• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Jumat, 3 Mei 2024

Opini

Fatayat NU dan Kiprahnya dalam Gerakan Perempuan

Fatayat NU dan Kiprahnya dalam Gerakan Perempuan
Fatayat NU dan Kiprahnya dalam Gerakan Perempuan (Foto: NU Online)
Fatayat NU dan Kiprahnya dalam Gerakan Perempuan (Foto: NU Online)

Lahirnya Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) tidak dapat dilepaskan dalam sejarah gerakan perempuan. Fatayat NU menjadi bagian penting dalam perjalanan gerakan perempuan, terutama menyoroti keterlibatan perempuan muda NU.

 

Mereka bersama kalangan ibu-ibu NU atau dikenal dengan Muslimat NU turut membantu mengobati korban-korban luka bagi pemuda yang tergabung dalam hizbullah dan sabilillah saat terjadi pemberontakan di Surabaya (Tim Museum NU, Sejarah Fatayat NU, 1984: 91).

 

Pemudi NU yang mulanya tergabung dalam Muslimat NU, akhirnya menginisiasi membentuk wadah tersendiri dan disahkannya Fatayat NU sebagai badan otonom NU. Tentunya proses pembentukan ini, terdapat pro dan kontra di kalangan kiai dan pengurus NU.

 

Namun kalangan ibu-ibu atau Muslimat NU dan Pemudi NU (Fatayat NU) inilah yang turut meramaikan pergerakan perempuan dan memperkuat posisi NU dalam merespon isu sosial kemasyarakatan.

 

Beragam kegiatan sosial yang dilakukan seperti pendidikan baca tulis dan baca Al-Qur’an pada perempuan Islam untuk merespon terbatasnya akses pendidikan formal dan non formal di masa pra kemerdekaan dan orde lama. Melatih kemampuan dakwah maupun peningkatan keterampilan melalui kursus-kurus dalam rangka pemberdayaan ekonomi Perempuan.

 

Kiprah Fatayat NU dalam gerakan sosial keagamaan mendorong proses penyadaran dan perubahan sosial di akar rumput, berjenjang dari ranting, anak ranting, cabang, wilayah dan nasional bahkan internasional.

 

Melalui proses regenerasi dan kaderisasi kepemimpinan, pemberdayaan perempuan muda sebagai penggerak dalam menarasikan nilai-nilai Islam dan kebangsaan sebagaimana spirit konsep Islam moderat yang ditawarkan NU.

 

Fatayat NU tidak hanya aktif dalam gerakan kemasyarakatan juga merebut ruang politik sebagai arena perjuangan perempuan. Salah satunya tercatat dalam perjuangan Nyai Hj Mahfudhoh Ali Ubaid (Ketua Umum Fatayat NU 1979, sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang lantang bersuara untuk segera disahkan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT).

 

Kemudian Anggia Ermarini (Ketua Umum Fatayat NU 2019-2024), Luluk Nur Hamidah (pengurus PP Fatayat NU 2015), Ela Nuryamah (Sekretaris Fatayat NU 2020), juga lantang mendorong dan menyuarakan pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, penguatan petani perempuan, pemberdayaan ekonomi perempuan melalui UMKM, dan lainnya.

 

Sejarah juga mencatatkan, keterlibatan Fatayat NU dalam aliansi dan jaringan organisasi Perempuan baik lokal, nasional, maupun internasional. Seperti ikut menjadi anggota Porsisi (Jaringan organisasi pemuda Islam), tergabung dalam Kongres Wanita Indonesia (Kowani), berkiprah di PKK, bergabung dalam organisasi Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI), dan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). 

 

Fatayat NU juga bekerjasama dengan jaringan organisasi pemuda internasional Word Association Youth (WAY), UNICEF, Ford Foundation, The Asia Foundation (TAF), BKKBN, AusAID, Kementerian Agama, program Kelangsungan Hidup dan Perlindungan Ibu dan Anak (KHPIA). (Neng Dara Afifah, Menapak Jejak Fatayat NU, 2005).

 

Tak luput dari catatan, gerakan yang dibangun Fatayat NU Lampung dalam mendorong upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) sebagai bagian gerakan.

 

Perempuan lokal dan komitmen mengawal implementasi UU Nomor 12 tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Fatayat NU Lampung telah membentuk dan mengukuhkan Lembaga Konsultasi Pemberdayaan, Perlindungan Perempuan dan Anak (LKP3A) Provinsi Lampung.

 

Kader-kader Fatayat memperoleh pelatihan dan peningkatan kapasitas agar siap menerima layanan konsultasi tersebut serta dipersiapkan menjadi paralegal di komunitas. Hal ini sangat strategis bagi Fatayat NU yang mengorganisir atau melakukan kaderisasi hingga di akar rumput (desa) bahkan berbasis kelompok majelis taklim.

 

Persoalan KtP memiliki tantangan yang kompleks. Pertama; Masyarakat sendiri masih menganggap bahwa Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) sebagai persoalan privat bahkan menutupinya karena menganggap aib. Kedua, nilai-nilai dan tafsir ajaran agama Islam yang menguatkan seolah KtP adalah tindakan yang wajar dan bukan persoalan kebangsaan.

 

Situasi ini yang kemudian menyumbang pada angka kekerasan terhadap Perempuan di Provinsi Lampung dan banyak menyasar usia anak dan pemudi (usia produktif). Dampak yang ditimbulkan juga mempengaruhi capaian pembangunan pada kualitas Indeks Pembangunan Manusia. 

 

KtP terutama kekerasan seksual bahkan tidak hanya terjadi di lingkup rumah tangga, kampus, sekolah bahkan lembaga keagamaan dan pendidikan Islam. Tentunya ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua. Belum ada jaminan ruang aman dan kepastian perlindungan bagi perempuan.

 

Kehadiran LKP3A ini menjadi bagian dari gerakan dan kontribusi Fatayat NU terhadap Pembangunan di Provinsi Lampung. Mendukung dan memastikan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan sebagaimana amanat UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang ratifikasi Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) dan bagian upaya keterlibatan Masyarakat sipil sebagai bagian pentahelix dalam percepatan tujuan pembangunan berkelanjutan poin 5 terkait kesetaraan gender.

 

LKP3A dapat menjadi pintu masuk bagi kader Fatayat NU Lampung dalam melakukan pencegahan dengan membangun kajian dan narasi Islam yang ramah perempuan serta anti kekerasan. Menarasikan kembali tafsir-tafsir Al-Qur’an dan hadis yang lebih menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia baik dalam lingkup majelis taklim, dakwah, gerakan maupun rangkaian peningkatan kaderisasi yang dimiliki.

 

LKP3A dapat menjadi pintu pemberi pertolongan pertama pada korban KtP. Korban KtP sangat rentan memperoleh stigma, revictimisasi (disalahkan) atas peristiwa yang dialami. Keterlibatan kader Fatayat NU di akar rumput sebagai teman bercerita, sharing akan dapat memberikan narasi penguatan dan kesadaran kepada perempuan/penyintas atas hak-haknya.

 

Menerima dan mendukung keputusan korban secara bijak, serta memberikan informasi yang komprehensif atas akses layanan yang tersedia tanpa diskriminatif. Menjangkau korban dengan penuh empati dan bersama jaringan yang tersedia melakukan kolaborasi baik penanganan dan pencegahan.

 

Untuk itu, dibutuhkan kesiapan sumberdaya manusia yang mumpuni didalam LKP3A, yang tidak hanya memiliki pemahaman soal hukum dan ketrampilan pendampingan juga perspektif keberpihakan pada perempuan terutama korban. 

 

Fatayat juga harus mempersiapkan infrastruktur di lembaga seperti Standar operational Prosedur dalam penyelenggaraan LKP3A, merawat jaringan advokasi dan pembelajaran yang dimiliki serta rencana advokasi kebijakan untuk mendukung partisipasi masyarakat.

 

Ana Yunita Pratiwi, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Fatayat NU Lampung


Opini Terbaru