H Puji Raharjo
Penulis
Setiap kali memasuki bulan Ramadhan, kita sering mendengar hadits Rasulullah saw yang berbunyi:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menjanjikan pengampunan dosa bagi orang yang berpuasa dengan sikap imanan wa ihtisaban (beriman dan mengharap pahala). Namun, apakah makna sebenarnya dari dua kata ini? Bagaimana kita dapat mengamalkan puasa yang benar-benar sesuai dengan esensi imanan wa ihtisaban?
Para ulama, termasuk Imam Al-Nawawi, Al-Khattabi, dan Ibn Hajar, telah memberikan penjelasan mendalam tentang maknanya, yang tidak hanya terbatas pada aspek keimanan, tetapi juga pada niat dan kesungguhan dalam menjalankan ibadah puasa.
Baca Juga
Puasa dan Madrasah Kesabaran
Makna Imanan wa Ihtisaban dalam Puasa
1. Imanan (Berpuasa dengan Keyakinan yang Benar)
Kata imanan berasal dari iman, yang dalam konteks puasa berarti meyakini dengan sepenuh hati bahwa puasa Ramadhan adalah kewajiban yang diperintahkan oleh Allah. Imam Ibn Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan bahwa imanan dalam hadits ini berarti mengimani bahwa puasa Ramadhan adalah kewajiban syar’i yang tidak boleh diabaikan. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS Al-Baqarah: 183).
Maka, seseorang yang berpuasa dengan imanan berarti ia menjalankan puasa dengan kesadaran penuh bahwa ibadah ini adalah bagian dari keimanannya kepada Allah, bukan karena paksaan, kebiasaan, atau alasan lain selain karena keyakinan kepada perintah-Nya.
2. Ihtisaban (Mengharapkan Pahala dari Allah)
Sedangkan ihtisaban berarti menjalankan puasa dengan niat tulus untuk mendapatkan pahala dari Allah, bukan karena tekanan sosial, riya’, atau sekadar mengikuti tradisi.
Al-Khattabi dalam Ma’alim al-Sunan menyebutkan bahwa ihtisaban bermakna melakukan ibadah dengan penuh keikhlasan dan keinginan untuk memperoleh ridha Allah, bukan merasa berat atau terbebani.
Imam Al-Munawi dalam Faidul Qadir menafsirkan ihtisaban sebagai: “Melakukan puasa dengan mengharap pahala dari Allah, bukan karena riya’, kebiasaan, atau sekadar mengikuti lingkungan.”
Banyak orang mungkin menjalankan puasa karena alasan sosial atau kebiasaan, tetapi tanpa ihtisaban, puasanya menjadi kurang bermakna. Rasulullah saw mengingatkan dalam hadits lain:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya: Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan (HR Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, seseorang yang berpuasa dengan ihtisaban akan tetap menjalankan ibadah ini meskipun tidak ada yang melihatnya, meskipun berada dalam kondisi sulit, dan meskipun tidak mendapatkan pujian dari manusia, karena yang ia harapkan hanyalah pahala dari Allah.
Agar puasa kita benar-benar sesuai dengan imanan wa ihtisaban, kita perlu menerapkan prinsip-prinsip berikut:
- Memurnikan niat dalam setiap ibadah
- Sebelum berpuasa, perbarui niat bahwa puasa ini dilakukan semata-mata karena Allah dan bukan sekadar tradisi.
- Tanamkan dalam hati bahwa ibadah ini adalah bentuk ketaatan kepada perintah Allah yang kita jalankan dengan penuh keyakinan.
- Menghindari rasa berat dan mengeluh dalam berpuasa
- Jika seseorang menganggap puasa sebagai beban, ia telah kehilangan unsur ihtisaban.
Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا، وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali yang dilakukan dengan ikhlas dan mengharap wajah-Nya (HR An-Nasa’i).
Kemudian juga agar melakukan sebagai berikut:
- Menghindari sikap riya’ dan melakukan ibadah secara konsisten
- Puasa bukan hanya tentang menahan lapar, tetapi juga menahan diri dari perbuatan buruk dan menjaga hati agar tetap ikhlas.
- Jika seseorang berpuasa tetapi masih menggunjing, marah, atau melakukan dosa lainnya, maka puasanya kehilangan makna.
- Meningkatkan kesabaran dan ibadah lainnya
- Orang yang berpuasa dengan imanan wa ihtisaban akan lebih sabar dalam menghadapi ujian, lebih tenang dalam menjalani hari, dan lebih tekun dalam beribadah.
- Ia akan menjadikan Ramadhan sebagai ajang peningkatan kualitas diri, bukan sekadar menahan lapar dan haus.
Hadits tentang imanan wa ihtisaban memberikan pesan mendalam bahwa kualitas puasa tidak hanya diukur dari fisiknya, tetapi juga dari niat dan ketulusan dalam menjalaninya. Puasa yang dilakukan karena iman dan dengan mengharap pahala dari Allah akan menghapus dosa-dosa yang telah lalu, sebagaimana dijanjikan dalam hadits.
Ramadhan bukan sekadar ritual tahunan, tetapi ajang penyucian jiwa dan pembuktian keimanan. Mari kita tingkatkan kualitas puasa kita, bukan hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menjadikannya sebagai sarana mendekat kepada Allah dengan penuh keyakinan dan harapan akan rahmat-Nya. Semoga kita termasuk dalam golongan yang berpuasa dengan imanan wa ihtisaban, sehingga mendapatkan ampunan dan keberkahan yang dijanjikan Allah. Aamiin.
H Puji Raharjo Soekarno, Ketua Tanfidziyah PWNU Lampung
Terpopuler
1
Yuk Infak dan Menjadi Bagian Pengadaan Ambulans Ke-7 NU Peduli Pringsewu 2025
2
PW GP Ansor Lampung Lantik LP3H, Komitmen Kuat Dampingi Sertifikasi Halal UMKM
3
4 Doa yang Dianjurkan ketika Pulang Haji
4
Khutbah Jumat: Ilmu dan Adab Lebih Tinggi daripada Nasab
5
3 Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Membangun Masjid
6
KBNU Sidomulyo Gelar Donor Darah, Perkuat Kepedulian Sosial di Lampung Selatan
Terkini
Lihat Semua