Teras Kiai

KH Muhamad Nur: Penghafal Alfiah dari Sukadana, Nazar, dan Perjalanan ke Kota Suci

Rabu, 5 Maret 2025 | 10:31 WIB

KH Muhamad Nur: Penghafal Alfiah dari Sukadana, Nazar, dan Perjalanan ke Kota Suci

Mengenal sosok KH Muhamad Nur: Penghafal Alfiah dari Sukadana. (Foto: NU Online Lampung )

Di Sukadana, Lampung Timur, ada satu nama yang harum di kalangan santri, tetapi mungkin tak banyak disebut dalam buku sejarah nasional, yakni KH Muhamad Nur. Ia bukan hanya seorang ulama besar, tetapi juga penghafal Alfiah Ibnu Malik, kitab gramatika Arab legendaris yang terdiri dari seribu bait syair.

 

Menghafal Alfiah bukan perkara mudah. Setiap baitnya bak anak tangga menuju puncak keilmuan nahwu-sorof, dan KH Muhamad Nur menaikinya dengan penuh tekad. Seperti dalam bait pertamanya yang terkenal itu:

 

قال محمد هو ابن مالك

 

"Berkata Muhammad, putra Malik",

 

أحمد ربي الله خير مالك

 

"Aku memuji Allah, sebaik-baik pemilik".

 

Baginya, bait ini bukan sekadar pembuka kitab, melainkan pembuka jalan menuju kebangkitan ilmu.

 

Nazar: Alfiah Menjadi Nama

Di tengah perjuangannya menghafal Alfiah, KH Muhamad Nur membuat nazar yang cukup unik. Ia berjanji bahwa jika bisa menghafal kitab ini dengan sempurna, maka kelak akan menamai anaknya "Alfiah."

 

Janji itu ditepati. Nama itu akhirnya disematkan kepada putranya, yang kelak dikenal sebagai KH Ahmad Hanafiah, seorang ulama besar yang kiprahnya mendunia.

 

Bayangkan, sebuah nama yang berasal dari kitab kuning, lahir dari tekad seorang santri di Sukadana yang ingin menaklukkan seribu bait syair Arab.

 

Sukadana-Makkah: Perjalanan Ilmu yang Panjang

Namun, KH Muhamad Nur tidak berhenti hanya dengan menghafal Alfiah. Baginya, ilmu harus terus diasah. Maka, dengan segala keterbatasan zaman, ia melakukan perjalanan mencari ilmu ke Kota Suci Makkah.

 

Zaman itu, perjalanan ke Makkah bukanlah sekadar membeli tiket pesawat dan transit di Jeddah. Ia harus menumpang kapal laut, menghadapi gelombang tinggi, perbekalan yang terbatas, dan perjalanan panjang berbulan-bulan.

 

Di Mekah, KH Muhamad Nur menimba ilmu kepada para ulama besar, memperdalam pemahamannya tentang fiqih, tafsir, dan hadits. Ia juga membawa spirit dari Lampung, tanah yang jauh, tetapi selalu rindu pada ilmu.

 

وَبَعْدُ فَالنَّحْوُ بِهِ تَدْرِي مَا

 

"Dengan nahwu engkau memahami",

 

تُحْتَاجُهُ فِي الْكَلَامِ لِمَا

 

"Bagaimana kata dalam kalimat berfungsi".

 

Baginya, bait Alfiah ini seakan menjadi bekal dalam perjalanan panjang mencari ilmu.

 

Kembali dan Mendirikan Pesantren

Setelah bertahun-tahun di Makkah, KH Muhamad Nur pulang ke Sukadana dengan membawa bekal ilmu yang lebih matang. Ia kemudian mendirikan Pondok Pesantren Al-Ikhlas Al-Istishodiyah di Lampung Timur, sebagai tempat pembelajaran ilmu agama yang diwariskan dari generasi ke generasi.

 

Pesantren ini menjadi pusat kajian kitab kuning, terutama Alfiah. Para santri yang datang ke sini tidak hanya diajarkan ilmu, tetapi juga diwarisi semangat perjuangan KH Muhamad Nur dalam menuntut ilmu.

 

Dan di pesantren ini pula, nama KH Ahmad Hanafiah terus dikenang, sebagai putra yang lahir dari nazar sang ayah, dan kemudian menjadi ulama besar yang namanya harum di Nusantara sebagai pahlawan Nasional.

 

Ilmu yang Tak Lekang oleh Waktu

Kisah KH Muhamad Nur bukan sekadar cerita seorang penghafal kitab. Ini adalah kisah tentang tekad, nazar, dan perjalanan panjang dalam mencari ilmu.

 

Di dunia pesantren, banyak santri yang membuat nazar demi menghafal kitab. Ada yang bernazar puasa Mutih jika bisa menyelesaikan Alfiah, ada yang bernazar membaca Burdah setiap malam, dan ada pula yang seperti KH Muhamad Nur—menamai anaknya sesuai dengan kitab yang paling dicintainya.

 

Jika ada pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini, mungkin ini: bahwa ilmu yang ditekuni dengan sungguh-sungguh akan berbuah manis, bahwa perjalanan panjang dalam menuntut ilmu adalah bagian dari pengorbanan, dan bahwa nama yang diberi dengan nazar bisa menjadi simbol sebuah perjuangan panjang.

 

Dan mungkin, di suatu tempat di Sukadana, ada santri yang sedang berjuang menghafal Alfiah, terinspirasi oleh kisah ini, dan diam-diam berbisik dalam hati,

 

"Jika aku bisa menghafal ini, kelak aku juga akan menamai anakku dengan sesuatu yang istimewa."

 

Penulis mencoba membuat Syair untuk Kiai Muhamad Nur sang penghafal kitab suci, hadits Nabi dan Kitab Alfiah*

 

Di beranda pesantren, seorang kiai tua,
melafalkan bait demi bait dengan suara lirih.
Seribu syair melayang dalam pikirannya,
menari-nari dalam cahaya lampu minyak.

 

Ia hafal setiap baris, setiap makna,
seperti ia menghafal perjalanan hidupnya.
Dari Sukadana ke Makkah, dari Laut Jawa ke Tanah Haram,
ia bawa ilmunya, ia bawa nazarnya.

 

Namanya bukan sekadar nama,
tetapi doa yang menjelma anak dan keturunan.
Alfiah, katanya, seribu cahaya dalam satu nama,
seribu doa yang tak pernah pudar.

 

Di antara deretan kitab yang menguning,
ia tersenyum mengenang nazarnya.
Sebab ilmu tak akan pernah mati,
dan Alfiah akan terus hidup di bibir santri.

 

Wahyu Iryana, Sejarawan dan Penyair dari UIN Raden Intan Lampung.