• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Opini

Poligami Perspektif Mubadalah

Poligami Perspektif Mubadalah
foto ilustrasi
foto ilustrasi

POLIGAMI dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah istilah untuk menyebut tindakan seorang laki-laki yang menikah dengan perempuan lebih  dari satu dalam waktu yang sama. Sebagai sistem perkawinan sendiri poligami lebih dikenal dengan istilah “poligini”. Perilaku ini telah ada ber abad-abad lalu.

 

Poligami menurut istilah bahasa Arab disebut dengan ta’addud al-zaujat yang diambil dari kata yang artinya terbilang atau banyak dan kata yang artinya istri-istri. Berdasarkan pendekatan etimologis di atas, poligami dapat diartikan dengan beristri banyak. Sedangkan kata poligami itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata poly atau polus, yang berarti banyak, dan kata gamein atau gamos, yang berarti kawin.


Secara bahasa, berdasarkan penjelasan ini, poligami berarti suatu perkawinan yang banyak atau suatu perkawinan yang lebih dari seorang, baik pria atau wanita.

 

Dikutip dari buku Qira’ah Mubadalah karangan Faqihuddin Abdul Qodir, teori mubadalah dalam bahasa Arab berarti mengganti, mengubah, dan menukar. Kata mubadalah juga bermakna kesalingan (mufa’alah) dan kerja sama antar kedua belah pihak (musyarakah).
 

Secara istilah mubadalah bermakna yaitu relasi tertentu antara dua pihak yang mengandung nilai dan semangat kemitraan, kerja sama, kesalingan, timbal balik, dan prinsip resiprokal.

 

Dalam perspektif mubadalah, poligami bukanlah solusi dalam relasi pasangan suami istri, tetapi problem yang seringkali mendatangkan keburukan. Pandangan ini sangat sesuai dengan penempatan “poligami yang sulit adil” (QS. Al-Nisa’ [4]: 129) yang diapit nusyuz (QS. Al-Nisa’ [4]: 128) dan perceraian (QS. Al-Nisa’ [4]: 130). Artinya, sebagaimana nusyuz dan perceraian, poligami adalah problem krusial dalam sebuah relasi suami-istri.
 

Karena ia menjadi problem, maka Al-Qur’an mewanti-wanti agar berbuat adil (fa-in khiftum alla ta’dilu), meminta satu istri saja jika khawatir tidak adil (fa wahidatan), dan bahkan menegaskan monogami sebagai jalan yang lebih selamat (adna) dari kemungkinan berbuat zhalim (alla ta’ulu).

 

Tentang argumentasi tafsir, hadis, dan fiqh yang lebih cenderung pada pernikahan monogami daripada poligami, bisa dilihat dalam buku yang berjudul “Sunnah Monogami: Mengaji Al-Qur’an dan Hadist” dari Faqihuddin Abdul Qodir. Dalam buku tersebut dibahas mengenai perlawanan narasi tentang poligami, yang membesar akhir-akhir ini sebagai sesuatu yang halal, baik, dan perlu dirayakan sebagai identitas keislaman.

 

Di dalam buku ini membahas berbagai nukilan dan pendapat ulama klasik tentang pilihan monogami yang lebih Islami dibanding poligami.  Salah satunya pada (QS. Al-Nisa’ [4]: 3) yang memiliki empat penggalan: menjauhi penzhaliman anak-anak yatim dengan tidak menikahi mereka; tetapi menikahi perempuan lain bisa dua, tiga, atau empat; itu pun kalau khawatir tidak adil, satu istri saja; karena satu istri lebih dekat untuk tidak zhalim atau berperilaku buruk.
 

Keempat penggalan ini ada dalam satu napas ayat yang biasanya menjadi dasar kebolehan poligami. Dalam kaitannya dengan perspektif mubadalah terhadap narasi poligami-monogami, ada tiga poin penting:
 

Pertama, jika kesabaran adalah perilaku yang baik dan mulia, serta pelakunya akan dicintai Allah, maka tidak saja perempuan yang dituntut bersabar dari suami yang ingin atau sudah poligami. Harusnya, suami juga atau laki-laki dituntut bersabar dan tidak memilih poligami agar menjadi orang yang mulia dan dicintai Allah SWT.

 

Kedua, bahwa perempuan memiliki hak sepenuhnya untuk menolak poligami dengan basis menjauhkan diri dari kerusakan dan mudharat (dar’ul mafasid), yang akan menimpa dirinya maupun keluarganya. Baik yang bersifat fisik, psikis, ekonomi, maupun sosial. Jika penerimaan poligami didasarkan pada jalbu mashalih (mengambil kemanfaatan) sebagai kenikmatan seks yang halal bagi laki-laki, maka penolakan poligami didasarkan pada dar’ul mafasid (menjauhi kemudharatan) yang akan dialami perempuan. Karena dalam kaidah fiqh, yang kedua yakni dar’ul mafasid (menjauhkan kemudharatan) harus didahului daripada jalbu mashalih (mengambil kemudharatan).

 

Ketiga, bahwa perempuan mempunyai pilihan hak cerai jika suaminya memaksa poligami. Tidak seperti narasi selama ini, di mana perempuan diharuskan bersabar dan menganggap cerai dari poligami sebagai sesuatu yang tidak baik dan tidak dianjurkan. Bahkan, bercerai karena poligami dianggap melanggar tuntunan sebagai istri shalihah yang dijanjikan di surga kelak di akhirat.

 

(Dian Ramadhan/Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga Pascasarjana UIN Raden Intan Lampung)

 


Editor:

Opini Terbaru