• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Syiar

Kriteria Seseorang Disebut Telah Memutus Tali Silaturahim

Kriteria Seseorang Disebut Telah Memutus Tali Silaturahim
silaturahmi
silaturahmi

Menjaga silaturahim atau hubungan baik dengan saudara maupun teman, sangat dianjurkan  dalam agama Islam. Salah satu hikmah menjaga tali silaturahim adalah seseorang akan dilapangkan rezeki serta akan dipanjangkan umurnya.   

 

Dalam Al-Qur’an, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: 

 

  وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ، إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا  

 

Artinya: Bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (QS an-Nisâ’: 1).

 

Sementara hadist tentang keutamaan silaturahim seperti yang ditegaskan dalam hadits sahih berikut:  

 

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ  

 

Artinya: Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya) maka bersilaturrahimlah (HR. Bukhari Muslim).

 

Dilansir dari Kapan Seseorang Disebut Memutus Tali Silaturahim?  silaturahim ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Seperti mengunjungi rumah mereka kerabat, saling berkirim surat, saling berkirim salam, dan beberapa perbuatan lain yang akan memunculkan keharmonisan suatu hubungan kekerabatan (Syekh Zakaria al-Anshari, al-Gharar al-Bahiyah, juz 3, halaman 393). 

 

 Jika menyambung tali silaturahim merupakan sebuah perbuatan yang dianjurkan oleh syara’, maka sebaliknya, syara’ melarang perbuatan memutus tali silaturahim terhadap kerabat, bahkan perbuatan ini tergolong dosa besar.

 

Lantas, kapan seseorang dianggap memutus tali silaturahim dengan kerabatnya?  Para ulama berbeda pendapat mengenai batasan seseorang dianggap memutus tali silaturahim.

 

Salah satu yang menarik adalah pandangan Imam Ibnu Hajar al-Haitami. Beliau berpendapat bahwa memutus tali silaturahim adalah dengan memutus kebiasaan baik yang biasa dilakukan sebelumnya dengan para kerabat tapa adanya uzur halangan yang bisa dimaklumi. 

 

Misalkan sebuah keluarga terbiasa bersilaturahim dengan saling mengunjungi beberapa kerabatnya tatkala hari raya Idul Fitri. Jika hal tersebut tidak dilakukan lagi pada hari raya Idul Fitri berikutnya dan tahun-tahun selanjutnya, maka perbuatan tersebut tergolong memutus tali silaturahim yang terlarang.  

 

Berikut berbagai perbedaan pandangan para ulama mengenai batasan memutus tali silaturahim: 

 

  (و) ومنها (قطيعة الرحم) واختلف في المراد بها فقيل ينبغي ان تخص بالإساءة وقيل لا بل ينبغي ان تتعدى الى ترك الإحسان اذ الاحاديث آمرة بالصلة ناهية عن القطيعة. ولا واسطة بينهما والصلة ايصال نوع من انواع الاحسان والقطيعة ضدها فهي ترك الاحسان ، واستوجه في الزواجر ان المراد بها قطع ما ألفه القريب من سابق لغير عذر شرعي لأن قطعه يؤدي الى ايحاش القلوب وتنفيرها - ولا فرق بين كون الاحسان الذي الفه مالا او مراسلة او مكاتبة او زيارة او غير ذلك. فان قطع ذلك كله بعد فعله لغير عذر كبيرة

 

Artinya: Sebagian dari maksiat adalah memutus tali silaturahim. Para ulama berbeda pendapat mengenai makna yang dikehendaki dari "memutus tali silaturahim" ini. Menurut sebagian pendapat, memutus tali silaturahim sebaiknya dikhususkan pada bentuk perbuatan buruk pada kerabat. Pendapat lain menyangkal pandangan tersebut, sebaiknya memutus tali silaturahim bertumpu pada tidak berbuat baik (pada kerabat), sebab dalam beberapa hadits menganjurkan untuk menyambung tali silaturahim dan melarang memutus tali silaturahim, dan tidak ada perantara makna di antara keduanya. Menyambung tali silaturahim berarti menyambungkan suatu kebaikan, sedangkan memutus tali silaturahim adalah kebalikannya, yakni tidak melakukan kebaikan.

 

Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab az-Zawajir berpandangan bahwa yang dimaksud dengan memutus tali silaturahim adalah memutus kebiasaan kerabat tanpa adanya uzur syar’i, sebab memutus hal tersebut akan mendatangkan pada keresahan  dan terasingnya hati. Tidak ada perbedaan apakah kebaikan yang dibiasakan itu berupa (pemberian) harta, saling menitip salam, berkirim surat, berkunjung, atau hal yang lainnya. Sesungguhnya memutus segala hal di atas—tanpa adanya uzur—setelah terbiasa melakukannya tergolong dosa besar” (Habib Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’lawi, Is’ad ar-Rafiq, juz 2, hal. 117).  

 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa memutus tali silaturahim merupakan hal yang terlarang. Sedangkan perbuatan memutus tali silaturahim menurut sebagian ulama diartikan dengan melakukan perbuatan buruk pada kerabat, misalnya seperti mencela atau menyakiti mereka. 

 

Pendapat lain mengartikan memutus tali silaturahim dengan tidak berbuat baik pada kerabat. Dan pendapat terakhir menengah-nengahi bahwa memutus tali silaturahim adalah tidak melakukan perbuatan baik yang sebelumnya terbiasa dilakukan pada kerabat.  

 

Terkait perbedaan pendapat di atas, sebaiknya kita berikhtiar sebisa mungkin menjaga hubungan dengan para kerabat, minimal dengan melestarikan tradisi baik yang sudah terjalin, seperti saling berkunjung, berbagi, atau sekadar bertegur sapa lewat pesan singkat. 

 

Hal ini dimaksudkan agar kita terhindar dari perbuatan qathi’ah ar-rahim (memutus tali silaturahim) yang tergolong sebagai dosa besar. Wallahu a’lam.  


Syiar Terbaru