Yudi Prayoga
Penulis
Pada malam tahun baru hingga siangnya jalanan dipenuhi dengan manusia yang ingin merayakan tahun baru, baik dengan konvoi kendaraan maupun tujuan wisata di berbagai tempat, seperti puncak, laut, air terjun, danau, kolam renang dan sebagainya.
Aktivitas tersebut menjadikan macetnya jalan raya, hingga kendaraan sulit bergerak (merayap). Jarak yang harusnya ditempuh hanya satu jam, dampaknya bisa sampai 5 jam. Contohnya saja yang sering terjadi di jalan raya arah puncak Bogor.
Kadang ketika seseorang memasuki jalan raya yang macet bisa kehilangan waktu shalat, seperti terkena macet pada jam 11, baru selesai setelah masuk waktu Ashar. Berarti bisa tertinggal waktu shalat Zuhurnya. Lalu, apakah boleh kita menjamak shalat karena sebab terken macet?
Dilansir dari NU Online, seseorang boleh menjamak sembahyang tersebut sesuai dengan ketentuan di fiqih. Zuhur digabung dengan Ashar, dan Maghrib dengan Isya. Kalau sebuah pertanyaan diajukan, “Bolehkah menjamak sembahyang karena kemacetan lalu lintas?”, maka jawabnya, “Boleh. Rasulullah pun dalam keadaan segar-bugar, pernah menjamak sembahyang di Madinah tanpa alasan-alasan berat.” Hal ini sesuai dengan yang termaktub dalam Bughyatul Mustarsyidin.
لنا قول بجواز الجمع في السفر القصير اختاره البندنيجي وظاهرالحديث جوازه ولو في حضر كما في شرح مسلم وحكى الخطابي عن أبي اسحق جوازه في الحضر للحاجة وان لم يكن خوف ولامطر ولامرض وبه قال ابن المنذر
Artinya: Kami mempunyai pendapat yang membolehkan jamak bagi seseorang yang tengah menempuh perjalanan singkat yang telah dipilih oleh Syekh Albandaniji. Sebuah Hadits mengungkapkannya dengan jelas, walaupun jamak dilakukan oleh hadirin (bukan musafir) seperti tercantum dalam Syarah Muslim. Dari Abu Ishak, Alkhatthabi menceritakan kebolehan jamak dalam perjalanan singkat karena suatu hajat. Hal ini boleh saja meskipun bukan dalam kondisi terganggunya keamanan, hujan lebat, dan sakit. Ibnul Munzir pun memegang pendapat ini.
Begitu pula keterangan yang terdapat di dalam Kifayatul Akhyar.
قال النووي: القول بجواز الجمع بالمرض ظاهر مختار، فقد ثبت في صحيح مسلم أن النبي صلى الله عليه وسلم {جمع بالمدينة من غير خوف ولا مطر} قال الاسنائي: وما اختاره النووي نص الشافعي في مختصر المزني ويؤيده المعنى أيضاً فإن المرض يجوز الفطر كالسفر فالجمع أولى بل ذهب جماعة من العلماء إلى جواز الجمع في الحضر للحاجة لمن لا يتخذه عادة وبه قال أبو إسحاق المروزي ونقله عن القفال وحكاه الخطابي عن جماعة من أصحاب الحديث واختاره ابن المنذر من أصحابنا وبه قال أشهب من أصحاب مالك، وهو قول ابن سيرين، ويشهد له قول ابن عباس رضي الله عنهما أراد أن لا يحرج أمته حين ذكر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم {جمع با لمدينة بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء من غير خوف ولا مطر} فقال سعيد بن جبير: لم يفعل ذلك؟ فقال:لئلا يحرج أمته فلم يعلله بمرض ولا غيره
Artinya: Menurut Imam Nawawi, Pendapat yang membolehkan jamak sembahyang bagi orang sakit, sudah terang. Dalam shahih Muslim, Nabi Muhammad saw menjamak sembahyang di kota Madinah bukan dalam kondisi terganggunya keamanan, hujan lebat, dan sakit. Menurut Imam Asna’i, Pilihan Nawawi didasarkan pendapat Imam Syafi‘i yang tercantum dalam kitab Mukhtasar Imam Muzanni. Pendapat ini diperkuat oleh sebuah perbandingan dimana alasan sakit laiknya perjalanan jauh menjadi alasan sah orang untuk membatalkan puasa. Kalau puasa saja boleh dibatalkan, maka penjamakan sembahyang lebih mendapat izin. Bahkan sekelompok ulama membolehkan jamak bagi hadirin untuk sebuah hajat. Dengan catatan, ini tidak bisa menjadi sebuah kebiasaan. Abu Ishak Almaruzi memegang pendapat ini. Ia mengutipnya dari Syekh Qaffal yang diceritakan oleh Alkhatthabi dari ahli hadis. Ibnul Munzir Syafi‘i dan Syekh Asyhab Maliki menganut pendapat di atas.
Berikut ini pendapat Ibnu Sirin yang diperkuat oleh cerita Ibnu Abbas. Ketika sebuah hadits mengatakan bahwa Rasulullah saw menjamak sembahyang Zuhur dengan Ashar, dan Maghrib dengan Isya bukan dalam kondisi terganggunya keamanan maupun hujan lebat, Ibnu Abbas berkomentar bahwa dengan jamak itu, Rasulullah saw tidak mau menyusahkan umatnya.
Saat Said bin Jubair bertanya, ‘Mengapa Rasulullah saw melakukannya?’ Ibnu Abbas menanggapi, ‘Rasulullah saw tidak mau merepotkan umatnya. Karena itu, Beliau melakukannya tanpa sebab sakit atau alasan lain.
ومن الشافعية وغيرهم من ذهب الى جواز الجمع تقديما مطلقا لغير سفر ولا مرض ولا غيرهما من الأعذار. قال النماري رحمه الله إلى أن قال .... يعني أن القائلين بهذا ابن سيرين وربيعة الرأي والقفال الصغير وأشهب من المالكية وابن المنذر والقفال الكبير وأحمد بن حنبل. وعن جماعة جوازه مالم يتخذه عادة وهم غير محصورين, هذا في جمع التقديم واما جمع التأخير فقال به جمع غفير.
Artinya: Sebagian ulama mazhab Syafi'i dan mazhab lain, secara mutlak membolehkan jamak takdim bagi hadirin, tidak sakit, atau alasan lain. Syekh Namari menyebutkan ulama yang sejalan dengan pendapat di atas, antara lain Ibnu Sirin, Rabi'ah, Qaffal Shagir, Asyhab Maliki, Ibnul Munzir Syafi'i, Qaffal Kabir, dan Ahmad bin Hanbal. Sementara sejumlah ulama membolehkan jamak dengan catatan tidak untuk kebiasaan. Jumlah mereka ini tidak terhitung. Hukum fikih di atas berlaku untuk jamak takdim. Sedangkan untuk jamak takhir, ulama dengan jumlah besar membolehkannya.
Maka dari beberapa redaksi di atas sangat jelas, bahwa menjamak shalat karena terkena macet lali lintas hukumnya diperbolehkan. Perlu digarisbawahi bahwa ini hanya menjamak shalat, bukan mengqashar (meringkas) shalat.
Terpopuler
1
KH Zakaria Ahmad dan Kiai Ismail Terpilih Jadi Rais dan Ketua PCNU Metro Masa Khidmah 2025-2030
2
Konfercab PCNU Metro, Ketua PBNU: Pengurus Harus Hadir Mengayomi dan Bisa Mendistribusikan Kader
3
Mirza-Jihan Resmi Ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung 2025-2030 pada Rapat Pleno KPU
4
Keutamaan Bersedekah di Bulan Rajab, Terhindar dari Api Neraka
5
Hasil Koin NU, MWCNU Way Lima Salurkan Rp217 Juta untuk Program Sosial dan Keagamaan
6
Sidang Pleno II Konfercab PCNU Kota Metro Setujui LPJ, Apresiasi Kinerja dalam 5 Tahun Terakhir
Terkini
Lihat Semua