Opini

Menyatunya Hati, Modal Bahagia

Rabu, 20 November 2024 | 10:30 WIB

Menyatunya Hati, Modal Bahagia

Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung, Agus Hermanto. (Foto: Istimewa)

Pasangan suami dan istri adalah berasal dari dua keluarga yang berbeda, yang tentunya memiliki karakter dan pola hidup yang berbeda, sehingga menyatunya hati antara keduanya adalah modal untuk mewujudkan keluarga sakinah. 


Mengingat bahwa watak wanita dan laki-laki tentunya juga berbeda, wanita cenderung banyak berpikir logika sedangkan perempuan akan banyak mengandalkan rasa.


Konsep keluarga sakinah yang berarti keluarga bahagia, haruslah terpenuhinya dua komponen penting yaitu mawaddah wa rahmah. Mawaddah adalah rasa cinta yang dilandasi hasrat biologis, dan secara psikologis, hal ini merupakan fitrah laki-laki. 


Sedangkan rahmah adalah kasih sayang atau perhatian, yaitu suatu sifat yang sangat dibutuhkan perempuan, yaitu perhatian, pengertian, hingga perlindungan dan kenyamanan. Jika perempuan telah merasa nyaman dalam statusnya sebagai istri, dia akan korbankan semua perasaannya serta harga dirinya kepada orang yang mencintainya secara tulus, bahkan ia sungguh bermitra dalam memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga, manakala dua hati telah menyatu. 


Dari dua karakter yang berbeda ini, maka tentu kebutuhan suami dan istri sangat berbeda, sehingga dalam rumah tangga modal utama yang harus diwujudkan adalah kliknya antara hati istri dan pikiran suami, sehingga mereka bisa bersatu untuk mewujudkan visi sebuah rumah tangga yang sakinah. 


Tidak mudah, dua insan yang berasal dari dua unsur keluarga yang berbeda ini dapat menyatu, kecuali Allah yang telah menjodohkan mereka, karena cinta adalah objektif dan bukan subjektif. 


Artinya, ketika cinta bersifat subjektif, ia akan luntur dan bahkan hilang manakala objek yang dijadikan sandaran tersebut hilang. Misalnya cinta karena harta, berarti sesungguhnya cinta itu subjektif karena harta adalah objek dan bukan hakikat pada lawan jenis yang dicintai. 


Cinta yang didasari objek akan senantiasa pudar, karena ikatan itu tidak sepenuh hati, melainkan sepenuh pikiran yang selalu mengolah hati dan memaksa hati untuk tunduk padanya demi kebahagiaan semu.


Agus Hermanto, Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung