Opini

Jangan Sesatkan Gurumu Karena Kefanatikanmu

Selasa, 23 Mei 2023 | 17:05 WIB

Jangan Sesatkan Gurumu Karena Kefanatikanmu

Jangan Sesatkan Gurumu Karena Kefanatikanmu (Foto: NU Online)

Semua manusia pasti memiliki seorang guru, baik guru kehidupan sehari-hari, guru di alam, di sekolah, madrasah diniyyah, kampus, dan sebagainya. Karena semua manusia dicetak melalui seorang guru. 


Guru merupakan makhluk yang juga tidak akan pernah lepas dari salah dan dosa. Kecuali para Nabi dan Rasul yang diyakini umat Islam sebagai maksum (terjaga dari kesalahan dan dosa). 


Seorang guru, seperti biasanya dalam mengajar, ia akan menularkan ilmu dan pengetahuannya kepada murid-muridnya. Ia akan mencoba menampilkan akhlak yang baik, karena akan menjadi contoh murid-muridnya (uswatun hasanah). 


Selain itu, mereka juga akan meyakinkan muridnya dengan berbagai doktrin yang diyakini dan dipercayai oleh para guru. Sehingga guru berharap besar, murid-muridnya akan mengikutinya secara akhlak, pemikiran, dan ilmu pengetahuannya. 


Akan tetapi, sesempurnanya manusia, dan sehebat-hebatnya guru, pasti ia akan memiliki kesalahan, kekeliruan, dan bahkan ada yang sesat-menyesatkan. Lalu bagaimana sikap kita sebagai muridnya?


Seorang murid wajib mencintai para gurunya, salah satunya dengan mengingatkannya ketika salah, dan tidak mengikutinya ketika sesat dan menyesatkan. 


Akan tetapi, akhlak pelajar berbeda dengan yang lain ketika mengingatkan gurunya, ini yang membedakannya. Mungkin lebih berakhlak ketika mengingatkannya dengan bahasa lisan atau tulisan (surat) yang halus. 


Mengingatkan seseorang yang salah hukumnya wajib. Dan mengingatkan dengan cara yang baik merupakan anjuran dalam Islam dan norma di masyarakat. Sehingga yang terkesan adalah keluhuran budi, bukan caci maki, atau provokasi. 


Seorang murid yang mungkin cintanya dan takzimnya dengan guru sangat besar, dilarang membela gurunya yang sedang salah dan sesat dengan berbagai dalih, dalil, dan doktrin kefanatikan. Sehingga terkesan seperti kerbau dicucuk hidungya, akan tetap diam. 


Seandainya ada guru yang tidak shalat, atau melanggar syariat, lalu murid-muridnya beropini dengan argumen yang menyimpang, seperti mengatakan gurunya punya maksud tertentu, atau maqamnya (kedudukannya) makrifat dan hakikat. Ini harus diluruskan dan diingatkan. 


Pernyataan semacam itulah yang membuat agama menjadi rusak dan kotor. Dan seorang murid jangan menjerumuskan gurunya dengan hal seperti itu. Datangi gurunya dengan pelan-pelan, ditanya, apa maksud dan tujuan melakukan seperti itu. 


Jika ada kekeliruan, maka guru sebaiknya segera mengklarifikasi, dan jika memang sesat, maka jauhi dan jangan diikuti. Menjauhi di sini, yakni secara pemikiran bukan secara sosial. 


Jangan pernah juga menghukumi sesat atau wali, jika kita sendiri belum pernah berdialog, tabayun, berdiskusi bersama tentang permasalahan yang sedang dialami gurunya. Dikhawatirkan jika terlalu cepat memvonis, ternyata tuduhannya keliru, dan ternyata ada maksud dan tujuan yang lebih maslahat.


Maka dari itu, murid yang baik adalah yang selalu mengingatkan kebaikan, meskipun dengan gurunya. Dan mengingatkannya dengan cara yang baik, sopan santun, sesuai ajaran agama dan norma yang ada di masyarakat.  

(Yudi Prayoga)
Â