan melalui pengajian dan pidato-pidato yang membakar semangat.

 

Bulan Ramadhan 1947, saat kaum Muslimin di seluruh negeri khusyuk berpuasa, KH Ahmad Hanafiah dan pasukannya bergerilya di hutan dan sungai. Di tepi Sungai Ogan, mereka bertempur melawan serdadu Belanda yang jauh lebih modern persenjataannya. Tapi sejarah selalu mencatat bahwa perjuangan bukan soal menang atau kalah, melainkan soal keteguhan hati.

 

Di sungai itulah, peluru Belanda menembus tubuhnya. Ia gugur di bulan yang penuh berkah, syahid dalam perjuangan, seperti doa yang sering ia panjatkan. Ramadan bukan hanya bulan suci, tapi juga bulan yang mencatat para syuhada.

 

Di Antara Puasa dan Perjuangan

Bagi para santri, Ramadhan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga. Bulan ini adalah bulan latihan, bulan keteguhan hati, bulan jihad. Seperti para pahlawan sebelumnya, KH Ahmad Hanafiah menjadikan Ramadan sebagai momentum perjuangan.

 

Dari zaman Rasulullah yang berperang di Badar, hingga perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan, Ramadan selalu menjadi saksi bahwa iman dan perjuangan adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.

 

Sejarah mencatat:

 

"Di tepi sungai kau rebah, wahai kekasih negeri
Peluru tak bisa membunuh mimpi
Ramadan membawamu pulang ke surga
Sementara kami terus mengaji namamu di pusara"

 

KH Ahmad Hanafiah mungkin telah tiada, tapi kisahnya tidak pernah benar-benar berakhir. Setiap Ramadan, namanya kembali diingat, diceritakan di langgar-langgar, dikenang dalam doa-doa.

 

Sebab, dalam sejarah Islam dan Nusantara, Ramadhan bukan hanya tentang puasa, tapi juga tentang kemenangan.

 

Wahyu Iryana, Sejarawan dan Penyair UIN Raden Intan Lampung.