Perbedaan Mengkritik dan Memberontak dalam Kajian Al-Qur’an dan Hadits
Selasa, 1 Oktober 2024 | 05:14 WIB
Yudi Prayoga
Penulis
Setiap 30 September diperingati sebagai hari G30S/PKI. Peringatan ini merujuk pada insiden yang terjadi pada malam 30 September hingga 1 Oktober 1965 di Indonesia, di mana enam jenderal Angkatan Darat dan beberapa perwira lainnya diculik dan dibunuh.
Peristiwa ini sering dikaitkan dengan gerakan yang disebut Gerakan 30 September (G30S), yang diduga diorganisir oleh unsur-unsur tertentu dari Partai Komunis Indonesia (PKI) dan beberapa pihak lainnya.
Kudeta tersebut gagal, dan dalam hitungan hari, Angkatan Darat di bawah komando Mayor Jenderal Soeharto berhasil mengendalikan situasi. Setelah itu, terjadi operasi penumpasan yang luas terhadap anggota PKI dan simpatisannya, yang mengakibatkan penangkapan, penganiayaan, serta pembunuhan massal di berbagai wilayah Indonesia.
Peringatan G30S/PKI biasanya dilakukan setiap tahun di Indonesia, terutama pada 30 September dan 1 Oktober, di mana banyak orang mengenang korban yang jatuh serta memperingati pentingnya menjaga stabilitas dan keamanan negara. Pada masa Orde Baru, peringatan ini lebih ditekankan dan ditampilkan dalam berbagai media, termasuk penayangan film Pengkhianatan G30S/PKI.
Peristiwa G30S/PKI merupakan peristiwa yang mengarah kepada kudeta pemerintahan atau memberontah kepada pemerintahan Indonesia. Dalam Islam sendiri pemberontakan (bughot) dihukumi sebagai dosa dan harus diperangi.
Dilansir dari NU Online, bughot dalam khazanah fiqih berarti “pemberontakan”. Berasal dari akar kata bagha, yang berarti “melampaui batas”. Bughot dilarang menurut fiqih dan pelakunya harus diperangi. Hal ini berbeda dengan kritik. Kritik adalah bentuk perlawanan, dan tidak semua kritik kepada penguasa merupakan bughat.
Dari sini perlu dibedakan antara kritik dan pemberontakan. Kritik terhadap penguasa adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Banyak sekali hadits yang menyebutkan soal ini, di antaranya: “Seutama-utama jihad adalah menegakkan kalimat haq di hadapan (terhadap) penguasa yang zhalim.”
Sedangkan yang disebut bughat menurut Khatib Syarbini dalam kitab al-Iqna’ fi Halli Alfazh Abi Syuja’ harus memenuhi tiga syarat: pertama, mereka yang memberontak memiliki kekuatan. Kekuatan ini menyatukan senjata, logistik, massa, wacana, dan sejenisnya. Kedua, mereka keluar dari ketaatan terhadap penguasa yang sah.
Punya kekuatan saja, kalau tidak keluar dari ketaatan terhadap penguasa atau imam yang sah, tidak dikategorikan bughat. Ketiga, mereka menggunakan penafsiran atau ta’wal yang batil. Maksudnya, dalam memerangi imam dan penguasa yang sah mereka menggunakan penafsiran tertentu untuk membenarkannya.
Sementara penafsiran itu bila diuji secara meyakinkan tidak memiliki validitas yang tepat, bila dipertimbangkan dari sisi kemaslahatan masyarakat, kemungkinan kekacauan, anarki, dan lain-lain.
Fenomena bughat masuk dalam soal kepemimpinan politik atau al-imârah. Dalam soal ini prinsipnya jelas, seperti disebutkan dalam ayat: “Taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan ulil amri di antara kamu” (QS An-Nisa’, 4: 59). Di sini ulil amri salah satunya adalah penguasa yang sah, dan karenanya harus ditaati.
Prinsip ketaatan terhadap penguasa yang sah merupakan salah satu hal penting dalam kepemimpinan. Ketaatan di sini bisa bermakna tidak keluar untuk mengangkat senjata, meskipun tidak sesuai dengan aspirasinya. Prinsip ketaatan ini untuk menjaga kelangsungan sistem sosial agar tidak terjadi anarki. Kalau ingin melakukan perbaikan, dalam bahasa Imam al-Ghazali disebutkan, untuk membangun sebuah bangunan, tidak perlu merobohkan sebuah kota.
Beberapa hadits juga menyebutkan prinsip ketaatan ini, di antaranya: “Hendaklah kamu mendengarkan dan mematuhi biarpun yang diangkat untuk memerintah kamu seorang hamba sahaya bangsa Habsyi, rambutnya bagai anggur kering” (HR Bukhari).
Hanya saja, juga harus ditegaskan bahwa perintah penguasa tidak boleh ditaati kalau berkaitan dengan kemaksiatan. Ini sesuai dengan hadits Nabi yang berbunyi: “Seorang muslim perlu mendengarkan dan mematuhi perintah, yang disukainya dan tidak disukainya, selama tidak disuruh mengerjakan maksiat (kejahatan). Tetapi apabila dia disuruh mengerjakan maksiat, tidak boleh didengar dan ditatati” (HR Bukhari). Di sinilah kemudian perlunya menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, kritik, dan nasihat.
Sedangkan perintah memerangi mereka yang memberontak, di antaranya merujuk pada ayat: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya. Tapi, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah” (QS Al-Hujurat ayat 9).
Dalam sebuah hadits juga disebutkan: “Barang siapa yang mengangkat senjata pada kami, maka dia bukan dari kalangan kami (pengikut Muhammad).” (HR Muttafaq Alaih). Juga, “Barang siapa yang datang kepadamu, dan persoalanmu berada di tangan seorang yang menghendaki ingkar kepadamu atau memisahkan dari jama’ah, maka bunuhlah dia” (HR Muslim).
Meski begitu, tidak semua jenis perlawanan terhadap pemerintah yang sah harus dikategorikan sebagai pemberontak. Ini sudah sangat jelas. Kritik, misalnya, tidak bisa semena-mena dikategorikan sebagai pemberontakan.
Kritik harus dipandang sebagai bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Sebagai amar ma’ruf nahi munkar, kritik bisa juga dalam bentuk sebuah demonstrasi. Contoh dalam tradisi Islam adalah demontsrasi yang berhasil menumbangkan Khalifah Utsman, dan para demonstran mengangkat Imam Ali sebagai khalifah.
Sebagai bentuk amar ma’ruf, kritik dan upaya perbaikan juga harus dilakukan secara berjenjang dan mempertimbangkan posisi: apabila seseorang memiliki kekuasaan, maka ia harus bisa mengubah keadaan dengan kekuasaannya.
Bila hanya mampu dengan lisan, maka perbaikan harus dilakukan dengan lisan. Bila hanya mampu dengan doa, maka perbaikan mungkin dilakukan dengan doa. Yang terakhir adalah selemah-lemah iman.
Jadi, sangat jelas bughat hukumnya harus diperangi. Tapi, bughat harus dibedakan dengan kritik dan amar ma’ruf atas penguasa. Dan, kritik sendiri tidak bisa dikategorikan sebagai bughat sejauh tidak memenuhi tiga syarat di atas.
Terpopuler
1
Perkuat Konsolidasi Organisasi, MWCNU Pringsewu Gelar Turba
2
Pernikahan, Ibadah Paling Panjang dalam Kehidupan Manusia
3
Ubah Generasi Strawberry Jadi Kelapa, Ketua PCNU Pringsewu: Pesantren Tempatnya!
4
Gelar Musker, Ranting NU Bandungbaru Adiluwih Tajamkan Program untuk Wujudkan Target
5
Kolaborasi Assahil–Madani: Menuju Pesantren Mandiri dengan Kaderisasi Akuntansi
6
Lampung-In, Aplikasi Pintar untuk Warga Lampung yang Aktif dan Peduli, Diluncurkan
Terkini
Lihat Semua